4 Juni 2009

Paroki Wolotopo Selenggarakan Musdikat

Dalam Rangka 25 Tahun Imamat Romo Herman Embuiru Wetu Pr

Oleh Frans Obon

ENDE (FLORES POS) -- Paroki Wolotopo, Keuskupan Agung Ende menggelar Musyawarah Pendidikan (Musdikat) untuk menggalang tanggung jawab bersama semua pihak dalam membangun pendidikan di paroki tersebut. Pertemuan yang digelar Sabtu (30/5) bertempat di aul a paroki ini menghadirkan sekitar 150 peserta dari beberapa stasi di paroki tersebut.

Pastor Paroki Wolotopo Romo Stef Wolo Itu Pr kepada Flores Pos sebelum acara dimulai mengatakan, pertemuan ini dimaksudkan untuk menggugah kesadaran bersama agar umat sungguh menjadi pelaku perubahan di daerahnya masing-masing. Karena selama ini orang hanya berpikir bahwa pelaku perubahan itu hanyalah para pemimpin. Padahal masyarakat juga bisa menjadi pelaku perubahan.

“Hal yang mau diperoleh dari pertemuan ini adalah membangun sikap dan tanggung jawab bersama untuk memajukan pendidikan. Paling kurang dalam pertemuan ini ada langkah konkret untuk sebuah perubahan. Selama ini kerja sama belum maksimal untuk membangun tanggung jawab bersama dalam pendidikan,” katanya.

Pertemuan mengambil tema “Musyawarah Pendidikan demi Perubahan di Masa Depan”, menghadirikan pembicara Kepala Dinas PPO Ende Fransiskus Hapri, Ketua Litbang Pusat Pastoral Keuskupan Agung Ende Romo Feri Deidhae Pr, Ketua Yayasan Tananua Hironimus Pala, Ketua Yasukel Romo Herman Embuiru Wetu Pr, dan Marsel Dala. Moderator Eman Laba, Aloysius Kelen, Petrus Puli, dan Amatus Peta.

Vikep Ende Romo Ambros Nanga Pr yang membuka kegiatan tersebut mengatakan, pertemuan ini merupakan langkah mengggagas masa depan, momen penuh rahmat yang berdampak pada pastoral Gereja dengan starting pointnya adalah membangun pendidikan. Mengutip dokumen Konsili Vatikan II, Vikep mengatakan, pendidikan adalah hak anak yang perlu dijamin dan diberikan oleh orang tua.”Sebab orang tua punya tanggung jawab untuk memenuhi hak anak atas pendidikan,” katanya. Konsili juga mengatakan bahwa orang tua adalah pendidik pertama dan utama. Dia mengutip pernyataan Uskup Agung Ende Mgr Vincent Sensi Potokota yang mengatakan, “Kita berdosa jika kita tidak memberikan pendidikan kepada anak-anak kita”.

Vikep mengajak peserta untuk berpikir bersama membangun pendidikan demi masa depan dan menciptakan agen-agen perubahan melalui lembaga pendidikan.

Usai acara pembukaan, para pemakalah menyajikan presentasi mereka. Kadis PPO Ende Fransiskus Hapri bicara mengenai kebijakan pemerintah Kabupaten Ende dalam membangun pendidikan, dengan moderator Amatus Peta. Romo Feri Deidhae bicara soal pendidikan, akses masa depan anak dan Hironimus Pala bicara pengalaman mereka membangun dana solidaritas pendidikan di Wolomuku dengan moderator Aloysius B Kelen. Sedangkan moderator presentasi Romo Herman E Wetu dan Marsel Dala adalah Petrus Puli.

Peserta kemudian dibagi menurut stasi untuk sebuah diskusi kelompok. Rangkuman akhir seluruh proses dibuat Aloysius Kelen.*

Read more...

2 Juni 2009

Orang Muda Belajar Hadapi Konflik

HUA HIN, Thailand (UCAN) -- Setelah terjadi peningkatan gelombang kekerasan di Thailand, sebuah pusat Katolik menyelenggarakan sebuah program untuk menolong orang muda tahu tentang resolusi konflik.

Thailand dikenal sebagai "Land of Smiles" (negara yang bangsanya senantiasa melemparkan senyuman) yang secara tradisional tidak menyetujui konfrontasi. Namun, peristiwa-peristiwa belakangan ini memperlihatkan wajahnya yang bopeng.

Bangkok baru-baru ini dilanda kerusuhan ketika para pengunjuk rasa anti-pemerintah membakar bus-bus dan melancarkan serangan ke berbagai tempat di kota itu. Sementara itu, konflik yang pahit di tingkat bawah antara kelompok separatis Muslim dengan pemerintah masih berlanjut di bagian selatan yang setiap bulan pasti ada saja yang meninggal dunia.

Iklim ekonomi yang buruk juga mempengaruhi tatanan sosial.

Menghadapi berbagai kenyataan ini, Pusat Mahasiswa Katolik Thailand (CSCT, Catholic Student Center of Thailand) menyelenggarakan sidang nasional tahunan pada tahun ini dengan topik, "Conflik Management of Thailand, the role of Catholic Students” (Manajemen Konflik Thailand, Peran Mahasiswa Katolik).

Sidang tahunan pada 20-24 Mei itu diselenggarakan di Pusat Kaum Muda Don Bosco di Hua Hin, barat daya Bangkok. Pertemuan nasional itu diikuti oleh 85 mahasiswa dari 25 universitas dan sekolah tinggi di seluruh Thailand.

Moderator CSCT, Pastor Maharsono Probal SJ mengatakan kepada para peserta bahwa dia bermaksud mengajarkan keterampilan menangani konflik. Ini bisa menolong mereka menangani berbagai isu yang mereka hadapi dalam kehidupan keluarga, pekerjaan, dan kehidupan sosial.

Pertemuan mengkaji sejumlah situasi konflik. Salah satunya adalah friksi antara pemerintah dan komunitas Ban Krud, di Propinsi Prachuabkirikhan, dekat Hua Hin.

Tidak banyak orang di kerajaan ini tahu tentang komunitas Ban Krud hingga lima tahun lalu ketika pemerintah mengumumkan rencana untuk membangun sebuah pembangkit tenaga listrik di sana. Komunitas itu menentang rencana itu karena khawatir akan pencemaran udara dan laut yang diakibatkannya. Dengan penangkapan ikan skala kecil sebagai unsur utama ekonomi setempat, warga desa yang berjumlah lebih dari 10.000 jiwa itu khawatir akan mata pencarian mereka.

Beberapa LSM dan cendekiawan mendukung protes warga desa itu.

Pada akhirnya, pemerintah menunda proyek itu tanpa batas jelas, tetapi yang jelas setelah seorang pemimpin komunitas itu dibunuh. Charoen Wataksorn, 38, dibunuh oleh sejumlah pria bersenjata tak dikenal di luar rumahnya pada 22 Juni 2004.

Pastor Maharsono membawa para peserta sidang itu untuk bertemu dengan warga desa itu untuk tahu proses komunitas itu menangani situasi konflik. CSCT juga mengundang wakil walikota dari Propinsi Prachuabkirikhan dan kantor Industri Daerah itu untuk membahas apa saja yang menjadi rencana mereka untuk pembangunan.

Setelah mendengar sendiri dari para pelaku utama dari protes Ban Krud itu, para mahasiswa melanjutkan dengan sebuah proses lokakarya, yang melaluinya mereka bertindak sebagai penengah, setelah menganalisis persoalan dan memikirkan berbagai cara untuk menangani konflik itu.

"Kita harus mengikuti cara Yesus dan menolong orang-orang yang sangat rentan,” kata Nadruedee Soththinirundorn, mahasiswa kedokteran gigi tahun kedua dari Universitas Naresuan di Propinsi Pitsanulok. "Kita harus terlibat dalam pemecahan masalah dengan menggunakan keterampilan dan usaha apa saja yang kita miliki,” katanya.

Nadruedee menambahkan, ini merupakan pengalaman pertama baginya dalam sebuah lokakarya CSCT. "Ini sungguh mengubah sikap saya dan kini saya melihat berbagai hal dari perspektif yang berbeda. Semua orang butuh hal yang sama – dicintai dan dipahami sehingga bila terjadi konflik dengan teman, keluarga, dan masyarakat, kita perlu berusaha dan memahami kebutuhan-kebutuhan orang lain."

"Kita juga perlu melihat sisi baik mereka, maka kita bisa menangani konflik secara damai," katanya.

Nadruedee mengatakan, lokakarya itu memberinya kesempatan untuk refleksi diri.

"Saya dulu berbicara tanpa berpikir semestinya," katanya. "Saya sadar, ini bisa menimbulkan konflik. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk mengubah tingkah laku saya. Sekalipun saya tidak bisa melakukan apa-apa menyangkut berbagai masalah yang dihadapi warga desa itu, saya hendaknya tidak menciptakan konflik baru. Sejak sekarang, saya akan berusaha menyadari setiap kata yang saya ucapkan."

Sumber : ucanews.com
Read more...

1 Juni 2009

Para Misionaris Bantu Penduduk Pribumi Berantas Penyakit

QUEZON CITY, Filipina (UCAN) -- Para pekerja kesehatan pribumi yang dilatih para misionaris sedang membantu penduduk di sebuah daerah pemukiman baru di barat laut Manila untuk mencegah penyakit-penyakit mematikan yang disebabkan oleh nyamuk.

Enam pekerja dari komunitas Aeta, yang dilatih oleh Yayasan Misi St. Maria Ratu Pencinta Damai, sedang melaksanakan pemeriksaan dan penyuluhan untuk mencegah 500 penduduk Aningway-Sacatihan dari penyakit malaria dan demam berdarah.

Aningway-Sacatihan di kota Subic, barat laut Manila, merupakan daerah pemukiman bagi warga keturunan penduduk asli Propinsi Zambalaes, tempat kota itu berada.

Suster Eva Fidela Maamo dari Tarekat St. Paul de Chartes yang sekaligus dokter mulai melaksanakan misi-misi medis St. Maria Ratu Pencinta Damai tahun 1984 untuk mengobati orang-orang yang tidak mempunyai akses ke pusat-pusat kesehatan. Kemudian, sebagai bagian dari program pencegahan, misi itu melatih pria dan wanita lokal untuk melayani sebagai “dokter” di desa-desa terpencil yang tersebar di daerah perbukitan di seluruh negeri itu.

Para pekerja kesehatan yang berasal dari 110 suku asli Filipina telah mengikuti kursus pelatihan dalam keterampilan pemeliharaan kesehatan dasar sejak 2005, kata laporan Yayasan itu.

Pemimpin komunitas, Bonifacio Ronque, mengatakan kepada UCA News bahwa yayasan itu sedang melaksanakan program pencegahan penyakit malaria dan demam berdarah “sehingga masyarakat bisa tahu perbedaan,” mencegah, dan menyembuhkan dua penyakit itu.

Malaria dibawa oleh nyamuk anopheles betina dan mengakibatkan panas dingin, demam tinggi dan sakit kepala. Demam berdarah berasal dari nyamuk Aedes Aegypti dan menyebabkan demam tinggi, sakit kepala, sakit punggung, muntah-muntah, dan bintik-bintik merah di tubuh penderita. Demam berdarah yang parah juga dapat menyebabkan gusi berdarah, kulit berdarah dan pendarahan di dalam tubuh. Dalam berbagai kasus, penyakit malaria dan demam berdarah bisa berakibat fatal.

Ketika para pegawai cuaca dan iklim Filipina mengumumkan mulainya musim penghujan pada bulan Mei, para pegawai Departemen Kesehatan (DOH, Departement of Health) menyiapkan berbagai komunitas untuk mencegah demam berdarah. DOH mencatat 4.704 kasus demam berdarah terjadi mulai Januari sampai Maret 2009, hanya sepertiga dari 12.145 kasus yang tercatat pada periode yang sama tahun 2008.

Di Aningway-Scataihan, Rongue mengatakan tidak ada kasus demam berdarah tercatat di daerahnya sejak awal tahun ini. Pekerja kesehatan dari komunitas Aeta mengambil sampel darah dari penduduk untuk dicek apakah ada malaria.

Penderita yang menunjukkan gejala-gejala penyakit itu dibawa ke pusat kesehatan kota di Subic atau ke rumah sakit distrik di kota San Marcelino untuk memverifikasi bahwa mereka menderita malaria, kata pemimpin komunitas itu.

Pekerja-pekerja kesehatan yang terlatih juga berkunjung dari rumah ke rumah dan mengadakan pertemuan untuk penduduk di pusat pelatihan komunitas itu. Mereka mengajak masyarakat supaya membersihkan lingkungan sekitar mereka guna menghancurkan sarang-sarang nyamuk.

St. Maria Ratu Pencinta Damai mengirimkan dua sampai tiga dokter setiap bulan ke tempat itu untuk melatih para pekerja dalam berbagai keterampilan medis. Sesi-sesi pelatihan bagi para pekerja Aeta dimulai tahun 2005 setelah 22 penduduk terjangkit malaria. Satu penderita meninggal karena wabah itu.

Pekerja-pekerja kesehatan mengikuti berbagai kursus di rumah sakit St. Maria Ratu Pencinta Damai di Paranaque City, selatan Manila, tempat para dokter mengajari mereka tentang pertolongan pertama, prinsip-prinsip pemeliharaan kesehatan masyarakat, tes darah, dan keterampilan dasar lainnya dalam kursus tiga minggu.

sumber: ucanews.com
Read more...