30 Desember 2009

Agama Provokatur Versus Teologi Kekuasaan

Oleh Otto Gusti Madung

Aksi gereja lokal terutama JPIC dari keuskupan dan beberapa kongregasi religius yang cukup gencar menolak tambang beberapa waktu terakhir ini dinilai oleh Bupati Manggarai Barat (Mabar), Drs. Wilfridus Fidelis Pranda, sebagai sebuah bentuk provokasi dan kegiatan mengadu domba masyarakat. Seperti diberitakan harian Pos Kupang, Bupati Pranda dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh JPIC SVD Ruteng, OFM Indonesia, Keuskupan Ruteng, SSpS Flores Barat dan Masyarakat Peduli Mabar pada hari Sabtu, (25/4/2009), menuduh gereja lokal di wilayah Keuskupan Ruteng lewat aksi tolak tambang sebagai provokatur yang mengganggu stabilitas keamanan masyarakat (Pos Kupang, 27/04/2009).

Seorang rekan yang hadir dalam seminar tersebut sempat mengirimkan sebuah pesan singkat (sms) kepada penulis. Isinya, Bupati Fidelis Pranda meminta pemerintah dan gereja memperhatikan tugas masing-masing. Gereja harus segera meninggalkan arena politik dan lebih berkonsentrasi pada tugas pokoknya. Tugas pokok gereja, demikian Bupati Pranda, bukan urus tambang, tapi memberikan pelayanan sakramental kepada umat agar jiwa mereka bisa masuk surga.

Bupati Fidelis sesungguhnya tidak konsekuen dalam nalar berpikirnya. Di satu sisi ia menganjurkan agar pemerintah dan gereja memperhatikan tugas masing-masing serta tidak boleh mencampuri urusan pihak lain. Di sisi lain, Bapak Bupati menegasi pernyataannya sendiri dengan masuk ke ranah teologi yang bukan bidangnya ketika menarik garis demarkasi tegas antara teologi dan politik. Ketika Bupati Fidelis coba mendefinisikan tugas gereja dan politik, sesungguhnya ia sedang berteologi. Sebab pandangan yang menghendaki pemisahan tegas antara teologi dan politik adalah salah satu model teologi, meskipun bukan model satu-satunya. Pertanyaan, mengapa Bapak Bupati berteologi kalau Bapak memang menghendaki distingsi tegas antara teologi dan politik?

Penulis berpendapat, Bupati telah mengemukakan dua pandangan sesat serta kerancuan berpikir sehubungan dengan tanggapannya atas kiprah gereja atau agama dalam memperjuangkan nasib rakyat kecil dan tertindas akibat eksploitasi dan eksplorasi bisnis tambang. Ada banyak hal lagi tentunya yang perlu ditanggapi tentang konsep pembangunan dan politik pertambangan Bupati Manggarai Barat ini.

Penulis ingin membatasi diri pada dua hal saja. Pertama, pandangan tentang gereja sebagai provokator ketika mengkritisi kebijakan publik pemerintah. Kedua, konsep teologi yang menghendaki garis demarkasi tegas antara agama dan politik serta menghendaki peminggiran agama ke ruang privat. Karena pandangan sesat ini dikemukakan oleh seorang pejabat publik, maka penulis merasa perlu memberikan tanggapan secara publik pula demi terciptanya sebuah ruang publik yang rasional, beradab dan bebas represi.

Gereja sebagai Provokatur?
Tuduhan provokasi terhadap gereja di atas mengingatkan saya akan perbincangan antara seorang perampok laut dengan Iskandar Agung seperti didokumentasikan St. Agustinus dalam salah satu karya legendarisnya, De Civitate Dei: “Kerajaan-kerajaan tanpa keadilan apa itu selain gerombolan-gerombolan perampok? Oleh karena itu halus dan benar jawaban yang diberikan oleh seorang perampok laut kepada Iskandar Agung, sewaktu sang raja bertanya bagaimana dia itu sampai berani membuat laut menjadi tidak aman. Maka orang itu dengan bangga dan terbuka mengatakan: ‘Dan bagaimana dengan engkau sampai membuat seluruh bumi menjadi tidak aman? Memang, aku dengan perahu kecilku disebut perampok, tetapi engkau dengan angkatan laut besar disebut panglima yang jaya’.” (Franz Magnis-Suseno, 1999, hlm. 193)

Pernyataan sang perampok laut adalah gugatan atas legitimasi kekuasaan Iskandar Agung. Atas dasar legitimasi apakah Iskandar Agung menganggap perampok laut itu sebagai provokatur dan pengacau stabilitas di wilayah kekuasaannya dan pada saat yang sama menobatkan dirinya sebagai pahlawan dan panglima yang jaya kendati keduanya sesungguhnya melakukan kejahatan yang persis sama?

Dialog antara sang perampok laut dan Iskandar Agung juga memicu lahirnya pertanyaan tentang legitimasi kekuasaan negara pada umumnya. Negara pada prinsipnya dipandang sebagai lembaga kekuasaan yang legitim jika dibandingkan dengan kelompok para bandit atau perampok yang mungkin memiliki kedaulatan atas wilayah tertentu, tapi kekuasaannya dipandang sebagai ilegitim. Pertanyaannya ialah, apakah dasar dari tuntutan legitimasi negara tersebut? Apakah yang membedakan negara dari kelompok para bandit? Apakah mungkin sebuah negara merosot menjadi lembaga berkumpulnya para bandit? Apakah dasar legitimasi bahwa manusia boleh menguasai manusia lain?

Rupanya untuk Iskandar Agung jelas, faktum kekuasaannya merupakan sumber legitimasi kekuasan satu-satunya. Karena ia berkuasa, maka segala sesuatu yang diperbuatnya harus dipandang legitim dan boleh memandang sang perampok laut sebagai provokatur dan pengacau stabilitas keamanan di wilayah kekuasaannya.

Otoritas penguasalah yang menjadi sumber legitimasi hukum satu-satunya. Auctoritas, non veritas facit legem – Otoritas dan bukan kebenaran yang menciptkan hukum. Dan kini aura positivisme hukum Hobbesian tersebut tampil kembali di wilayah Manggarai Barat ketika sang bupati menegaskan, investasi tambang harus diterima karena telah sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ada kesejajaran antara konsep kekuasaan Iskandar Agung dan Bupati Manggarai Barat. Keduanya melihat faktum kekuasaan sebagai sumber legitimasi hukum tertinggi. Dan berdasarkan konsep kekuasaan demikian, Bupati Fidelis dapat mencap segala bentuk oposisi dan pemikiran alternatif yang mengkritisi kebijakan regim berkuasa sebagai bentuk provokasi.

Sesungguhnya, produk undang-undang dan peraturan daerah bukanlah aturan tertinggi dalam sebuah tatanan sosial. Bukankah setiap aturan hukum harus merujuk pada prinsip-prinsip yang lebih tinggi seperti asas keadilan, kebebasan, kesetaraan dan kebaikan bersama? Seandainya investasi tambang melanggar asas-asas ini, ia harus dikritisi kendati telah diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sah. Jika merujuk pada prinsip-prinsip dasar yang lebih tinggi, bukankah para investor tambang dan Pemda yang mengeluarkan isinan adalah provokatur sesungguhnya, dan bukan JPIC atau aktivis anti tambang? Sejarah telah banyak berbicara, industri pertambangan hanya mendatangkan keuntungan bagi para korporasi dan tidak pernah untuk masyarakat setempat. Masyarakat lokal harus puas dengan remah-remah keuntungan ekonomis sembari meratapi keadaan tanah dan laut yang sudah hancur permanen.

Bupati memandang setiap bentuk pemikiran alternatif dan kritis terhadap kebijakan resmi pemerintah sebagai subversif. Aksi tolak tambang para aktivis anti tambang dan lembaga gereja dilihat sebagai bentuk pengkhianatan terhadap dasar negara Pancasila dan UUD 45. Hal ini mengingatkan kita akan stigmatisasi komunis bagi segala bentuk oposisi politik dalam masa pemerintahan fasis dan totalitarian orde baru. Memang Soeharto sudah lama mati, tapi soehartoisme masih kuat dan bertumbuh subur dalam cara berpikir Bupati Manggarai Barat. Sebuah bahaya besar tentunya dan ini harus dikikis bersih demi kelangsungan reformasi dan proses demokratisasi di Manggarai Barat.

Teologi Kekuasaan

Untuk meminimalisir resistensi dan melegitimasi konsep pembangunannya Bupati Fidelis memerintahkan gereja untuk meninggalkan ranah politik. Persoalan tambang adalah masalah politik murni. Agama harus dibebaskan dari persoalan sosial-politik dan memusatkan diri pada keselamatan jiwa umat agar masuk surga. Imam yang sibuk urus tambang tidak layak dipanggil pastor, tapi cukup disapa sebagai saudara. Itu kira-kira substansi konsep teologi politik kekuasaan Bupati Fidelis!

Dengan menggiring gereja keluar dari politik serta menghendaki pemisahan tegas antara agama dan politik, sesungguhnya Bupati Mabar sedang membangun sebuah teologi baru. Apa yang sesungguhnya sedang dilakukannya ialah dekonstruksi teologi politik kritis, dan konstruksi teologi kekuasaan guna melegitimasi segala bentuk penindasan dalam masyarakat. Agama dipandang sebagai obat penenang tidur terlepas dari kekerasan realitas sosial dan pergulatan umat manusia melawan ketidakadilan dan penindasan atas martabatnya. Dengan demikian agama sebagai sebuah instansi moral kritis dilumpuhkan. Gereja sebagai kekuatan emansipatoris dan roh pembebas manusia seutuhnya dimandulkan dan dipaksa bungkam sehingga kehilangan kata-kata profetis. Dan persis inilah agama dan gereja yang dikehendaki oleh setiap kekuasaan korup dan politik tanpa wajah kemanusiaan. Gereja yang ditopang oleh teologi kekuasaan yang memasung kebebasan dan membungkam suara kritis.

Akan tetapi tugas perutusan gereja jauh lebih luas dari sekadar urusan ritus agar jiwa manusia masuk surga. Ruang gerak tugas perutusan seorang imam bukan sebatas altar misa, tapi juga mencakupi seluruh persoalan sosial, budaya dan politik. Misi keselamatan gereja mencakupi manusia seutuhnya, hubungan antarmanusia dan hubungan manusia dan dunia. Agama, demikian Konsili Vatikan II, adalah “tanda dan pelindung transendensi manusia”. Panggilan ilahi manusia terungkap dalam tugas dan komitmen sosialnya untuk membela dan memperjuangkan kebebasan dan martabatnya yang tak tergugat (Paul Budi Kleden, 2003, hlm. 203). Maka demi kekudusan martabat manusia itu , gereja juga dipanggil untuk bersuara ketika kekuatan korporatokrasi, yakni perselingkuhan antara politik dan bisnis tambang, datang menerjang kehidupan masyarakat lokal. Di sini gereja berperan sebagai penyuara cita-cita dan visi tentang kehidupan ideal manusia dan masyarakat umum. Pemahaman tentang gereja seperti ini adalah duri tajam di mata setiap penguasa otoriter.

Agama bukan obat tidur. Ia bukan opium yang menghantar kita kepada dunia maya penuh ketenangan, tapi kesadaran kritis yang mengajarkan kita tentang hakikat manusia dan dunia sebagai ciptaan Allah. Pemahaman tentang manusia dan dunia yang seharusnya sebagai ciptaan Allah menjernihkan pikiran dan hati untuk menangkap pelbagai bentuk distorsi dan represi sosial seperti kemiskinan, marjinalisasi, pembodohan, ketidakadilan dan penindasan.

Keterlibatan gereja dalam dunia dan masyarakat tidak sebatas bentuk pelayanan pastoral dan sosial-karitatif. Ia harus mampu menukik lebih dalam, mempertanyakan dan membongkar secara radikal sistem-sistem yang menciptkakan ketidakadilan, pendindasan dan penderitaan itu (Paul Budi Kleden, 2003, hlm. 196). Atau keterlibatan gereja, untuk meminjam termini George Junus Aditjondro, bukan sebatas “diakonia palang merah” tapi harus sampai pada “diakonia palang pintu” demi mencegah jatuhnya tumbal-tumbal pembangunan lantaran sistem yang tak adil dan menindas.

Keterlibatan JPIC dan gereja pada umumnya dalam membela hak-hak masyarakat lokal yang dirugikan oleh industri pertambangan dan kebijakan publik pemerintah adalah tugas hakiki perutusan gereja. Gereja yang beriman pada Allah yang inkarnatoris, Allah yang mengambil bagian dalam pergulatan sejarah manusia termasuk lembaran sejarah paling buram seperti terungkap dalam peristiwa salib. Keterlibatan yang sulit dan penuh risiko karena harus berhadapan dengan monster ganas kekuatan korporatokrasi. Dijuluki gereja provakator dalam situasi kritis memerangi sistem yang menindas bukan kutukan, tapi berkat. Sebab kita mengikuti Allah yang tersalib!

------------------------------------------------------------------
Gusti Otto adalah rohaniwan dan pengajar pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero.

Sumber : Opini Flores Pos | 4 Mei 2009 | pp 10, 13



Read more...

Kartel Politik dan Gerakan Perlawanan

Oleh Dr. Otto Gusti Madung

CIRI khas lanskap perpolitikan Indonesia pasca tumbangnya rezim Orde Baru adalah stabilitas hubungan antarelite politik. Para elite dan partai politik boleh bertarung dan saling menyerang sebelum pemilihan umum, namun setelah pemilu berakhir mereka berembuk dan membangun koalisi besar. Hampir tidak pernah terjadi konflik dan pertarungan antarelite partai yang bermuara pada perebutan kekuasaan. Sistem oposisi pun mandul. Garis batas antara partai pemerintah dan partai oposisi kabur kalau bukan hilang sama sekali.

Indonesia dipandang relatif stabil dibandingkan dengan negara-negara lain yang sedang mengalami transisi menuju demokrasi. Di Filipina, misalnya, pasca turunnya Presiden Marcos, Presiden Aquino mengalami sekurang-kurangnya tujuh kali percobaan kudeta. Mengapa Indonesia sepi dari kudeta? Apakah kita sudah sungguh matang dalam berdemokrasi?

Fenomena 'kartel politik' merupakan salah satu teori yang dapat menjelaskan stabilitas hubungan antarelite atau antarpartai politik di Indonesia. Kartel adalah sebuah term dalam ilmu ekonomi. Kartel mengkoordinasi hubungan antara beberapa perusahaan dengan tujuan meminimalisasi persaingan, mengontrol harga dan menggenjot keuntungan bisnis para anggota kartel (Bdk. Antonius Made Tony Supriatma, Prisma 28 Oktober 2009).

Pengaruh sistem kartel politik tampak dalam monopoli kekuasaan berupa koalisi besar yang mengeliminasi kemungkinan terbentuknya oposisi. Para lawan politik dirangkul. Partai-partai oposisi berkepentingan untuk masuk dalam partai penguasa demi meminimalisasi kerugian yang diakibatkan oleh kekalahan.

Dalam sistem ini partai paling religius sekalipun rela membangun koalisi dengan partai sekular. Sebab kartel politik mengharamkan diskursus seputar ideologi dan program partai. Semuanya seragam dan bekerja sama dalam suasana saling pengertian. Tidak ada persaingan antarpartai politik, kejahatan berupa korupsi dan kolusi ditolerir lantaran semua partai politik berada di haluan yang sama dengan pemerintah.

Kartel politik akhirnya bermuara pada hancurnya fungsi institusi-institusi demokratis. Institusi-institusi demokratis tetap dipelihara sebatas simbol tanpa substansi. Pemilu tetap dijalankan secara regular, namun tidak membawa perubahan konkret bagi hidup rakyat kebanyakan. Itulah sebabnya, kendati institusi-institusi demokratis tampaknya bekerja, namun persoalan-persoalan menyangkut hidup rakyat kebanyakan seperti penegakan hak-hak asasi manusia, pemberantasan korupsi dan peradilan yang bersih tetap tak tersentuh kerja institusi-institusi tersebut. Ingar-bingar kompetisi antarpartai dalam pemilu akan berubah menjadi kolusi antarelite segera setelah pemilu berakhir. Demokrasi tak lebih dari ritus prosedural minus isi.

Dalam sistem pasar, konsumen dirugikan oleh kartel karena harus membeli barang dengan harga yang ditentukan secara sepihak oleh pemain pasar. Politik kartel mengorbankan massa-rakyat karena penyelenggaraan negara semata-mata dibuat untuk kepentingan elite politik. Terdapat toleransi dan saling pengertian luar biasa di kalangan politisi. Kekuasaan tidak lagi membutuhkan pertanggungjawaban. Aspirasi rakyat tidak lagi masuk dalam kalkulasi penyelenggaraan negara.

Untuk massa-rakyat kartel politik membuahkan kemalangan yang sama seperti yang ditimbulkan oleh sebuah rezim otoritanian, yakni penyingkiran dari seluruh proses dan hasil pembangunan. Jika rezim totalitarian Orde Baru misalnya memakai metode 'penyingkiran' terhadap para lawan politiknya, kartel politik dewasa ini merangkul semua elite dari latar belakang ideologis berbeda. Namun untuk rakyat biasa hasilnya tetap sama, kemiskinan dan kemelaratan.

Politik kartel menghasilkan massa rakyat yang relatif jinak ibarat massa mengambang di era Orde Baru. Bedanya, jika rezim Orde Baru membutuhkan represi untuk membungkam massa kritis, politik kartel cukup menerapkan metode manipulasi dan persuasi lewat penggelembungan citra dan semboyan 'politik santun' di media massa. Hasilnya adalah massa rakyat yang jinak yang tidak mampu melakukan perlawanan terhadap sistem politik yang menindas. Dari sudut pandang 'penjinakan massa' dapat dipahami mengapa misalnya para aktivis kritis korban penculikan rela meninggalkan idealismenya dan melacurkan diri dengan menjadi agen dari para penculiknya.

Apakah masih ada secuil harapan untuk dapat keluar dari dominasi total 'penjiknakan massal' dan patologi sosial kartel politik ini? Masih. Dari partai-partai politik tentu kita tidak dapat berharap banyak karena mereka sudah membangun 'koalisi besar' untuk mengamankan diri. Harapan satu-satunya adalah masyarakat sipil yang punya idealisme untuk memperjuangkan hak-hak dasar warga negara.

Kasus Prita dan inisiatif Posko Koin Peduli Prita adalah simbol perjuangan masyarakat sipil yang tertindas melawan arogansi kekuasaan modal dan kebobrokan lembaga peradilan kita. Demikian pun kampanye para aktivis 'Kami Cicak, Berani Lawan Buaya' adalah setetes embun harapan di tengah sulitnya menghilangkan tumor ganas korupsi di negeri ini. Juga masih segar kiranya dalam ingatan kita ketika Maret tahun ini masyarakat Lembata memaksa Jusuf Merukh dan Bupati Lembata 'untuk menandatangani surat pernyataan 'tidak menambang' di wilayah Lembata' (George J. Aditjondro, 2009).

Elemen-elemen perlawanan ini tentu perlu diorganisir secara baik agar menjadi sebuah sistem perlawanan. Tanpa organisasi sebuah perlawanan cenderung musiman dan tidak bertahan lama. Masyarakat sipil yang kritis dan giat dalam deliberasi publik sulit 'dijinakkan' dan akan dijauhkan dari segala bentuk manipulasi massa kartel politik.

Dr Gusti Otto Madung adalah dosen STFK Ledalero

Artikel ini dimuat di Pos Kupang edisi 15 Desember 2009

Read more...

Agama dan Ruang Publik

Oleh Dr. Otto Gusti Madung SVD

SEORANG rekan dari di Bristol, Inggris, menulis email dan bercerita tentang debat publik pada tanggal 22 Oktober 2009 lalu di Inggris yang melibatkan para pemikir papan atas dunia yakni Juergen Habermas, Charles Taylor, Judith Butler dan Cornel West.

Diskusi tersebut diberi judul "Rethinking Secularism: The Power of Religion in the Public Sphere" - Memikirkan Kembali Sekularisme: Kekuasaan Agama di Ruang Publik". Menurut rekan tadi, diskusi keempat cendikiawan kelas dunia ini akan turut menentukan dan bahkan menggiring wacana "Agama dan Ruang Publik' beberapa tahun ke depan.

Memang sekurang-kurangnya sejak peristiwa 11 September 2001 diskursus seputar agama pada umumnya dan secara khusus peran agama di ruang publik kembali menjadi titik perhatian masyarakat sekular. Bahkan pemikir seperti Juergen Habermas yang menyebut dirinya 'buta secara religius' sejak awal tahun 2001 menjadikan tema agama sebagai fokus penelitian filosofisnya.

Habermas bahkan tak sungkan bertemu dengan para pemikir dan teolog yang secara ideologis sesungguhnya berseberangan dengannya. Tahun 2004, misalnya, ia bertemu dan berdebat dengan Kardinal Josef Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) tentang syarat-syarat etis konsep negara hukum. Kemudian tahun 2007 ia kembali berdiskusi tentang agama dengan para profesor Yesuit di Hochschule fuer Philosophie Muenchen, Jerman.

Maraknya kekerasan atas nama agama seperti aksi terorisme dan gerakan fundamentalisme agama memaksa para ilmuwan dan pemikir untuk meninjau kembali peran dan posisi agama dalam masyarakat moderen. Sekularisme telah meminggirkan agama ke ruang privat. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari pihak agama yang menganggap haknya untuk berkiprah di ruang publik telah dipangkas oleh ideologi Laicité. Bahkan reaksi muncul dalam pelbagai fenomen kekerasan seperti tindakan martirium bom bunuh diri.

Untuk konteks kita di Indonesia, hubungan antara agama dan ruang publik tampil dalam wajah ekstrem yang lain. Bukan peminggiran agama ke ruang privat seperti dalam masyarakat sekular yang terjadi, melainkan surplus agama di public space. Pengamatan rekan saya, Emanuel Embu, tepat sekali ketika mengritik praktik devosi perarakan patung Kristus Raja (dalam kenyataannya adalah Patung Hati Kudus) baru-baru ini di Keuskupan Maumere yang dalam jangka waktu tertentu telah menutupi ruas jalan umum lintas Flores (Pos Kupang, Rabu, 25/11/2009).

Akibatnya, kendaraan umum dan pribadi yang menggunakan jalan umum harus menunggu berjam-jam. Kita bisa bayangkan apa yang terjadi seandainya waktu itu sebuah mobil ambulans harus mengantar pasien sakit berat ke rumah sakit dan harus antri berjam-jam karena jalan ditutup oleh umat yang sedang beribadah. Pengalaman rekan Eman ini mengingatkan saya akan pengalaman pada awal tahun 2001 di Jakarta ketika anggota pasukan FPI (Front Pembela Islam) dan beberapa kelompok ektrem lainnya menutupi jalan-jalan umum ibu kota untuk kepentingan kegiatan keagamaannya.

Benar bahwa kebebasan beragama merupakan salah satu butir penting paham hak-hak asasi manusia. Bahkan di Indonesia kebebasan beragama dan beribadat menurut agamanya mendapat perlindungan dan jaminan konstitusional. Namun kebebasan individual dan kelompok bukan tak terbatas. Kebebasan absolut atau kesewenang-wenangan akan menciptakan apa yang oleh filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), sebagai kondisi prejuridical society atau masyarakat tanpa hukum.

Dalam masyarakat tanpa hukum, yang berlaku adalah hukum rimba. Di sini hak dan kebebasan mereka yang lemah selalu terancam untuk dirampas oleh mereka yang kuat. Di bawah hukum rimba kaum minoritas tak pernah merasa aman dari ancaman hegemoni kaum mayoritas. Ibarat domba dan serigala yang dibiarkan bebas tanpa aturan, serigala sudah pasti akan memangsa domba tanpa ampun.

Untuk itu diperlukan hukum yang mengatur agar kebebasan seseorang atau kelompok orang tidak menjadi ancaman bagi kebebasan orang lain. Setiap umat beragama bebas dan berhak mempraktikkan ritus dan devosinya tanpa harus mendapat ancaman dari golongan lain. Namun kebebasan beragama tak pernah boleh menjadi faktor pembenar untuk melecehkan kebebasan dan hak orang lain untuk menggunakan jalan umum misalnya. Kualitas kehidupan religius kita sangat ditentukan oleh kadar toleransi dan sejauh mana kita mampu melindungi kelompok paling lemah atau terpinggirkan. Kesadaran bahwa jalan umum adalah public space yang boleh digunakan baik oleh orang saleh maupun para ateis merupakan kualitas kemanusiaan yang sudah seharusnya mendapat perhatian kaum religius.

Kehidupan bersama membutuhkan aturan main agar kebebasan dan hak setiap individu dan kelompok masyarakat dilindungi. Hukum yang rasional adalah hukum yang mampu melindungi dan mengatur kebebasan warga negara agar tidak menjadi ancaman bagi hak-hak orang lain. Tepat sekali jika Immanuel Kant mendefinisikan hukum sebagai 'rangkaian syarat-syarat, di dalamnya kesewenang-wenangan (Willkuer) seseorang dipertemukan dengan kesewenang-wenangan orang lain atas dasar undang-undang kebebasan yang berlaku umum" (Kant, 1965). Kebebasan saya menemukan batasnya ketika praktik kebebasan itu menjadi ancaman untuk kebebasan orang lain. Batasannya adalah hukum yang berlaku umum.

Motif utama pembentukan hukum dan negara ialah untuk memberikan perlindungan atas kebebasan individu. Hukum tersebut harus ditaati oleh semua. Dengan itu situasi hukum rimba dapat diakhiri dan umat manusia dapat memasuki wilayah juridical society, suatu masyarakat di mana keadilan dan hukum berdaulat. Hukum yang dikendalikan oleh rasio praktis manusia.

Juridical society hanya bisa dibangun jika agama-agama juga dapat mendefinisikan dan menempatkan diri secara tepat di tengah konteks sosial yang plural. Ruang publik selalu ditempati oleh macam-macam agama dan pandangan hidup. Konflik sosial akan muncul jika sebuah agama atau ideologi tertentu berambisi memonopoli seluruh public space yang plural tersebut. *

Dr. Otto Gusti Madung adalah Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores

(Artikel ini pernah dimuat di Pos Kupang edisi, Senin 30 November 2009

Read more...

Uskup Turang Ajak Perangi Korupsi

Oleh Leonard Ritan


KUPANG (FLORES POS) -- Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang mengajak seluruh masyarakat NTT untuk memerangi kemiskinan sehingga NTT bisa terbebas dari kasus korupsi.

Uskup mengatakan itu pada perayaan Natal Oekumene 2009 berrtempat di pelataran Gereja Katolik Assumpta, Selasa (29/12). Perayaan Natal Oekumene ini diselenggarakan oleh Keuskupan Agung Kupang dan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) bersama Pemerintah Provinsi NTT.

Uskup Turang mengungkapkan, umat atau masyarakat NTT harus memaknai perayaan Natal dan Tahun Baru 2010 dengan gerakan bersih iman. Sebab dengan gerakan bersih iman orang dapat bebas dari korupsi, kecurigaan, pencemaran ekologi, kebencian dan kecemburuan.

“Hal-hal semacam itu harus kita hindari dengan memulai gerakan bersih iman dalam diri semua umat. Saya meminta agar semua umat beragama yang ada di daerah ini untuk tetap menjaga kerukunan dan toleransi beragama sehingga bisa memberikan rasa aman saat beribadah,” ajak Uskup Turang.

Menurutnya, kerukunan dan toleransi beragama di NTT patut disyukuri karena tidak ada gangguan selama melaksanakan ibadah Natal. Walau demikian, rasa aman itu karena dijaga oleh aparat kepolisian dengan senjata-senjata. “Apakah itu yang dinamakan rasa aman,” tanya Uskup Turang retoris.

Uskup Turang meminta agar semua umat mengintrospeksi diri. Karena Yesus datang untuk membawa perdamaian di muka bumi, bukan untuk membangun kekuatan atau lainnya. Sehingga kerukunan dan toleransi beragama dalam menjalankan ibadahnya tidak harus ada penjagaan dari aparat keamanan, tapi benar-benar dimaknai dalam diri setiap umat.

Terkait tema perayaan natal Oekumene 2009, “Yesus Baik dengan Semua Orang”, Uskup Turang menjelaskan, tema dimaksud diangkat untuk mengajak semua umat manusia agar bisa berbuat baik kepada semua orang. Tuhan Yesus baik kepada semua orang, maka setiap orang juga harus baik kepada semua orang tanpa melihat latar belakang orang itu.

Sementara itu Ketua GMIT NTT Pendeta Eben Nubantimo dalam suara gembalanya meminta kepada semua umat beragama di daerah ini untuk tetap menjaga kebersamaan antarsesama umat beragama. Kebersamaan dengan saudara-saudara yang beragama lain seperti Islam, Hindu, Budha dan lainnya haruslah juga dijaga. Karena pada prinsipnya, semua agama di muka bumi adalah sama. Sehingga perbedaan agama tidak perlu diperdebatkan antara satu sama lain, karena semuanya sama-sama menyatakan kebesaran Tuhan. Harus diingat, Tuhan datang tidak untuk berdebat atau menyerang manusia, tetapi datang untuk merangkul semua orang.

Eben Nubantimo menambahkan, menjaga kebersamaan antarumat beragama dan semua orang merupakan tugas gereja, baik bagi orang yang banyak uang maupun orang yang banyak utang. Hal tersebut bukan merupakan persoalan tapi yang terpenting semua orang harus berbuat bagi sesama.

Beberapa tahun belakangan ini, Keuskupan Agung Kupang dan GMIT bersama gereja-gereja denominasi merayakan Natal Oekumene. Perayaan seperti ini dimaksudkan untuk menggali kebersamaan untuk menerima satu sama lain. Karena semua agama mengajarkan Tuhan yang satu dan sama, hanya berbeda soal bagaimana mengangkat aspek kualitatif dari Tuhan.
“Kita perlu belajar kepada Allah yang baik. Selanjutnya kita mengambil aspek kebaikan Allah itu sambil belajar perbedaan diantara sesama,” ujar Eben Nubantimo.

Eben Nubantimo menyampaikan, pada prinsipnya semua agama mengajarkan tentang kebaikan Allah. Hanya saja sering terjadi perbedaan pemahaman dalam menerjemahkannya sehingga terjadi perbedaan pemahaman. Moment Oekumene seperti ini hendaknya tetap dijalankan untuk menanamkan nilai kebersamaan.*
Read more...

29 Desember 2009

President condemns violence in Christmas message

JAKARTA (UCAN) -- President Susilo Bambang Yudhoyono has condemned sectarian violence in his message at a national Christmas celebration.

Participants at the national Christmas celebration

“Let us get rid of any behavior that is against universal religious teachings,” he said, noting that such teachings “uphold truth, justice and responsibility.”

An angry mob recently attacked construction workers at St. Albert chapel building in Bekasi, West Java, causing around 60 million rupiah (US$6,200) worth of damage.

In his address at the Dec. 27 celebration, the president said “such violent acts overstep the limits of propriety” and go against the moral and ethical teachings “of all religions.”

Referring to the celebration’s theme, “The Lord is good to all (Psalm 145:9a),” President Yudhoyono told the 6,000 Christians gathered that it “gives an inspiration to all of us to always strengthen the spirit of togetherness, solidarity and partnership.”

He went on to say, “Let us respect the 1945 Constitution and Pancasila (five principles) as foundations of our lives.”

Pancasila, enshrined in the preamble to the 1945 Constitution, comprises belief in one God, a just and civilized humanity, the unity of Indonesia, democracy guided by consensus, and social justice for all.

The annual celebration is organized by a team consisting of both Catholics and Protestants with the minister of religious affairs and other government officials advising.

The chairman of the Indonesian Bishops' Conference, Bishop Martinus Dogma Situmorang of Padang; Jesuit Cardinal Julius Darmaatmadja of Jakarta; and executive secretary of the Communion of Protestant Churches in Indonesia Reverend Gomar Gultom attended the event.

Government ministers and ambassadors also joined the celebration held at the Jakarta International Convention Centre.

Read more...

Dominican theologian Father Schillebeeckx dies at 95

VATICAN CITY (CNS) -- Dominican Father Edward Schillebeeckx, a theologian whose work had a huge impact on the Dutch church, died at the age of 95 Dec. 23 in Nijmegen, Netherlands, where he lived since 1957. The Dominican taught in the department of dogmatic and historical theology at the Catholic University of Nijmegen, now known as Radboud University Nijmegen, from 1957 until his retirement in 1983.

He served as theological adviser to the Dutch bishops during the Second Vatican Council and was seen as the main inspiration behind the Dutch catechism for adults. The catechism was published in 1966 after approval by the country's bishops, who wanted the text to reflect the council's new approach to questions of faith. But the Vatican criticized the text, ordered a study of it and in 1972 insisted on its withdrawal from use in Catholic schools.

In its obituary, Radboud University Nijmegen described Father Schillebeeckx as "as a pioneer who connected faith, church and theology with modern humanity in a secular society." But his efforts to "rethink the Christian faith in the light of contemporary culture" -- as Vatican Radio described his work Dec. 27 -- led to three separate investigations by the Congregation for the Doctrine of the Faith between 1968 and 1984.

Read more...

FBI report says religion not exempt from being target of hate crimes

By Carol Zimmermann
Catholic News Service

WASHINGTON (CNS) -- According to a recent FBI report, religious groups are not exempt from being targets of hatred.

The FBI's report on hate crime statistics for 2008, released in late November, showed that the majority of hate crimes in the U.S. were motivated by racial bias but that religious groups and homosexuals were the next largest targets.

The overall number of reported hate crimes -- more than 7,700 -- increased about 2 percent in 2008. Although racially motivated hate crimes -- the largest category -- decreased by less than 1 percent, crimes against religious groups increased by 9 percent and crimes based on sexual orientation increased 11 percent over the previous year.

Hate crimes include acts of vandalism or property damage, intimidation or physical attacks. The FBI downplays year-to-year comparisons of hate crimes compiled since 1992, saying the increased figures could simply be the result of more local agencies tracking crimes. Civil and human rights groups say the figures are not accurate enough because not all hate crimes are reported.

Thomas Perez, head of the Justice Department's Civil Rights Division, told reporters Dec. 17 that he was committed to putting a stop to violence stemming from hatred and bias and planned to hire 100 additional staffers to assist with the expanded federal hate crime laws.

In documented crimes against religious groups in 2008, Jews were targeted the most -- 66 percent -- while Muslims accounted for 13 percent and Catholics were victims of 5 percent of hate crimes.

The Anti-Defamation League said the new figures show a need for a national initiative to combat hate crimes.

Bill Donohue, president of the Catholic League for Religious and Civil Rights, told USA Today that attacks on Catholics could be motivated by the church's opposition to abortion and same-sex marriage. As Catholics become more vocal on issues, he said, they become targets for those who disagree with them.

The sense of a growing anti-Catholic sentiment was the focus of an Oct. 29 blog entry by New York Archbishop Timothy M. Dolan. The entry was an expanded version of an op-ed he submitted to The New York Times that was not published.

In the entry, the archbishop likened anti-Catholicism to "a national pastime," citing frequent examples of anti-Catholic bias in the pages of The New York Times. He also said the bias was prevalent in the "so-called entertainment media."

Laurie Goodstein, one of the reporters singled out in the archbishop's blog, responded by saying she was disturbed to read his characterization that her work and that of her colleagues was anti-Catholic.

"You write as though the Catholic Church is some sort of special target, when in fact any institution that is accused of wrongdoing receives critical coverage and commentary," she said.

Anti-Catholic bias, perceived or real, is hardly new. Several years ago in a column for America magazine, Jesuit Father James Martin, the magazine's culture editor, noted that "examples of anti-Catholicism in the United States are surprisingly easy to find."

He cited multiple examples in entertainment and advertising and placed the bias in a broader perspective, saying: "Anti-Catholicism in the United States is simply not the scourge it once was, nor is it today as virulent as anti-Semitism, homophobia or racism."

Some say the increase of prejudice and hate crimes toward specific groups has been fueled by the economic downturn and the often polarizing discourse in American society.

The FBI's report on hate crimes was released just weeks after President Barack Obama signed into law the Matthew Shepard and James Byrd Jr. Hate Crimes Prevention Act, which expands federal hate crimes legislation to include crimes committed because of the victim's gender, gender identity or sexual orientation.

Previously, the federal hate crimes law only protected those attacked on the basis of race, color, religion or national origin. An expansion of the law was initially introduced in 2001 and had been reintroduced every year since.

The expanded legislation was named after two men killed in separate hate crimes. Shepard, 21, died in October 1988 after being beaten by two men in Laramie, Wyo., because he was gay. Byrd, a 49-year-old African-American man, was killed in June 1998 by three men in Texas who dragged him behind their pickup truck.

On the subject of expanding federal hate crimes laws, religious groups were divided.

Some vocalized their support, stressing that religious principles demand equal protection of all people while other groups expressed concern that the measure would threaten their constitutional right to speak out on moral issues.

Some religious leaders questioned the possibility of being prosecuted if someone committed a hate crime because of a sermon or pastoral counseling labeling homosexuality as immoral, but constitutional specialists have dispelled this concern, stressing the free speech protection of the First Amendment.

Although Catholic Church officials did not take a stand on the issue, a Catholic priest defended the legislation during a Capitol Hill rally in 2007 when the legislation was reintroduced to Congress.

Dominican Father Charles Bouchard, past president of Aquinas Institute of Theology in St. Louis, said attempts to expand the legislation were not meant to "create special rights" or "endorse any lifestyle."

Instead, he said the expanded hate crimes legislation was a means to "simply offer appropriate legal protection for persons who are victims of violence because of who they are and ensure that workers are judged on the basis of their job performance and not the basis of prejudice."

END
Read more...

Vatican to decide fate of woman who knocked down pope

By Carol Glatz
Catholic News Service

VATICAN CITY (CNS) -- The Vatican will decide how to proceed with the young woman responsible for knocking down Pope Benedict XVI during Christmas Eve Mass only after it reviews medical and Vatican security reports, said Vatican spokesmen.

Critical to the prosecutor's decision will be the doctors' evaluation concerning the woman's mental state and whether or not she was "of sound mind," Father Ciro Benedettini, vice director of the Vatican press office, told Catholic News Service Dec. 28. The prosecutor will also take into consideration eyewitness accounts, he said.

When the Vatican prosecutor has all the information, including a medical evaluation, he can recommend acquitting her of any crime, handing her over to Italian or Swiss authorities, or handing down a sentence, Father Benedettini said.

The prosecutor will send his recommendation to the Vatican tribunal, which will then make the final ruling, he said.

Susanna Maiolo, 25, jumped a security barrier at the start of the Dec. 24 liturgy as Pope Benedict processed into St. Peter's Basilica. As Vatican security guards tackled her to the ground, she was able to pull on the pope's vestments, causing him to lose his balance and tumble to the marble floor.

The woman, who has Italian and Swiss citizenship, was taken away by papal guards. She was not armed but she showed signs of mental instability, according to a Vatican statement Dec. 25.

Immediately after the incident the pope was back on his feet and appeared unharmed. The Mass and other papal events took place as scheduled.

Maiolo was transferred Dec. 25 to a psychiatric hospital in Subiaco, about 45 miles outside of Rome, for what the Vatican called "mandatory clinical treatment."

Maiolo "remains under compulsory clinical treatment and the case remains under the jurisdiction of the Vatican judiciary," said Jesuit Father Federico Lombardi, Vatican spokesman, in a written statement Dec. 26. Because the incident occurred on Vatican territory, it is up to the Vatican's judicial system to determine whether or not to initiate legal proceedings. The Vatican can turn the case over to Italy for prosecution.

The Vatican statement said its prosecuting attorney "will have to take into consideration the reports from doctors and Vatican security personnel, and, in light of these, evaluate possible further steps to take."

While the pope was unharmed by the attack, French Cardinal Roger Etchegaray, 87, suffered a broken hip and spent Christmas in Rome's Gemelli hospital. He underwent surgery and received a total hip replacement Dec. 27. The operation was successful and the cardinal's condition was good, the Vatican said in a written statement later that day.

Vatican sources confirmed that Maiolo was the same person who attempted to rush the pope at midnight Mass in 2008, but had been tackled by guards before she could reach the pontiff.

When asked what kind of precautions the Vatican was going to take in order to prevent Maiolo from having an opportunity to repeat something similar at future papal events, Father Benedettini told CNS that for security reasons the Vatican would not reveal what strategies it intended to take.

Domenico Giani, director of Vatican security services, told the Italian daily Il Messaggero Dec. 27 that the number of people "that are stopped because they get too close to the Holy Father are many, even if we do not publicize it." Giani was the guard that tackled Maiolo in 2008 and 2009.

Father Lombardi told reporters Dec. 27, "The pope cannot be shielded 100 percent unless a wall were created between the pope and the faithful, which is unthinkable.

"Security measures could be intensified, but this will be decided by the appropriate parties. However, it's necessary to dispel the illusion that there is zero risk," he said.

Because the pope wants to be close to the people, Vatican guards cannot always keep "similar episodes from happening" in the future, Father Lombardi added.

END
Read more...

Pope's Christmas marked by calls for charity, security incident

By John Thavis
Catholic News Service

VATICAN CITY (CNS) -- Pope Benedict XVI celebrated Christmas with a call for unselfish charity and solidarity with the suffering, and underlined the message two days later by lunching with the poor at a Rome soup kitchen.

The pope's Christmas was marred by a security scare on Christmas Eve, when a mentally unbalanced woman rushed the 82-year-old pontiff and knocked him to the marble floor of St. Peter's Basilica. The pope was unharmed but French Cardinal Roger Etchegaray suffered a broken hip when he fell in the confusion.

The incident occurred as the pope processed into the basilica at the start of the 10 p.m. Mass. Amateur videos posted on YouTube showed a woman wearing a red sweatshirt leaping over the security barrier and grabbing the pope's vestments, as Vatican security guards swarmed above them.

The alarmed congregation inside the basilica broke into applause when the pope quickly rose to his feet and continued the procession down the main aisle, looking somewhat shaken. The liturgy proceeded without further incident.

Vatican sources confirmed that the woman was the same person who attempted to rush the pope at Midnight Mass last year, but was tackled by guards before she could reach the pontiff. The woman, 25-year-old Susanna Maiolo, an Italian and Swiss citizen, was taken into custody for psychiatric evaluations.

In his Christmas Eve homily, the pope said conflict in the world stems from the fact that "we are locked into our own interests and our desires." He said many people have become "religiously tone-deaf" and unable to perceive God, absorbed by worldly affairs and professional occupations.

"For most people, the things of God are not given priority.... And so the great majority of us tend to postpone them. First we do what seems urgent here and now. In the list of priorities God is often more or less at the end. We can always deal with that later, we tend to think," he said.

Despite this mentality, he said, a path for discovering and appreciating God exists for everyone. It is a path marked with signs, he said, and at Christmas God's sign is that "he makes himself small; he becomes a child; he lets us touch him and he asks for our love."

On Christmas Day, the pope delivered his message and blessing "urbi et orbi" -- to the city of Rome and to the world -- from the central balcony of St. Peter's Basilica. He prayed for peace in world trouble spots like the Holy Land, Iraq, Sri Lanka and the Democratic Republic of Congo.

In Europe and North America, he said, the church "urges people to leave behind the selfish and technicist mentality, to advance the common good and to show respect for the persons who are the most defenseless, starting with the unborn."

The pope said the church began with Christ's birth "in the lowly cave of Bethlehem" and through the centuries has become a light for humanity, most recently as it has experienced a "grave financial crisis" and a more general moral crisis.

The pope then offered Christmas greetings in 65 languages, saying in English: "May the birth of the Prince of Peace remind the world where its true happiness lies; and may your hearts be filled with hope and joy, for the savior has been born for us."

The pope's Christmas message included a call for "an attitude of acceptance and welcome" for the millions of people who migrate from their homelands, driven by hunger, intolerance or environmental degradation.

On Dec. 27, the pope lunched with a mostly immigrant group at a Rome soup kitchen and language school run by the Sant'Egidio Community, a Catholic lay organization. The white-robed pontiff came with a carload of gifts that he presented to more than 30 children served by the center.

The pope was cheered as he entered the dining room for a meal of lasagna, meatballs and lentils, followed by cake and spumante. He listened during the meal to personal stories of persecution, arduous immigration routes and homelessness.

Among those seated at the pope's table was Qorbanali Esmaili, a 34-year-old political refugee from Afghanistan; Roukia Daud Abdulle, a 63-year-old Somali woman who came to Italy so that her disabled son could receive care; and Boban Trajkovic, 24, who lives in a Gypsy camp on the outskirts of Rome.

The event in the popular Rome quarter of Trastevere drew hundreds of residents who cheered the pope when he arrived and watched video pictures of part of his visit on a giant TV screen outside. They applauded when the pontiff greeted 25-year-old Aniello Bosco, who gets around the neighborhood in a wheelchair; he was abandoned by his family because of a disability.

"I am here to tell you that I am close to you and I love you, and that your experiences are not far from my thoughts," the pope said in a speech, before being serenaded with a Christmas carol.

Outside the center, the pope stopped to personally greet many of the residents who packed the adjacent street. Despite the Christmas Eve incident at the Vatican, no attempt was made to keep people at a distance from the pontiff.

Earlier Dec. 27, the pope marked the feast of the Holy Family at his noon blessing at the Vatican, saying that like modern immigrants, Jesus, Mary and Joseph endured many trials and hardships. He emphasized that the family is the primary "school" of values for younger generations today.

One of the best services Christians can offer is the example of a sound family, "founded on marriage between a man and a woman," he said.

On Dec. 26, the feast of St. Stephen, the pope noted that the saint, known as the first martyr, was also the church's first deacon, who gave special service to the poor. His example shows that love for the poor is a privileged way to live the Gospel and witness it credibly to the world, he said.

END


Read more...

27 Desember 2009

Lingkungan Hidup dan Pelayanan Kaum Miskin Menjadi Perhatian Utama Uskup

LEGAZPI CITY, Filipina (UCAN) -- Perhatian terhadap orang miskin dan perlindungan terhadap lingkungan hidup akan berperan penting dalam pelayanan Mgr Joel Baylon sebagai uskup Legazpi.

Di keuskupannya, para petani "kehilangan lahan yang dapat mereka sebut sebagai tanah mereka sendiri karena berbagai kegiatan pertambangan merusak harta milik mereka" dan para nelayan "jatuh miskin karena berbagai perusahaan besar," kata prelatus berusia 55 tahun itu dalam Misa pelantikannya.

"Sebagai Gereja, kita hendaknya berani berbicara atas nama kebenaran dan membela mereka yang tertindas atau dieksploitasi,” katanya dalam acara 10 Desember di Katedral St. Gregorius Agung di Legazpi.

Pertanian dan perikanan merupakan mata pencaharian utama banyak orang di wilayah Albay di Propinsi Bicol, tempat keuskupannya berada.

Ketika Paus Benediktus XVI mengangkatnya sebagai uskup Legazpi Oktober lalu, dia waktu itu menjadi uskup Masbate, wilayah propinsi termiskin menurut sensus 2006.

Di bawah kepemimpinannya, Gereja di Masbate memprotes bahaya yang ditimbulkan oleh lubang-lubang menganga akibat pertambangan, terutama emas, di kota Aroroy. Perlawanan Gereja menjadi intensif awal tahun ini setelah kematian dua anak yang memperkuat kecurigaan bahwa limbah racun dan kimia merembes ke berbagai sumber air minum dan laut.

Uskup Baylon mengatakan kepada UCA News di saat pelantikan itu bahwa Keuskupan Legazpi akan terus menentang pertambangan di Pulau Rapu-Rapu jika pertambangan itu merusak lingkungan hidup dan membahayakan manusia.

Dengan bantuan Universitas Ateneo de Naga milik Yesuit dan berbagai lembaga swadaya masyarakat, katanya, Gereja memperoleh data dan “bukti ilmiah bahwa pertambangan merusak flora dan fauna yang rentan di wilayah itu."

Dia menekankan bahwa Gereja menjadi “penasehat” tanpa kuasa membuat kebijakan. "Kita tidak bisa memaksa perusahaan-perusahaan itu untuk hengkang dari pulau itu." Namun, "kita akan terus mendorong pengadaan dialog dengan semua pihak terkait -- petani, penambang, serta pemerintah lokal dan regional yang berkuasa menjalankan berbagai keputusan itu,” kata prelatus itu.

Uskup Baylon mengatakan bahwa dia juga akan melibatkan orang muda dalam melindungi hutan. Uskup itu mengetuai Komisi Kepemudaan dari Konferensi Waligereja Filipina.

Prelatus itu berasal dari Propinsi Camarines Sur, juga di wilayah Bicol. Dia ditahbiskan imam tahun 1978 dan menjadi uskup setelah melayani Gereja selama 20 tahun, termasuk menjadi sekretaris Kedutaan Vatikan di Manila.

Di antara lebih dari 3.000 orang yang menghadiri Misa pelantikannya itu terdapat juga Presiden Gloria Macapagal-Arroyo.

Di Lagazpi terdapat 36 imam yang melayani lebih dari 1,13 juta umat Katolik di 43 paroki. Mereka dibantu oleh 156 suster, 12 bruder, dan 86 seminaris.
Read more...

13 Desember 2009

Gereja Berkabung atas Kematian Teolog Kawakan

PUNE, India (UCAN) -- "Tidak ada teolog yang lebih hebat dari Pastor Neuner di India," kata Uskup Agung Agra Mgr Albert D'Souza kepada sekitar 1.500 pelayat yang menghadiri Misa pemakaman mendiang Pastor Josef Neuner SJ.

Berbicara kepada UCA News kemudian, Uskup Agung D'Souza mengatakan, mediang ilmuwan Yesuit itu membawa "udara segar" ke dalam Gereja Katolik India, dengan ketajaman dan kedalaman pandangannya tentang iman.

Pastor Neuner, tokoh penting dalam Konsili Vatikan Kedua (1962-1965) dan seorang pembimbing rohani dari Beata Teresa dari Kolkata, wafat pada tanggal 3 Desember di usia 101 tahun. Dia dimakamkan pada hari berikutnya di pemakaman Jnana-Deepa Vidyapeeth (JDV), seminari kepausan di Pune, India bagian barat, tempat dia mengajar selama beberapa dekade.

Pastor Job Kozhamthadam, ketua JDV, mengatakan dalam eulogianya pada Misa pemakaman di kapel seminari itu bahwa sebuah "tradisi penting" teologi di India berakhir dengan wafatnya rekan Yesuit itu.

Pastor yang dilahirkan di Austria itu selalu memperlihatkan cara-cara baru untuk melayani Gereja dan masyarakat di India, negeri yang dipilihnya tahun 1938. "Tujuannya adalah untuk membangun sebuah Gereja India dengan sebuah teologi Kristen India yang asli," jelas Pastor Kozhamthadam.

Misionaris itu menghabiskan tujuh tahun di penjara di India ketika Perang Dunia Kedua, karena dia berasal dari negara berbahasa Jerman. Namun, dia dia memanfaatkan saat itu untuk mempelajari bahasa Sansekerta, berbagai kitab suci Hindu seperti Bhagavad Gita dan buku-buku Upanishad, serta sistem filsafat India, kata Pastor Kozhamthadam.

Pastor Neuner juga mengilhami generasi-generasi para pastor dan suster dengan ajaran, retret, dan bimbingannya. Salah satu di antara mereka itu adalah Beata Teresa dan Kongregasi Misionaris Cinta Kasih serta sejumlah anggota Society of the Helpers dari Kongregasi Maria dan berbagai lembaga sekular.

Menurut Pastor Kozhamthadam, Gereja India berhutang budi kepada Pastor Neuner karena turut memberi kontribusi dalam transformasi yang mulus dari “Gereja kolonial” yang tua “menjadi Gereja India yang asli."

Ini dia lakukan umumnya melalui JDV, sebelumnya Pontifical Athenaeum, yang didirikan di Kandy, Sri Lanka, tahun 1893. Lembaga pendidikan ini berpindah ke Pune tahun 1955, delapan tahun setelah India merdeka.

Pastor Neuner membuat seminari itu melihat ke depan dan terbuka secara kreatif terhadap keanekaragaman sosial, budaya, dan politik, kata ketua JDV itu.

Pastor Kuruvilla Pandikattu SJ, seorang dosen JDV, menambahkan bahwa Pastor Neuner memotivasikan ratusan mahasiswa teologi untuk menyesuaikan pesan Kristen dalam realitas India.

Bruder Mani Mekkunnel dari Kongregasi Montfortan, sekretaris nasional Konferensi Religius India, mengatakan bahwa Pastor Neuner adalah "lokomotiv pembaruan Gereja” dan mempengaruhi Gereja India secara mendalam setelah Konsili Vatikan Kedua.*
Read more...

11 Desember 2009

Kehidupan di Garis Depan Perubahan Iklim

Komentar UCAN


Brie O'Keefe, pejabat program aksi untuk Progressio, sebuah badan amal internasional dengan akar-akar Katolik yang berbasis di London, mengatakan, Asia berada dalam posisi yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim. Dia mendesak negara-negara kaya untuk segera bertindak guna mengurangi emisi karbon global dan menolong negara-negara miskin untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim sebagai hal yang mendesak.


LONDON (UCAN) -- Para pemimpin dunia, aktivis, pelayan masyarakat, kaum muda, perempuan, dan pemimpin agama memadati dengan ribuan kemah untuk mengambil bagian dalam pertemuan di Copenhagen yang menurut pakar ekonomi Inggris Lord Stern merupakan "pertemuan terpenting sejak Perang Dunia Kedua."

Sementara pemerintah-pemerintah berusaha mengambil langkah-langkah untuk mengurangi tingginya temperatur global yang direkomendasikan oleh para ilmuwan, di bagian lain dunia sudah berhadapan dengan fakta bahwa perubahan iklim sudah mulai terjadi. Dan tidak ada tempat lain yang merasakan hal ini lebih genting ketimbang sejumlah tempat di Asia.

Dalam hampir semua pembicaraan tentang perubahan iklim yang diselenggarakan pada bulan November di Barcelona, Spanyol, Joseph Hadler dari NGO Forum for Drinking Water Supply and Sanitation di Bangladesh berbicara tentang apa yang sudah dialami negaranya.

"Saya berada di sini sebagai korban perubahan iklim, negara saya kini sedang menghadapi banyak persoalan semacam itu sekarang ini dan berbagai persoalan itu sangat diakibatkan oleh perubahan iklim. Kini sepanjang tahun kami menghadapi situasi angin ribut,” kata Hadler.

Walaupun di media dan lainnya, banyak orang memperdebatkan ilmu di balik perubahan iklim, fakta berbicara sendiri. Dua peristiwa angin topan telah menghantam Bangladesh dalam tiga tahun terakhir.

Dua kali angin topan yang luar biasa itu telah menghancurkan infrastruktur dan kehidupan manusia di banyak bagian wilayah pesisir Bangladesh, jelas Hadler.

Masuknya air laut ke daratan juga biasa terjadi. Karena air asing masuk ke daratan, tanaman produktif rusak.

Intergovernmental Panel on Climate Change, badan yang bertugas untuk mengakses resiko-resiko seputar pemanasan global, memperkirakan bahwa karena lebih banyak karbon mencemarkan atmosfir, cuaca ekstrim seperti angin topan menjadi lebih sering dan lebih intens terjadi.

Namun yang diinginkan Hadler – seperti yang juga diinginkan banyak lembaga swadaya masyarakat yang menghadiri pembicaraan-pembicaraan di Copenhagen pekan ini – tidaklah sekedar menghasilkan daftar prediksi bagaimana hal-hal buruk akan terjadi, tetapi aksi konkret:

"Saya di sini justru untuk menyadarkan dunia bahwa saya ini korban, negeri saya menjadi korban, dari apa yang sedang kami hadapi dan berbagai alasan di balik semua itu. Para pemimpin (dunia) harus memikirkan semua ini dan melakukan sesuatu bagi negara-negara korban seperti Bangladesh."

Sebagai sebuah benua, Asia berada pada tempat yang sangat menderita akibat dampak perubahan iklim. Di banyak negara tempat Progressio berkarya, seperti Timor Leste, yang 80 persen orang mudanya menganggur dan 40 persen penduduknya hidup kurang dari satu dolar per hari, sumber daya yang tersedia hanya sedikit untuk bisa menunjang proyek-proyek yang akan melindungi mereka dari masa depan lingkungan hidup yang berubah yang diprediksi sains.

Sesungguhnya, isu adaptasi, bagaimana komunitas-komunitas bisa “beradaptasi” untuk membuat mereka mampu menghadapi dampak perubahan iklim, menyoroti satu dari berbagai poin penting menyangkut negosiasi-negosiasi iklim internasional yang diadakan hingga saat ini - tanggung jawab sejarah.

Ini merupakan suatu ironi yang aneh bahwa negara-negara itu umumnya bertanggungjawab karena penciptaan perubahan iklim akan menjadi yang terakhir karena konsekuensi-konsekuensi perubahan iklim itu sendiri, yang membuat negara-negara miskin dipersalahkan karena mengabaikan usaha untuk menghadapi perubahan iklim.

Juga, banyak pemerintah dari negara-negara maju menolak permintaan disisihkannya dana adaptasi perubahan iklim di negara-negara termiskin di dunia. Negara-negara maju lebih suka menggunakan bantuan internasional untuk memerangi kemiskinan dan serempak mengurangi emisi karbon di negara-negara sedang berkembang.

Para pemimpin Gereja kembali menyuarakan bantuan internasional untuk mulai memperhatikan planet bumi secara berkelanjutan. Dalam pertemuan tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perubahan iklim yang pernah diadakan di New York pada bulan September, Paus Benediktus XVI berbicara dalam sebuah pesan lewat video tentang tanggung jawab kita untuk memperhatikan bumi.

"Lingkungan hidup ini dianugerahkan Allah untuk semua orang, maka pemanfaatannya menyiratkan tanggungjawab pribadi terhadap kemanusiaan secara keseluruhan, khususnya terhadap kaum miskin dan terhadap generasi-generasi mendatang,” katanya.

"Biaya sosial dan ekonomi dari pemborosan sumber daya bersama harus diakui secara transparan dan ditanggung oleh mereka yang melakukannya, bukan oleh orang lain atau generasi-generasi mendatang. Pelestarian lingkungan hidup, dan perlindungan sumber daya iklim, mewajibkan semua pemimpin untuk bertindak secara bersama, dengan menghormati undang-undang dan dengan meningkatkan solidaritas dengan berbagai kawasan dunia yang paling lemah."

Sekalipun ada banyak himbauan seperti itu, masih saja ada berbagai hambatan politik yang menghambat tindakan cepat menyangkut perubahan iklim.

Copenhagen, kata para aktivis, merupakan kesempatan terbaik kita untuk membuat kesepakatan, tetapi mungkin bukan kesempatan terakhir. Perubahan iklim tidak segera lenyap begitu saja, tetapi keputusan-keputusan yang dibuat sekarang akan menjadi acuan seberapa baik kita menghadapi hal itu di tahun-tahun mendatang.

Di Barcelona, Hadler berbicara tentang desa-desa di seluruh Bangladesh yang rusak dan dipindahkan ke pedalaman untuk menghindari masuknya air laut ke daratan.

"Saya ingin memperingatkan para pemimpin dunia,” katanya. “Kita tidak bisa lagi menggali kuburan di desa-desa kami, karena sudah berada di bawah laut, maka kami memindahkan jenazah-jenazah ke tempat lain untuk mengebumikan mereka. Inikah masa depan kita?"

Jika negara-negara kaya tidak bertindak sekarang untuk mengurangi emisi karbon dan untuk membantu negara-negara miskin menyesuaikan diri sebagai hal yang mendesak, maka kisah seperti yang dituturkan oleh Hadler akan juga menjadi umum. Itulah sebabnya pertemuan Copenhagen harus berhasil. ***

Read more...

Dialog Antaragama Harus Melibatkan Kelompok Radikal

VATIKAN (UCAN) -- Para tokoh Muslim, yang bertemu dengan Jean-Louis Kardinal Tauran, ketua Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama, ketika dia berkunjung ke Indonesia, menunjukkan ketekadan untuk membentuk hubungan lintas agama yang kuat, kata seorang anggota dewan itu.

Namun, Pastor Markus Solo SVD, seorang imam Indonesia yang bekerja di seksi Dialog Kristen-Muslim Asia di dewan itu, berpendapat bahwa dialog lintas agama di Indonesia mesti juga melibatkan kelompok-kelompok radikal.

Dalam komentar untuk UCA News ini, dia juga mengatakan bahwa pernyelesaian berbagai persoalan yang melibatkan kelompok-kelompok semacam itu hanya bisa terlaksana dalam kelompok agama mereka masing-masing.

Pastor Solo menemani Kardinal Tauran dalam kunjungan resmi kardinal itu ke Indonesia dari 24 November hingga 1 Desember.


Berikut ini adalah refleksi-refleksi imam itu:


Pertama-tama, saya ingin menjelaskan bahwa Jean-Louis Kardinal Tauran dan saya datang ke Indonesia atas nama Takhta Suci dan itu berarti mewakili Gereja Katolik Roma universal. Ini harus dikatakan sehingga bisa membantu kaum Muslim membedakan umat Katolik dari umat Protestan. Patut disayangkan bahwa banyak kaum Muslim di Indonesia masih tidak bisa membedakan antara keduanya, dan ini terkadang menimbulkan salah pengertian dan menciptakan persepsi keliru.

Ketika menjadi Ketua Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama (PCID, Pontifical Council for Interreligious Dialogue) tahun 2007, Kardinal Tauran mengungkapkan keinginannya untuk mengunjungi Indonesia.

Dia tahu dengan baik bahwa dialog dengan kaum Muslim tidak bisa mengabaikan Indonesia karena beberapa alasan. Pertama, Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia – 22 persen penduduk Muslim dunia. Kedua, Indonesia mengalami ketegangan-ketegangan lintas agama antara Kristen dan Muslim, terutama setelah pemerintahan Soeharto (1966-98).

Krisis sosial-ekonomi 10 tahun terakhir telah menimbulkan sentimen-sentimen agama dan memperburuk hubungan Kristen-Muslim di sejumlah tempat di Indonesia. Konflik-konflik berdarah dengan motif agama di sejumlah tempat seperti Jawa, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan berdampak negatif terhadap hubungan Kristen-Muslim walaupun kenyataannya konflik-konflik ini bukan konflik agama. Hubungan-hubungan yang buruk itu menimbulkan kecurigaan dan prasangka selama bertahun-tahun, dan ini tercermin dalam ketakutan terhadap misi dan evangelisasi, dalam larangan pembangunan tempat-tempat ibadat, dan sebagainya.

Namun harus diakui bahwa hanya segelintir kelompok yang menggunakan agama untuk suatu agenda tertentu – baik itu bersifat politik maupun agama – dan menimbulkan berbagai masalah dan kekacauan di seluruh negeri. Namun, berkat Tuhan, mayoritas umat Kristen dan kaum Muslim adalah orang-orang yang berkehendak baik yang moderat dan berpikiran terbuka terhadap pluralitas yang merupakan bagian integral dari realitas di Indonesia.

Vatikan sadar akan situasi hubungan Kristen-Muslim di Indonesia, dan tahu baik buruknya. Karena alasan-alasan inilah, Kardinal Tauran senang mewujudkan keinginannya untuk mengunjungi Indonesia dan bertemu dengan para tokoh Muslim serta para pemimpin resmi agama-agama lainnya.

Kardinal Tauran dan saya mengadakan serangkaian pertemuan dengan para tokoh Muslim di Masjid Istiqlal, Wahid Institute, organisasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di Jakarta; di Denpasar di Bali, Makassar di Sulawesi; dengan Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga dan Sultan di Yogyakarta; dan di DEPLU (Departemen Luar Negeri) di Jakarta.

Dari pembicaraan-pembicaraan ini, saya setulusnya mengatakan bahwa semua tokoh Muslim dan berbagai rekan yang kami temui dalam kunjungan itu memperlihatkan kehendak baik dan kesiapan untuk bekerja sama dengan umat Kristen guna menciptakan landasan hubungan antaragama yang mantap, kuat dan moderat di Indonesia. Kehendak baik ini juga membuka kemungkinan untuk melibatkan kelompok-kelompok radikal dan fundamentalis. Ini merupakan suatu perkembangan penting yang muncul dari pengalaman-pengalaman masa krisis hubungan antaragama beberapa tahun terakhir.

Ada semacam keinginan dan kesadaran baru untuk menciptakan suatu tatanan baru dan untuk memberi suatu wajah baru Indonesia yang rukun dan damai. Ini pasti akan menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Namun saat kekuatan moderat – yang terdiri dari orang-orang yang berkehendak baik di seluruh negeri – terbentuk dan didukung oleh persahabatan yang jujur, tulus, dan penuh penghormatan, maka Indonesia akan mampu memerangi terorisme dan kelompok-kelompok radikal yang bertindak membabi-buta dan memperalat agama untuk tujuan terselubung yang pada dasarnya bertentangan dengan kepentingan bersama masyarakat.

Kardinal Tauran mendukung hal ini dan di berbagai tempat menyoroti pentingnya Pancasila, falsafah yang kuat dan mendasar, yang menjadi kekayaan tersendiri dari Indonesia. Pancasila, yang menjadi simbol penting pemersatu kebhinekaan bangsa, harus dihidupkan kembali dan dihormati oleh segenap masyarakat Indonesia tanpa mempedulikan agama, kebudayaan, suku, dan sebagainya.

Ketika menekankan pentingnya Pancasila, Kardinal Tauran mengatakan dengan tegas kepada mereka yang bertemu dengannya bahwa dia berdoa semoga Pancasila akan senantiasa menjadi landasan dan falsafah yang mendasari hak dan tanggungjawab segenap warga negara dalam memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bersama.

Juga perlu dikatakan bahwa dalam kedua agama [Kristen dan Islam] ada kesamaan pandangan dan gagasan tentang perdamaian dan kerukunan, seperti telah disampaikan dalam berbagai sambutan dan pembicaraan. Perdamaian itu bukan sekedar tidak ada perang dan teror, tetapi merupakan rangkuman berbagai kebaikan, terutama keamanan. Perdamaian merupakan buah keadilan. Sebaliknya, perang dengan segala rentetan kekejaman yang memilukan, merupakan salah satu tragedi terburuk yang dapat terjadi di berbagai bangsa dan komunitas. Perdamaian bertumbuh bagaikan suatu tanaman berharga. Dia butuh perawatan terus menerus. Manusia perlu mempromosikan budaya perdamaian di mana saja dan kapan saja.

Perdamaian yang nyata memiliki tiga hal fundamental: transformasi dari toleransi ke cinta, saling menghormati, dan kerja sama. Indonesia telah bertahun-tahun mempraktekkan toleransi. Namun toleransi juga memiliki konotasi negatif. Dia mengandaikan bahwa mereka yang perlu dan mesti ditolerir adalah mereka yang salah dan mengganggu. Toleransi dalam kebersamaan antaragama di Indonesia mungkin menimbulkan salah pengertian bahwa agama-agama yang bukan agama seseorang itu salah, dan karena itu harus ditolerir. Kita mengoreksi semua salah pengertian, praduga, dan kecurigaan ini dengan mencintai satu sama lain sebagai saudara yang memiliki satu bangsa, satu negara, satu bahasa, dan kekayaan budaya Indonesia.

Sekarang, bagaimana orang Indonesia memenuhi hal ini?

Pertama, umat Kristen dan kaum Muslim – dan segenap masyarakat Indonesia – mesti memiliki dan memastikan adanya kekuatan masyarakat yang berkehendak baik. Mereka mesti membentuk landasan bagi masyarakat yang moderat dan berpikiran terbuka di seluruh negeri untuk bekerja sama secara nasional dalam sebuah jaringan yang dapat meminimalkan pengaruh kelompok-kelompok radikal dan mempromosikan sebuah Indonesia yang rukun dan damai di dunia.

Kedua, Indonesia mesti mengembangkan dirinya sendiri berlandaskan kebudayaan aslinya sendiri, yang menghormati kejujuran, ketulusan, kerukunan, gotong royong, keramahan, kesopanan, dan tidak memaksakan atau bahkan mengagung-agungkan kebudayaan asing, yang hanya akan menimbulkan perpecahan dari apa yang telah menjadi bagian integral dari identitas Indonesia. Umat Kristen dan kaum Muslim di Indonesia mesti secara bersama berjuang untuk menghayati dan mengamalkan iman mereka secara Indonesia sehingga rasa memiliki sebagai satu keluarga diperkuat.

Ketiga, dialog lintas agama di Indonesia mesti melibatkan kelompok-kelompok radikal dan fundamentalis. Mereka ini tidak berada di luar agama; mereka adalah bagian dari agama. Penyelesaian berbagai persoalan dengan kelompok-kelompok radikal hanya dapat terjadi dalam komunitas agama masing-masing. Eksistensi kelompok radikal di Indonesia dan jaringan internasional mereka, sayangnya, masih menjadi masalah terbesar. Orang-orang yang berkehendak baik di berbagai jenjang masyarakat mesti bekerja sama dengan sadar dan bijak sehingga tidak memberi peluang bagi kelompok-kelompok radikal untuk berkembang.

Saat Indonesia bisa “mempertobatkan” kelompok-kelompok radikal, Indonesia akan bisa hidup damai dan rukun, dan memberi kontribusi penting bagi perdamaian dunia. Ini membutuhkan kehendak baik, dan keterlibatan yang sangat menentukan dari orang-orang yang berkehendak baik, para pemimpin agama, serta politisi.

Keempat, Indonesia mesti menghidupkan kembali Pancasila, yang mewakili nilai-nilai kemanusiaan yang agung dan luhur yang menjamin identitas asli semua orang Indonesia. Hidup sesuai Pancasila akan mengilhami masyarakat dunia dan bahkan mengajarkan mereka bagaimana menghayati, menghormati, dan mempertahankan kebhinekaan atau pluralitas dalam cara-cara penuh kerukunan dan kedamaian, karena dunia sendiri perlahan-lahan menjadi semakin pluralistik. ***

Read more...

Paus Serukan Aksi Konkret Menyangkut Iklim

Oleh Gerard O’Connell
Koresponden Khusus di Roma

KOTA VATIKAN (UCAN) -- Paus Benediktus XVI menyerukan kepada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengeluarkan aksi konkret guna mengatasi pemanasan global.

Pada malam konferensi di Copenhagen itu, paus menyerukan kepada semua orang yang berkehendak baik untuk “menghormati hukum yang telah ditempatkan Tuhan dalam alam ciptaan.”

Keutuhan ciptaan “menuntut penentuan gaya hidup moderat dan bertanggungjawab,” karena peduli dan hormat “terhadap orang miskin dan generasi masa depan,” katanya.

Ketika berbicara kepada ribuan peziarah di Basilika St. Petrus pada hari Minggu, 6 Desember, Paus mengungkapkan harapan bahwa hasil konferensi itu “mudah-mudahan mengeluarkan aksi-aksi yang menghormati ciptaan dan meningkatkan pengembangan bersama yang bertanggungjawab, yang dilandaskan pada martabat pribadi manusia dan terarah kepada kebaikan bersama.”

Konferensi PBB itu berlangsung 7-18 Desember. Acara itu akan dihadiri oleh lebih dari 100 kepala negara dan wakil-wakil dari hampir 192 negara anggota PBB, termasuk negara-negara besar Asia -- Cina dan India.

Takhta Suci, yang memiliki status pengamat resmi di PBB dan hubungan diplomat penuh dengan 176 negara, hadir dalam konferensi dengan delegasi beranggota lima orang, termasuk para pakar dalam bidang itu.

Delegasi itu dipimpin Uskup Agung Celestino Migliore, pengamat tetap Takhta Suci untuk PBB di New York, yang akan berbicara dalam konferensi itu.

Caritas Internasional, organisasi induk dari 150 lebih organisasi karitatif dan pembangunan resmi Katolik di seluruh dunia, juga ikut pertemuan tingkat tinggi tentang iklim itu sebagai sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Caritas membawa delegasi, di antaranya ada sejumlah uskup dari 25 negara termasuk Bangladesh, Kamboja, India, dan Indonesia. Mereka akan melobi pemerintah untuk mencapai “kesepakatan adil dan efektif” tentang apa yang perlu dilakukan.

Bersama Catholic International Cooperation for Development and Solidarity (CICDSE), Caritas mendorong pemerintah menggunakan "kesempatan satu-satunya dalam satu generasi untuk menyelamatkan keluarga manusia dari akibat kerusakan iklim."

Kata-kata Paus Benediktus menambah dukungan moral bagi berbagai seruan yang pernah dilontarkan oleh Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dan para ilmuwan kepada para pemimpin politik dunia, yang mendesak mereka untuk menyepakati aksi yang dibutuhkan untuk menanggapi pemanasan global.

Tujuan utama konferensi PBB itu adalah untuk menyepakati cara-cara guna mempertahankan suhu rata-rata dunia kurang dari 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri mereka.

Sejumlah ilmuwan mengingatkan bahwa kenaikan suhu yang dari ini agaknya akan berdampak buruk pada planet bumi, khususnya bagi negara-negara yang lebih miskin di dunia.

Mereka mendesak para pemerintah dunia untuk menerima proposal pengurangan 40 persen emisi karbon pada tahun 2020 karena khawatir bahwa Amerika Serikat dan Cina - pembuat polusi terbesar dunia - akan menolaknya dengan hanya menyetujui pengurangan 20 persen.*

Read more...

Orang Muda Katolik Ingin Advis Praktis dari Gereja

HO CHI MINH CITY, Vietnam (UCAN) -- Kebanyakan orang muda Katolik melihat Misa itu membosankan dan sangat menginginkan nasehat praktis tentang bagaimana hidup sebagai orang Kristen setiap hari, demikian temuan sebuah survey baru-baru ini.

Hampir semua dari 170 orang muda Katolik yang disurvei hanya pergi ke gereja karena merasa itu sudah menjadi kewajiban. Mereka juga berpendapat bahwa kotbah-kotbah yang sekedar menjelaskan bacaan-bacaan Misa itu sesungguhnya membosankan dan bertele-tele.

Komisi Keluarga dari Keuskupan Agung Ho Chi Minh City, yang menyelenggarakan survei itu, berusaha memperhatikan berbagai hambatan yang ditemuinya itu.

Komisi itu mengadakan sebuah seminar pada 28 November tentang bagaimana menarik orang muda ke Gereja.

Marie Nguyen Kim Quyen, seorang mahasiswi psikologi, adalah satu di antara 300 orang muda Katolik yang hadir.

Dia mengatakan dalam pertemuan itu bahwa para imam hendaknya menciptakan suatu suasana persahabatan dan menyampaikan kotbah singkat, menarik, dan dapat dipahami.

Kotbah-kotbah hendaknya diarahkan pada bimbingan umat dalam kehidupan iman mereka, katanya.

Orang muda butuh semacam Misa yang bersifat partisipatoris, di mana mereka bisa menjawab berbagai pertanyaan tentang bacaan-bacaan Misa dan isu-isu moral yang diangkat oleh imam, katanya.

Marie Lan Chi, seorang peserta dalam lokakarya itu, adalah salah satu dari 1.000 orang muda yang secara teratur menghadiri Misa Minggu yang dirayakan oleh seorang imam dari tarekat Sakramen Mahakudus di sebuah gereja setempat.

"Kami merasa gembira menghadiri Misa yang memungkinkan kami bergandengan tangan ketika mendoakan doa Bapa Kami, berjabat tangan, dan saling memberi senyum dalam acara Salam Damai,” katanya.

Mereka kadang-kadang juga melihat foto-foto, video klip, atau pementasan yang menyampaikan sebuah pesan, selain mendengarkan kotbah imam yang membantu mereka menyelesaikan berbagai persoalan setiap hari, kata mahasiswi itu.

Dalam lokakarya itu, sejumlah orang muda menyampaikan pandangan mereka tentang kegiatan-kegiatan Gereja dan harapan-harapan mereka dari para religius dan klerus setempat.

Pastor Louis Nguyen Anh Tuan, ketua komisi itu, mengatakan kepada UCA News, lokakarya itu merupakan suatu kesempatan bagi orang muda untuk mengungkapkan harapan-harapan mereka tentang kegiatan-kegiatan liturgi.

"Saya akan meminta para imam untuk membenahi kotbah-kotbah mereka dan untuk merayakan Misa secara menarik bagi orang muda,” kata imam berusia 47 itu.

Pastor Tuan berencana mengadakan sebuah lokakarya lagi dan mengundang para imam setempat untuk berbicara dengan kaum muda. ***

Read more...

Masalah Lingkungan, Masalah Agama

KOLOMBO (UCAN) -- Sebuah pertemuan lintas agama, termasuk juga pencinta lingkungan, mahasiswa, dan para diplomat, menggarisbawahi bahwa semua orang bertanggungjawab dalam melindungi alam.

Pertemuan yang dilakukan selama empat hari dengan tema ‘Selamatkan Planet Bumi’ di dekat kota Kolombo itu, mengangkat berbagai isu yang akan dibahas pada Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen bulan Desember.

Para pemimpin Buddha, Kristen, Muslim dan Hindu menegaskan bahwa perlindungan terhadap lingkungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip keagamaan mereka masing-masing.

Pastor Noel Dias dari Keuskupan Agung Kolombo mengatakan Kitab Kejadian telah mengajarkan bahwa Adam dan Hawa telah diberi kuasa oleh Tuhan untuk menguasai bumi. Tapi ini bukan berarti mereka sebagai pemilik, melainkan sebagai pelayan dan pemelihara bumi dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Hal senada juga diungkapkan Uskup Anglikan Duleep de Chickera. Dia mengatakan, agama-agama di dunia mendukung konsep bahwa manusia adalah pengurus bumi. Dan itu harus dipahami oleh semua komunitas di seluruh dunia.

Swami Shanker Kamalanathan, seorang imam Hindu mengatakan: "Agama Hindu sangat dekat dengan alam dan melihat Tuhan dalam segala sesuatu yang ada di alam semesta.” Karena itu dia mengajak semua orang untuk mencegah bahaya konsumerisme.

Sementara itu Olande Ananda, seorang biksu agama Buddha mengingatkan bahaya besar yang bisa terjadi apabila hubungan antara manusia dan alam rusak akibat ketamakan manusia.

Menurut imam Muslim Moulawi Nilam, pandangan Islam tentang ekologi sama dengan pandangan Kristen. Dia juga meminta para mahasiswa untuk menggunakan kemampuan mereka untuk menciptakan dunia yang lebih baik. “Ilmu pengetahuan, teknologi dan profesionalisme yang anda miliki harus bisa mengatasi ketakutan dan sikap sinis manusia,” katanya.

Duta besar Amerika untuk Sri Lanka, Patricia A. Butenis, sependapat dengan pandangan para pemuka agama. Dia mengatakan setiap individu adalah pemelihara lingkungan dan harus mengambil tindakan positif untuk kehidupan di masa mendatang yang lebih baik.

Para peserta pada rapat yang berakhir pada 22 November tersebut menyepakati beberapa tindakan praktis yang harus diambil untuk melindungi lingkungan hidup, termasuk pencegahan terhadap konsumerisme, konservasi air, penanaman pohon dan pengurangan penggunaan bahan bakar.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kekayaan Alam Patali Champika menegaskan bahwa kekayaan alam sama seperti warisan budaya manusia yang harus dilindungi. **


Read more...

Cara Baru Meng-Gereja

Oleh Virginia Saldanha

MUMBAI, India (UCAN) -- Saat orang merayakan 20 tahun runtuhnya Tembok Berlin pada November 1989, berita penuh dengan kenangan euforik serta analisa kritis. Uskup Agung Berlin, Georg Kardinal Maximilian Sterzinsky mengatakan bahwa masih ada banyak perbedaan fundamental menyangkut berbatasan bekas Jerman Timur-Barat itu.

Orang dari Jerman Barat “jauh lebih individualistik dalam cara mereka berpikir dan bagaimana mereka mengungkapkan dirinya," demikian pengamatan kardinal itu. Sebaliknya, "orang dari Jerman Timur memiliki cara merasa dan berpikir yang lebih bersifat kolektif."

Banyak orang di Asia akan membuat pembedaan serupa antara Timur dan Barat pada atlas dunia. Di Timur, kita berpikir dalam term keluarga dan komunitas, sementara orang Barat agaknya lebih individualistik. namun, ini sedang berubah.

Generasi tua di Barat merindukan keluarga dan komunitas, sementara media dan pasar mempengaruhi dunia melebihi para tokoh anggota e-generasi yang lebih muda dalam membuat pilihan menyangkut tantangan pastoral yang lebih besar.

Membaca tanda-tanda zaman menjelang akhir abad ke-20 – individualisme dan materialisme yang berkembang – selagi menyusuri jalan pengabdian dari dialog iman rangkap tiga dengan realitas ekonomi, kebudayaan, dan agama-agama lain, Sidang Umum ke-5 FABC tahun 1990 mengartikulasikan visi mereka bagi Gereja di Asia. FABC melihat sebuah Gereja yang partisipatoris dan turut bertanggung jawab sebagai sebuah persekutuan dari komunitas-komunitas.

Sejumlah anggota konferensi-konferensi yang termasuk dalam FABC menjadikan visi itu suatu "Cara Baru Meng-Gereja" sebagai preferensi pastoralnya. Sejalan dengan ini, kantor AsIPA (Asian Integrated pastoral Approach), bagian dari Kantor FABC untuk Keluarga dan Kaum Awam, sibuk mengadakan berbagai program pelatihan dan penciptaan modul-modul untuk digunakan oleh para penggerak Komunitas Basis Kristiani (SCCs, Small Christian Communities) dan Komunitas Basis Gerejani (BECs, Basic Ecclesial Communities).

India telah menggunakan AsIPA sebagai DIIPA (Developing and Indian Integral Pastoral Approach). Dan Uskup Auksilier Bombay Mgr Bosco Penha mengembangkan sebuah pendekatan lain di keuskupan agungnya. Pendekatan itu dibagikan dengan keuskupan-keuskupan lain dan negara-negara lain.

Di Filipina, Bukal ng Tipan (mata air perjanjian), sebuah pusat yang mempromosikan keterlibatan umat awam dalam Gereja, telah memasukan metodologinya sendiri agar cocok dengan lingkungan setempat, dengan memperhatikan BECs di Filipina sebelum munculnya AsIPA.

"Pengalaman pribadi saya berdasarkan sejumlah kunjungan ke Jerman, serta hidup di Eropa bersama keluarga para putri saya, memberikan saya suatu perasaan yang kuat bahwa suatu gerakan yang disesuaikan dengan SCC dapat menghidupkan kembali iman umat di sana."

Ketika kita mengakhiri Sidang Umum AsIPA ke-5 baru-baru ini di Davao, Filipina selatan, kehadiran sejumlah besar para pemimpin BEC setempat mengingatkan kami bahwa benih BECs/SCCs diteburkan lebih dahulu di wilayah ini 40 tahun lalu. Itu semua merupakan suatu tanggapan terhadap krisis politik yang menggerogoti Filipina selama kekuasaan teror dari Marcos. Komitmen profetik dari para pemimpin perintis BEC waktu itu tidak boleh dilupakan.

Dewasa ini, struktur-struktur Cara Baru Meng-Gereja terlaksana. Umat yang terlibat menghargai peran mereka karena menjadi bagian dari Gereja ini. Perubahan dari fokus individualistik tempo dulu yaitu menyelamatkan jiwa sendiri berubah menjadi menghidupi komunitas iman. Perubahan ini diterima dan dihargai.

Perubahan merupakan proses yang memerlukan waktu dan kesabaran. Ada sejumlah kisah sukses tentang iman yang hidup dalam SCCs yang terus memberi pengharapan dan kehidupan untuk gerakan ini di Asia.

Dengan proyek AsIPA, melalui asosiasi badan Gereja Jerman “Missio,” Gereja di Jerman akhirnya tertarik dengan cara baru meng-Gereja ini. Sepuluh peserta Eropa dari Jerman, Swiss, dan Inggris hadir dalam Sidang Umum itu untuk belajar bagaimana mereka dapat menyesuaikan pendekatan pastoral ini untuk situasi mereka sendiri, yang semakin bersifat lintas agama dan lintas budaya. Menarik untuk dicatat bahwa ada “misi yang berubah arah” - dari Timur ke Barat - dalam Gereja.

Pengalaman pribadi saya berdasarkan sejumlah kunjungan ke Jerman, serta hidup di Eropa bersama keluarga para putri saya, memberikan saya suatu perasaan yang kuat bahwa suatu gerakan yang disesuaikan dengan SCC dapat menghidupkan kembali iman umat di sana.
Karena berasal dari India, saya melihat adanya nilai-nilai Kristen yang kuat yang mendukung masyarakat Eropa.

Individualisme dan materialisme agaknya mengikis nilai-nilai ini, namun saya kira umat ingin meningkatkan persahabatan. Mereka butuh satu sama lain, namun khawatir melanggar "garis privacy yang sakral."

Persoalan besar yang perlu dijawab di Barat adalah: Di mana privacy itu berakhir dan komunitas ini berawal? Ketika anak-anak masih kecil, ketika orang menjadi renta dan dalam krisis, ketika kita ingin berpesta dan berkabung, kita butuh komunitas.

Gereja menjamin komunitas. Tetapi komunitas ini perlu dikembangkan melampaui “tembok-tembok” Gereja. Zaman telah berubah. Gereja harus mengakui, dia bisa berharap bahwa generasi muda sekarang ini kembali ke model Gereja yang lama. Cara-cara lama dalam memikirkan dan mengoperasikan sebuah paroki itu justru membentuk sebuah Tembok Berlin konseptual yang perlu dirobohkan sehingga umat dapat menghayati iman mereka sedemikian rupa yang lebih sesuai dengan zaman hidup mereka.

Ada kekecewaan yang sedang meningkat di kalangan umat awam menyangkut kualitas para imam. Para gembala ini bisa menjadi orang-orang yang mengeluarkan orang muda dari Gereja di Asia. SCCs atau Komunitas-Komunitas Iman bisa membantu mempertahankan orang-orang muda di dalam Gereja.

Yang menonjol di antara berbagai kualitas orang muda di mana saja adalah kejujuran dan keinginan besar untuk keluar menolong orang lain. Ini merupakan kualitas yang dibutuhkan dalam membangun dan memelihara komunitas. Jika dimanfaatkan secara kreatif, Gereja baik di Timur maupun di Barat dapat menjadi sumber yang memberi semangat pada iman yang hidup.
"Cara lama dalam memikirkan dan mengoperasikan sebuah paroki itu justru membentuk sebuah Tembok Berlin konseptual. Ini perlu dirobohkan sehingga umat dapat menghayati iman mereka sedemikian rupa yang lebih relevan dengan zaman hidup kita."

Gereja perlu menaruh minat yang lebih besar terhadap pendidikan kaum awam dengan menyisihkan sumber dana dan sumber daya. Pada saat pedoman dibuat sesuai tempat, kaum awam yang dibina secara memadai dalam bagaimana menghayati imannya perlu diandalkan untuk menjalankan tugas. Mereka dapat menghayati iman mereka di dalam komunitas mereka tanpa dimonitor setiap saat apakah mereka melakukan hal yang benar atau salah. Ini akan terus dibutuhkan baik di Timur maupun Barat, yang panggilan imamat mengalami kemunduran.

Gerakan SCC/BEC di Asia akan maju berkat kaum awam, terutama kaum perempuan di akar rumput. Di keuskupan-keuskupan yang tidak memiliki cukup imam, para penggerak awam ini menjadi iman komunitas tetap hidup dan melayani kebutuhan-kebutuhan pastoral, dengan cukup imam datang untuk merayakan Ekaristi secara tetap.

Dikatakan bahwa runtuhnya Tembok Berlin bukanlah suatu aksi yang direncanakan, itu spontan terjadi. Namun kerinduan mendalam roh manusia di kedua sisi untuk melihat tembok itu roboh tidak bisa diperdebatkan. Kerinduan itu kemudian bertumbuh menjadi suatu gerakan yang dipahami sebagai isyarat untuk aksi.

Hal serupa dapat diharapkan bahwa kerinduan besar dalam hati manusia di seluruh dunia untuk membangun suatu tata dunia yang baru, akan berkembang menjadi suatu gerakan yang menciptakan perubahan yang diinginkan untuk menjadikan Cara Baru Meng-Gereja itu suatu realitas!

---------
Virginia Saldanha tinggal di Mumbai, India. Dia adalah sekretaris eksekutif Kantor Keluarga dan Awam FABC, dan mantan sekretaris eksekutif Komisi Perempuan dalam Konferensi Waligereja India.


Read more...

Komunikator Katolik di Kongres Dunia Fokus pada Anak dan Media

CHIANG MAI, Thailand (UCAN) -- Isu-isu media dan hak anak menjadi sorotan berbagai presentasi pada pembukaan Kongres SIGNIS se-Dunia yang tengah berlangsung di Chiang Mai, Thailand bagian utara.

Orang muda "pada dasarnya harus berhak untuk ikut dan mengambil bagian dalam media," tegas Augustine Loorthusamy, ketua asosiasi Katolik sedunia untuk profesional dan akademisi di bidang audiovisual, penyiaran, dan media baru.

Loorthusamy menyampaikan presentasi pembukaannya pada 18 Oktober untuk lebih dari 300 kaum awam, imam, dan religius yang terlibat dalam kerasulan komunikasi. Kongres yang akan berakhir 21 Oktober itu bertema: "Media for a Culture of Peace -- Children's Rights, Tomorrow's Promise" (Media untuk Kebudayaan Perdamaian – Hak Anak, Janji Hari Esok).

Pemimpin SIGNIS memaparkan klaim demi klaim bahwa kerasulan komunikasi bersifat sentral bagi Gereja. Dia melihat bahwa adanya "kelesuan yang tersebar luas" dan tidak adanya dukungan untuk kerasulan ini.

Dia menghimbau peserta untuk menjembatani generasi muda dan generasi tua, awam dan klerus, media sekular dan media religius, serta antara agama-agama.

Mengacu pada jeritan anak-anak di banyak bagian dunia yang menjadi keprihatinan utama kongres itu, dia mencatat bahwa "setiap hari lebih dari 24.000 anak mati kelaparan atau sebab-sebab yang terkait dengan kelaparan."

Zilda Arns Neumann dari Brazil mempresentasikan isu kelaparan secara lebih rinci ketika dia berbicara tentang karyanya dalam menurunkan tingkat kekurangan gizi dan kematian di kalangan anak-anak.

Neumann, seorang dokter spesialis anak dan kesehatan masyarakat, adalah pendiri dan koordinator Pastoral da Crianca (pastoral anak-anak) yang diinspirasikan oleh Gereja Katolik. Organisasi otonom yang diprakarsai oleh Konferensi Waligereja Brazil tahun 1983 ini berkarya di Brazil dan banyak tempat lain di dunia untuk memberdayakan keluarga-keluarga miskin dan memotivasi para pemimpin komunitas.

Kegiatan-kegiatan kongres itu meliputi lokakarya audiovisual dan pementasan untuk sekitar 100 siswa remaja dari tiga sekolah Katolik di Chiang Mai. Sementara itu, 10 jurnalis muda di bidang video dari negara-negara Asia Tenggara mendokumentasikan kongres itu dari perspektif individual mereka.

Uskup Agung Salvatore Pennacchio, Duta Besar Vatikan untuk Thailand dan representatif Takhta Suci untuk beberapa negara lain di Asia Tenggara, memimpin Misa pembukaan. Sejumlah uskup dan 50 imam turut berkonselebrasi dalam Misa itu.
Kongres itu akan ditutup dengan sebuah acara penganugerahan penghargaan media.

Menurut website-nya, misi SIGNIS adalah "melibatkan diri dengan para profesional media dan mendukung para komunikator Katolik untuk turut mentransformasi kebudayaan-kebudayaan kita dalam terang Injil melalui peningkatan martabat manusia, keadilan, dan rekonsiliasi."

Organisasi yang resminya merupakan Asosiasi Katolik Dunia untuk Komunikasi itu memiliki anggota dari 140 negara. Organisasi itu dilahirkan pada bulan November 2001 melalui merger dari Organisasi Katolik Internasional untuk Sinema dan Audiovisual (OCIC, akronim bahasa Prancis) dan Unda ("gelombang" dalam bahasa Spanyol), serta Asosiasi Katolik Internasional untuk Radio dan Televisi.


Read more...

Kardinal Daftar Kualitas yang harus Dimiliki Presiden Mendatang

MANILA (UCAN)-- Gaudencio Kardinal Rosales dari Manila mengatakan, siapa saja “yang takut akan Allah,” bermoral, tidak terlibat dalam hal-hal yang melawan hukum, tahu cara menghargai kehidupan, dan melayani kaum miskin adalah orang yang pantas dipilih sebagai presiden pada tahun 2010.

Kardinal menawarkan kriteria-kriteria ini dalam sebuah wawancara di Radio Veritas 846 milik Gereja pada 13 Oktober ketika media memberitakan nama-nama yang mungkin menjadi calon presiden dalam pemilihan umum pada bulan Mei 2010.
Tanggal 30 November merupakan batas akhir bagi rakyat untuk mendaftarkan calon-calon presiden mereka.

"Banyak sekali orang dari masyarakat yang muncul dengan mengatakan bahwa mereka akan ikut bersaing dalam pemilihan presiden, dan siapa saja yang ingin menjadi presiden Filipina mendatang harus memiliki empat kualitas ini,” kata Kardinal Rosales.

Menurut kardinal, sangatlah penting bagi rakyat untuk sadar akan apa yang mereka cari dalam seorang calon pada tahap awal proses pemilihan umum, dengan menyebut apa yang dibutuhkan negara dari kepemimpinan yang baik di masa ekonomi yang sulit ini.
Pada bulan Januari, Keuskupan Agung Manila berencana mengeluarkan sebuah daftar yang lebih menyeluruh tentang kualitas-kualitas untuk membimbing para pemilih dalam memilih calon mereka.

Kardinal Rosales mengatakan, kualitas pertama yang harus dilihat para pemilih dalam seorang calon adalah apakah pribadi itu takut akan Allah.
"Jika seseorang hanya mengumbar-ngumbar Allah agar populer, maka kita tidak perlu memilih orang seperti itu."

Yang berikut adalah moralitas. Seorang calon yang baik harus menghormati kehidupan dan memperhatikan kaum miskin, dan tidak terlibat dalam hal-hal yang melawan hukum.
"Jika seorang calon memiliki keempat kualitas itu maka dia adalah orang yang pantas untuk menjadi seorang pemimpin karena orang itu tahu cara menghargai bukan saja negara dan rakyat, tetapi juga kehidupan,” kata prelatus dari Manila itu.

Di hari wawancara kardinal itu, Senator Jose "Jinggoy" Estrada mengatakan kepada wartawan bahwa ayahnya, presiden Joseph Estrada yang dipecat, akan mengumumkan pencalonan diri menjadi presiden pada 14 Oktober. Namun dia memutuskan untuk menunda pengumuman itu sampai selesai memberi bantuan kepada para korban angin topan di Filipina utara, kata senator itu.

Mantan presiden yang dituduh korupsi ketika menjabat, dipecat tahun 2001 segera setelah terjadi berbagai protes menentang gagalnya pengadilan memecatnya.
Dia kemudian terbukti bersalah dan dipenjarakan, namun Presiden Gloria Macapagal-Arroyo memberi pengurangan hukuman kepadanya.

Yang lain yang telah mengumumkan rencana mereka untuk mencalonkan diri menjadi presiden adalah Senator Benigno " Noynoy" Aquino III, putra mantan presiden Corazon Aquino; Senator Manuel Villar; Menteri Pertahanan Gilbert Teodoro; dan Eduardo Villanueva, pemimpin gerakan injili Jesus is Lord.

Jajak pendapat terakhir dari Social Weather Stations, sebuah lembaga riset sosial non-profit, menyatakan bahwa 60 persen rakyat Filipina menginginkan Aquino menjadi presiden mendatang.

Villar menyusul, dan diikuti oleh Estrada, dan akhirnya Teodoro.
Jajak pendapat yang dilakukan 18-21 September itu mengambil 1.800 responden dewasa untuk menyebut tiga orang yang menjadi pilihan utama presiden mereka.


Read more...

1 Juli 2009

Gereja Akan Menyoroti Pentingnya Para Imam

KARACHI, Pakistan (UCAN) -- Keuskupan-keuskupan di Pakistan telah memulai Tahun untuk Para Imam dengan sebuah komitmen untuk mengadakan program-program yang menekankan pentingnya imamat.

Paus Benediktus, awal tahun ini, mengumumkan bahwa satu tahun khusus untuk para imam akan dimulai 19 Juni, pesta Hati Yesus yang Mahakudus. Paus juga menulis sebuah surat khusus untuk semua imam, yang dikeluarkan 18 Juni di Vatikan, untuk menjelaskan tentang tahun khusus itu.

Uskup Agung Karachi Mgr Evarist Pinto memimpin Misa konselebrasi khusus bersama 25 imam di Gereja Hati Kudus di kota di bagian selatan Pakistan itu. Keuskupan Agung Karachi memiliki 37 imam diosesan.

"Berbagai program akan dilakukan di seluruh negeri itu untuk menyadarkan umat akan identitas, misi, dan panggilan seorang imam,” kata Uskup Agung Pinto dalam perayaan 19 Juni itu. "Pentingnya seorang imam itu terletak pada pelayanan terhadap umat dengan penuh komitmen dan kasih," lanjutnya.

Prelatus itu kemudian membagikan souvenir kepada para imamnya yang memperingati tahun khusus itu.

Keuskupan Faisalabad di Pakistan bagian timur juga mengadakan Misa khusus di Katedral Santo Petrus dan Paulus pada 19 Juni, yang dihadiri oleh sekitar 20 imam diosesan.

"Ini merupakan tahun syukuran atas panggilan imamat, untuk meninjau kembali berbagai kekeliruan masa lalu dan mulai lagi dengan penuh kesegaran menuju masa depan,” kata Pastor Bashir Francis, mantan vikjen Faisalabad, dalam sambutannya.

Surat paus untuk tahun khusus ini dibacakan, dan keuskupan mengumumkan kegiatan-kegiatan selama tahun khusus ini untuk mempromosikan panggilan imamat di semua 18 parokinya.

Pastor Aftab James Paul, direktur Komisi Dialog Antaragama, mengatakan kepada UCA News bahwa keuskupan itu berencana mengadakan sebuah seminar tentang tahun khusus ini di setiap paroki. Selain itu, keuskupan juga akan “menyusun buku-buku tentang martabat kehidupan seorang imam."

"Spanduk-spanduk dengan ayat-ayat Kitab Suci terkait dengan imamat akan dipajang di gereja-gereja dan lembaga-lembaga pendidikan Katolik” untuk mempromosikan panggilan di kalangan orang muda, katanya.

Pastor Paul mencatat bahwa Pakistan mengalami kekurangan imam. Negeri itu memiliki 164 imam diosesan yang melayani lebih dari 1 juta umat Katolik.

Umat Kristen itu kurang dari 2 persen dari 160 juta penduduk Pakistan, yang sekitar 95 persennya adalah kaum Muslim.

sumber: ucanews.com

Read more...

Para Imam Perlu Belajar Terus Menerus”

JAKARTA (UCAN) -- Para imam di Indonesia mengatakan bahwa Tahun Imam yang diluncurkan baru-baru ini merupakan sebuah kesempatan bagi mereka untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas guna membantu mereka dalam pelayanan pastoral.

"Tugas imam tidak hanya berhenti pada ritual-ritual tapi harus meng-umat, menjawab kebutuhan umat, dan update teologi dan ilmu lain yang berhubungan dengan pelayanan seorang imam," kata Pastor Yohanes Nikolaus Haryanto SJ, sekretaris jenderal Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).

Pastor Haryanto, yang juga mengetuai pelayanan pastoral mahasiswa di Keuskupan Agung Jakarta, mengatakan: "Jangan merasa bahwa saya sudah menyelesaikan filsafat dan teologi maka saya tidak perlu membaca atau berefleksi lagi. Kita harus ingat bahwa banyak orang awam juga sudah mulai belajar teologi."


Seraya menyebut bahwa umat paroki sering memberi hadiah kepada para imam di hari ulang tahun mereka, ia menyarankan: “Umat jangan menghadiahkan baju, tapi buku bacaan apa saja karena jaman sekarang menuntut seorang pastor untuk banyak membaca supaya ada variasi dan inovasi di setiap pelayanan kepada umat.”

Pastor Bonifasius Rampung, rektor Seminari Menengah Pius XII di Kisol, Flores bagian barat, sependapat. "Kebiasaan membaca menjadi hal yang utama. Apalagi sekarang perkembangan sarana komunikasi sangat maju. Kita harus memanfaatkannya," katanya.

Pastor Heribertus Samuel OFMCap dari Paroki St. Fransiskus Asisi di Tebet, Jakarta Selatan, mengatakan bahwa Tahun Imam adalah "sebuah kesempatan istimewa bagi kami untuk mereflesikan pelayanan kami."

Ia menceritakan bahwa sebagai seorang imam yang berkarya di Kota Jakarta, ia kadang-kadang mengalami kesalahpahaman. "Ketika saya melayani terlalu dekat dengan kelompok atau orang tertentu, (saya) dinilai pilih kasih, diskriminasi, atau affair dengan orang tertentu. Padahal ini tugas saya sebagai pastor harus melayani umat,” katanya.

Namun, ia mengatakan bahwa ia terinspirasi oleh teladan St. Yohanes Maria Vianney, santo pelindung para pastor paroki, yang melayani umat awam secara sederhana dan setia. Paus Benediktus XVI, saat mengumumkan secara resmi Tahun Imam, menulis surat khusus kepada semua imam, seraya mengutip panjang lebar kehidupan santo asal Prancis itu.

Sementara itu, Keuskupan Agung Jakarta membuka Tahun Imam dengan sebuah Misa pada 22 Juni di Katedral St. Perawan Maria Diangkat ke Surga di Jakarta. Sekitar 200 imam dan lebih dari 500 umat awam menghadiri Misa yang dipersembahkan secara konselebrasi oleh Julius Kardinal Darmaatmadja SJ dan pensiunan Uskup Fransiskus Xaverius Hadisumarta OCarm.

Dalam surat gembala tertanggal 12 Juni untuk para imam di Jakarta, kardinal mengatakan bahwa keuskupan agung telah menetapkan tema-tema khusus untuk berbagai Misa dan doa-doa khusus untuk para imam yang akan dipersembahkan selama tahun khusus tersebut.

Paus meluncurkan Tahun Imam pada 19 Juni, pesta Hati Yesus Maha Kudus.

sumber: ucanews.com
Read more...