18 Agustus 2010

Uskup Ruteng Kunjungi Lokasi Tambang

Oleh Christo Lawudin

RUTENG (FLORES POS) -- Uskup Ruteng, Mgr Hubert Leteng mengunjungi lokasi tambang Torong Besi dan hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103 di Soga, Desa Robek, Kecamatan Reok, Rabu (21/7).

Uskup merayakan misa bertemakan ekologi bersama umat dari Paroki Reo dan paroki-paroki sekitarnya di kapela Torong Besi, Kelurahan Wangkung. Dalam perayaan itu Uskup Hubert berkali-kali minta masyarakat untuk konsisten sesuara dan sehati menolak tambang karena merusak tanah, alam, dan lingkungan hidup sebagai sesama ciptaan.


SAKSIKAN LOKASI TAMBANG – Uskup Ruteng Mgr Hubert Leteng datang lokasi tambang Soga dan Torong Besi untuk melihat langsung kerusakan hutan lindung Nggalak Rego, RTK 103 di Soga, Desa Robek, Kecamatan Reok, Rabu (21/7/2010).


Seperti disaksikan Flores Pos, kapela di tengah hutan itu dipadati umat yang datang dari pelbagai paroki dan desa-desa sekitar sejak pagi hari. Mereka datang untuk bertemu Uskup dan menghadiri perayaan ekaristi.

Umat menerima Uskup dengan acara adat kepok oleh para tua adat sebelum perayaan ekaristi. Ketika menjawab sapaan para tua adat itu, Uskup mengatakan, semua orang terutama masyarakat di wilayah pantai utara terutama pantai bagian barat sesuara dan sehati untuk menolak tambang karena merusak tanah, alam, dan lingkungan.

Dalam kotbah ekaristi, Uskup juga menegaskan hal yang sama. Uskup mengatakan, Tuhan telah memberikan alam yang indah kepada manusia di wilayah pantura, terutama pantura bagian barat ini. Namun, alam yang indah kini terancam keutuhannya oleh perilaku manusia sendiri yang serakah dengan alam. Manusia di wilayah Torong Besi sampai Labuan Bajo, Manggarai Barat tidak tinggal dan hidup sendiri. Tetapi, hidup dan berada bersama alam ciptaan lain.

“Karena itu, kita semua adalah saudara. Kita tak boleh saling menyakiti, apalagi menghancurkan yang lainnya. Manusia jangan monopoli. Jangan rusaki tanah, alam, dan lingkungan. Jangan cabut hak ciptaan lain. Karena itu, saya minta cukup sudah perusakan tanah di Torong Besi dan wilayah pantura bagian barat ini,” katanya.
Siapapun, kata Uskup, tak bisa mencabut hak hidup makhluk lain hanya karena diberi uang. Tanah ini bukan milik yang mempunyai uang atau pengusaha tambang atau yang mendapat izin pertambangan. Tanah dan lingkungan ini adalah milik banyak orang dan ciptaan lain.

Bukan sesuatu yang benar jika tanah, alam, dan lingkungan rusak oleh eksploitasi tambang oleh segelintir orang yang mendapat banyak atau sedikit uang hari ini. Tuhan mungkin masih bersabar, manusia mungkin masih bisa bernegosiasi, tetapi alam kalau sudah melewati batas akan marah. Kalau alam marah, siapapun tidak bisa menghalanginya. Alam sulit berkompromi dengan manusia, hujan berlebihan, kekeringan, hama belalang, hama tikus, tanah longsor, badai dari laut, dan lain-lain adalah bukti alam marah. Alam marah karena manusia merusakinya dan menghancurkannya, ujar Uskup.

“Untuk kebaikan dan kelangsungan hidup, manusia harus hidup bersaudara dengan ciptaan lain. Karena itu, kita harus tetap sesuara dan sehati untuk menolak tambang,” katanya.

Ekaristi ekologi ini dihadiri banyak imam di antaranya Vikjen Rm Laurens Sopang Pr, Vikep Borong Rm. Beny Jaya Pr, Pastor Paroki Reo, P. Yan Djuang SVD, Direktur Puspas Rm. Manfred Habur Pr, sejumlah pastor, dan para pastor dari kalangan JPIC OFM, dan SVD, dan projo Keuskupan Ruteng, seperti Rm Charles Suwendi Pr, P Simon Suban Tukan SVD, P Mateus Batubara OFM, P Aleks Jebadu SVD, dan para suster. Nyanyian misa bernafaskan alam dan lingkungan. Dalam perayaan ini juga ditampilkan fragmen yang mengisahkan kehancuran alam akibat serakah manusia oleh kaum muda dari kelompok ekopastoral OFM Pagal.

Setelah perayaan ekaristi, rombongan Uskup sempat berziarah ke gua Maria Torong Besi yang ada di pinggir tebing berbatu warna hitam. Sebagian umat mengikuti Uskup Hubert dan rombongan yang melihat dari dekat pertambangan mangan di hutan lindung Soga, Desa Robek, Kecamatan Reok oleh PT Sumber Jaya Asia (SJA).

Lokasi tambang bisa dicapai kendaraan roda dua dan empat. Tapi mobil uskup dan yang lainya tak bisa mencapai areal basecamp pertambangan. Karena di areal pintu masuk sudah dipasang besi palang pintu yang sudah digembok.

Uskup memasuki lokasi pertambangan dengan berjalan kaki di tengah terik matahari. Uskup berjalan perlahan untuk melihat dari dekat penghancuran kawasan hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103 di di bukit Soga tersebut.

Uskup banyak bertanya kepada warga yang mendampinginya. Cukup lama Uskup dan rombongan untuk melihat lubang di dalam gunung tersebut. Malah, Uskup minta warga untuk mengambil beberapa material batu, pasir, dan lain-lain.

“Yang ada ini sepertinya bukan hanya mangan. Tolong bawa material yang ada. Kita berikan kepada ahlinya supaya tahu, apakah dari kawasan ini murni mangan atau ada yang lainnya,” kata Uskup Hubert sambil mengamati sejumlah bebatuan berwarna putih mengkilat, dan bebatuan kilat yang menempel pada onggokan batu dalam kawasan pertambangan itu.

Tanam Pohon

Pada kesempatan itu Uskup tanam pohon perdamaian di areal perbatasan di wilayah pintu masuk. Warga lainnya menanam gamal di wilayah bagian selatan basecam secara swadaya. Belasan anakan pohon perdamaian disiapkan oleh kelompok ekopastoral OFM Pagal.

Menurut P Mateus Batubara OFM, pohon perdamaian sengaja ditanam di areal perbatasan di jalur bagian barat. Tujuannya agar manusia berdamai dengan alam yang telah dirusak dan dihancurkan demi kepentingan segelintir orang. Penanaman secara simbolis dilakukan Uskup Hubert dan kemudian diikuti warga lainnya.

Di lokasi tambang Soga, tidak terlihat lagi aktivitas penggalian maupun pengangkutan. Peralatan kerja masih ada. Tetapi, sudah dipasangi police line oleh polisi. Hal yang sama terlihat di lokasi prosesing mangan di Kampung Jengkalang, Kelurahan Wangkung, Reo. Suasana juga sepi.

“Kita berharap penghentian aktivitas pertambangan untuk seterusnya. Hanya dengan itu, penghancuran terpimpin kawasan hutan lindung Soga, bisa dihentikan. Kasat mata, perusakan saat ini sangat parah. Kita berharap proses hukumnya tuntas dengan memproses semua yang terlibat,” kata P.Simon Suban Tukan SVD.

Kegiatan keagamaan seperti ini, kata aktivis Abdul Latif, juga dilakukan di Dampek, Manggarai Timur sebelumnya. Rombongan Uskup dan para jejaring lingkungan hidup dan warga Timbang mendatangi lokasi tambang Serise, Kecamatan Lambaleda. Kegiatan juga hampir sama dengan menanam pohon di kawasan perbatasan areal pertambangan.

“Kegiatan ini masih akan berlanjut. Para pencinta lingkungan hidup dan keuskupan akan mengadakan kegiatan di wilayah pantura Mabar,” katanya.*


Read more...

Dibentuk, Forum Persaudaraan Pers Katolik KAK

Oleh Leonard Ritan

KUPANG (FLORES POS) -- Sedikitnya 72 wartawan dari berbagai media baik cetak maupun elektronik bersepakat untuk membentuk Forum Persaudaraan Pekerja Pers Katolik Keuskupan Agung Kupang (KAK) dengan sekretariat bersama di Kantor Komunikasi Sosial (Komsos) KAK.
Kesepakatan ini diambil dalam acara pertemuan antara para kekerja pers Katolik dan Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang yang difasilitasi Komsos KAK bertempat di susteran Belo-Kupang, Minggu (15/8).

Kegiatan pertemuan ini diawali dengan perayaan ekarasti yang dipimpin Mgr Petrus Turang. Dalam kotbahnya, Uskup Turang menerangkan tentang sejarah perjalanan gereja dalam mengimani Bunda Maria. Karena Yesus adalah Tuhan, maka Maria bunda-Nya juga adalah suci. Sehingga Paus Benediktus XII menetapkan doktrin penghormatan secara khusus kepada Bunda Maria dengan menetapkan satu hari sebabagi hari perayaan Maria Diangkat ke Surga.

Sesepuh pers NTT, Damian Godho mengawali sesi dialog dengan Uskup Petrus Turang menyampaikan, hadirnya forum ini telah didiskusikan bersama dengan pihak Komsos KAK. Forum ini hanyalah wadah komunikasi diantara sesama wartawan/pekerja pers Katolik di NTT dan Kota Kupang khususnya.

“Para wartawan ingin masuk dalam tugas pewartaan di KAK. Sehingga program keuskupan bisa disampaikan kepada umat di keuskupan ini,” katanya.

Uskup Petrus Turang menegaskan, tugas seorang wartawan adalah mewartakan. Tentunya, seorang wartawan harus memiliki pengetahuan yang cukup karena apa yang diwartakan itu untuk didengar atau dibaca oleh masyarakat. Sehingga yang paling penting bagi seorang wartawan adalah mengakrabkan diri dengan perpustakaan. Jika wartawan dibekali dengan pengetahuan yang memadai, tentunya pilihan kata yang hendak disampaikan atau ditulis adalah bahasa yang tepat.

“Tak ada sesuatu yang dapat diberikan tanpa dimiliki. Mengingat tahun ini sebagai tahun ajaran sosial gereja, diperlukan interaksi sosial yang bagus di tengah masyarakat,” tandas Uskup Petrus Turang.

Ia menegaskan, wartawan harus tampil sebagai sebuah jembatan yang mampu menyampaikan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat. Karena itu, seorang wartawan tidak menjadikan profesinya sebagai sebuah kesempatan mendapatkan pekerjaan, tapi bagaimana membangun diri dan relasinya dengan lingkungan sosial. Ini berangkat dari realita hidup manusia yakni mencari keuntungan dan mendapatkan kekuasaan atau jabatan. Media harus mampu melihat orang-orang miskin dan tertindas agar mereka dapat keluar dari masalah yang dihadapi. Ini berkaitan dengan kehidupan sosial ekonomi.

“Sudahkah wartawan mencari berita yang benar? Ataukah hanya mendapatkan pekerjaan untuk meraih keuntungan dan jabatan?” tanya Uskup Petrus Turang.

Ia menambahkan, wartawan harus memiliki kekuatan untuk menggerakkan semua institusi seperti pemerintah dan agama. Ini dimaksudkan agar institusi-institusi itu dapat melihat kondisi riil yang dihadapi masyarakat. Intinya, menghormati manusia secara utuh. Inilah prinsip moral yang harus dijalankan seorang wartawan.

Pada kesempatan itu Uskup Petrus Turang menggugah aspek pendidikan. Sudah sejauhmana masalah pendidikan dibahas dan dicari jalan keluar. Karena itu semua pihak termasuk para wartawan untuk selalu merefleksi dan mengintrospeksi diri tentang keberpihakan terhadap masalah pendidikan.

Flores Pos | Berita | Pers
| 18 Agustus 2010 |



Read more...

17 Agustus 2010

Dosen-Dosen STPM Santa Ursula Gelar Raker

Meningkatkan Mutu dan Pengabdian kepada Masyarakat

Oleh Frans Obon

ENDE (FLORES POS ) -- Para dosen dan pegawai Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula menggelar rapat kerja selama dua hari untuk mendorong keterlibatan aktif lembaga tersebut dalam mengabdi pada kepentingan masyarakat luas dan peningkatan mutu tamatannya.

Paskalis FX Hurint presenstasikan rencana kerja.


Pejabat Ketua STPM Paskalis FX Hurint mengatakan, rapat kerja dua hari ini (Senin-Selasa) selain mengevaluasi seluruh pelaksanaan program tahun ajaran 2009/2010, juga menyusun program yang dibutuhkan lembaga pendidikan tersebut untuk makin memantapkan mutu dan pengabdiannya kepada masyarakat.

Untuk meningkatkan mutu proses kuliah, kepada para mahasiswa dibagikan angket-angket. Hasilnya nanti diolah dan akan diberikan kepada para dosen untuk dijadikan bahan dalam proses pengembangan diri dan mutu perkuliahan.

“Satu hal yang dibicarakan pada raker ini adalah mengenai sistem penjaminan mutu dengan titik star dari akreditasi Mei lalu. STPM harus menentukan kriteria jaminan mutu baik dalam penerimaan mahasiswa maupun standar kelulusannya,” kata Feri, Selasa (13/7/2010).

Sebagian dari para dosen yang hadiri dalam raker.

Dalam pertemuan ini juga dibahas mengenai manajemen kampus. Juga dibahas soal otonomi keilmuan dosen.

“Kita menekankan pentingnya otonomi keilmuan dosen yang bertolak dari penelitian yang dilakukan. Apa yang ditemukan dari hasil penelitiannya, itulah yang disajikannya dalam perkuliahan. Karena itu kita minta yayasan bisa membantu merealisasi penelitian mandiri sesuai dengan mata kuliah yang diasuh para dosen,” katanya.
Sekolah ini sedang berjuang mendapatkan izin pembukaan program Ilmu Administrasi Negara dan Ilmu Pemerintahan. “Tinggal tunggu keputusan Dirjen Dikti. Ada lampu hijau,” katanya.

“Raker ini merupakan proses sharing dan dialog. Karena fokus dan lokus lembaga ini pada pemberdayaan masyarakat, sekolah ini harus berusaha berpegang teguh pada visi dan misi dasarnya. Sekolah ini harus menyatu dengan masyarakat dan meningkatkan keterlibatannya di tengah masyarakat sesuai dengan tri dharma perguruan tinggi,” kata Alo Kelen, dosen STPM Santa Ursula Ende.

Menurut dia, sekolah ini perlu meningkatkan dedikasinya untuk ada di tengah masyarakat dan membangun kerja sama dengan pihak lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, katanya. Kehadiran lembaga ini harus dirasakan oleh masyarakat, lanjutnya.

“Dosen-dosen juga harus belajar dari masyarakat dan berada dalam gerakan bersama sebagaimana disepakati dalam Muspas VI Keuskupan Agung Ende, karena visi dan misi sekolah ini sambung dengan visi dan misi Muspas VI,” kata Alo, yang menjadi peserta Muspas VI, yang berlangsung 6-11 Juli 2010 di Ende.

“Raker ini penting dan tidak hanya sekadar menyusun agenda kerja, tetapi membangun komitmen lembaga ini untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat dan mengembangkan sumber daya bagi usaha pemberdayaan masyarakat,” kata Elias Cima, dosen STPM.

Menurut dia, lembaga pendidikan tinggi ini selain mengembangkan berbagai bidang studi untuk meningkatkan mutu tamatannya, tapi perlu terus menerus menegaskan keberpihakannya kepada orang kecil.

“Visi dasarnya adalah keberpihakan pada orang-orang kecil”.

Peningkatan mutu yang dibahas dalam raker ini, katanya, tidak saja menyangkut dosen, melainkan juga tenaga non edukatif.
Read more...

MOS sebagai Medium Pendidikan Nilai

Melatih Siswa Berdisiplin dan Bertanggung Jawab

Oleh Frans Obon

ENDE (FLORES POS) -- Masa Orientasi Sekolah (MOS) menjadi medium untuk pendidikan nilai bagi 267 siswa baru SMPK Santa Ursula, selain sebagai kesempatan bagi siswa baru untuk mengenal lingkungan sekolah dan mengenal visi dan misi sekolah.

Kepala Sekolah SMPK Santa Ursula Suster Regina Praptiwi OSU, Selasa (14/7) mengatakan, kegiatan ini bertujuan agar siswa mengenal, memahami dan melaksanakan visi dan misi sekolah.

“Sebagai komunitas pembelajaran, kami mengajarkan anak-anak untuk melaksanakan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, disiplin, dan kerendahan hati. Artiinya seluruh mata pelajaran dan proses pembelajaran harus dijiwai oleh nilai-nilai ini. Anak-anak dilarang menyontek. Kalau menyontek, dia langsung mendapat nilai nol”.

Sekolah yang diasuh suster-suster Ursulin ini punya visi: “Komunitas pembalajaran yang kritis, kreatif, inovatif, mengintegrasikan iman dan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai hidup seturut semangat Santa Angela”.

Dia mengatakan, seluruh aktivitas pembelajaran di kelas akan menghidupi visi dan misi ini.

Selama MOS ini, para siswa diperkenalkan dengan cara belajar ang efektif, penegakan tata tertib, dan melatih disiplin, dan mendapat ceramah tentang narkob.

“Sejak dini anak-anak diberitahu bahwa narkoba merusak diri dan masa depan mereka. Lebih baik mencegah daripada mereka terjerumus. Kami ajak anak-anak untuk mengatakan tidak terhadap narkoba,” katanya.

Pada masa MOS ini juga anak-anak dilatih kreativitasnya dengan mengadakan fashion show yang terbuat dari kertas-kertas bekas.

“Sekolah ini melarang siswa membawa handphone ke sekolah. Karena hal ini akan merusak mental dan konsentrasi anak. Kalau bawa HP, sedikit-sedikit keluar. Kami ingin melatih anak untuk disiplin dan bertanggung jawab”.

Guru-guru tidak dilarang membawa HP. Tapi ketika proses belajar mengajar berlangsung di kelas, guru harus meninggalkan HP-nya di ruang guru.

Siswa yang ikut MOS juga dilatih baris-berbaris oleh anggota Polres Ende. “Ini bagian dari kegiatan agar anak tahu disiplin”.

Ketua Panitia MOS, Elisabeth Kura mengatakan, siswa antusias mengikuti kegiatan MOS. “Kelihatannya mereka gembira. Meski mereka baru tamat dari sekolah dasar, mereka tidak terlalu sulit diatur, malah bersemangat”.

Kegiatan MOS berlangsung 12-17 Juli.*


Read more...

16 Agustus 2010

Benedict XVI at Angelus: Mary's mission of salvation and intercession continues today

Castel Gandolfo, Italy, Aug 15, 2010 / 09:30 am (CNA/EWTN News).- Although Mary was assumed into heaven, she "has not abandoned her mission of intercession and salvation" on Earth, explained Pope Benedict, using the words of one of his predecessors. Before the Marian prayer at noon on Assumption Sunday, he highlighted Mary's historic role in the Church, inviting continued trust in the Mother of God and prayer for her aid on earth.

The Holy Father met with pilgrims in the courtyard of the pontifical villa at Castel Gandolfo for the Angelus after having celebrated Mass for the Solemnity of the Assumption of the Blessed Virgin Mary in the nearby parish of St. Thomas of Villanova. Walking to the church for the celebration and then returning again on foot afterwards for the Angelus, he was able to greet many people personally along the way.
During the pre-Angelus catechesis, he said that on the Solemnity of the Assumption "we celebrate the passage from the earthly condition to the celestial bliss of She who generated in the flesh and received in faith the Lord of Life."

The Virgin Mary has been venerated since the Church's foundation and the first Marian feasts were observed already in the 4th century, he pointed out, highlighting that some were in recognition of her role in the history of salvation and others for major moments in her earthly life.

"The meaning of today's feast," he explained, "is contained in the conclusive words" of Venerable Pope Pius XII from his definition of the dogma of the Assumption of the Blessed Virgin in 1950. In the document “Munificentissiums Deus,” he asserted that "the Immaculate Mother of God, the ever Virgin Mary, having completed the course of her earthly life, was assumed body and soul into heavenly glory."

Turning to the Virgin Mary's presence in the Church, Pope Benedict said that "artists of every age" have decorated churches with works depicting the holiness of the Lord's Mother while poets, writers and musicians have rendered her tribute in liturgical hymns and chants.

"From East to West," he observed, "the 'Tuttasanta' (all holy) is invoked as the Heavenly Mother, who sustains the Son of God in her arms and under whose protection all of humanity finds refuge ..."

Illustrating this point, he recited the ancient Marian prayer from the Byzantine tradition: "Beneath your compassion we take refuge, O Virgin Theotokos: Despise not our prayer in our need, but deliver us from danger, for you alone are pure and blessed."

In Sunday's Gospel, the Pope continued, the fulfillment of salvation through Our Lady is described by St. Luke who relates the story of Mary, "in whose womb the 'little Omnipotent one' is made," who goes immediately to her cousin Elizabeth after the Angel's announcement "to bring her the Savior of the world.

"And, in fact, 'as Elizabeth heard the greeting of Mary, the infant leaped in her womb, and Elizabeth was filled with the Holy Spirit.' The two women, who awaited the fulfillment of the divine promise, anticipate, then, the joy of the coming of the Kingdom of God, the joy of salvation."

Concluding, the Holy Father exhorted all people to entrust themselves to Mary, who, as Pope Paul VI said, despite being "assumed into heaven ... has not abandoned her mission of intercession and salvation.

"To Her, the guide of the Apostles, the support of the Martyrs, the light of the Saints, we turn our prayer, asking her to accompany us on this earthly life, to help us to look to Heaven and to receive us one day alongside Her Son Jesus."

Read more...

Vatican conference for Catholic press to examine how to cover controversy

Vatican City, Aug 16, 2010 / 03:32 pm (CNA/EWTN News).- The Pontifical Council for Social Communications (PCCS) has organized a conference to examine the role of the Catholic press in today's world. Among the themes to be addressed is the Catholic media response to controversy within the Church.

Over the weekend, the Vatican's L'Osservatore Romano (LOR) newspaper announced the Oct. 4-7 conference, which will focus on the comparison between traditional and new Catholic media.

According to the article and a program available on the PCCS website, each of the first three days of the conference will address a different aspect of the Catholic media presence around the globe.

The first day's panel and separate group discussions will focus on the challenges and opportunities offered to Catholic press in today's world. Then on Oct. 5, after a morning of looking at how Catholic media contribute to the public forum, culture and the life of the Church, conference participants will examine how to cover controversy in the Church.

A panel composed of a blogger, a Church spokesperson, a theologian, a sociologist and a secular journalist will take a look at the theme "Ecclesial Communion and Controversies. Freedom of Expression and the Truth of the Church." The names of the panel contributors have not yet been announced.

After the panel weighs in, press participants will divide into groups by languages to examine the central questions of whether or not Catholic press should avoid certain topics, how it should "speak of controversial issues and discuss the idea of giving "a voice to dissent."

A morning panel on the third day will look at economics, journalistic challenges, interactivity, language and the "digital divide," and seeking to be "effectively present" in the digital world. Later in the day, participants will examine successful Catholic media ventures and look at how they can collaborate and seek support.

The final day, Oct. 7, will be devoted to examining the results of groups discussions from the first three days.


Read more...

15 Agustus 2010

Dari Diskusi, Tiga Masalah Pokok

Ruang-ruang diskusi sangat dinamis

Oleh Frans Obon


ENDE (FLORES POS) -- Diskusi-diskusi kelompok dalam Musyawarah Pastoral (Muspas) VI kali ini sangat dinamis. Tampak sekali para peserta bersemangat membahas berbagai isu strategis yang masih mengganjal dan yang menyebabkan tidak optimalnya peranan komunitas basis sebagai komunitas pemberdayaan dan perjuangan.

Uskup Agung Ende Vincent Sensi Potokota sedang bicara dalam diskusi kelompok.

Dari lima pokok bahan diskusi yakni komunitas umat basis, fungsionaris pastoral, kerasulan di tengah tata dunia, sumber daya pastoral dan kelompok-kelompok strategis, ditemukan tiga masalah pokok yang cukup menonjol.

Dari masalah-masalah yang ada, para peserta berusaha mencari dan menggali “apa pesan Allah di dalamnya dan apa yang harus dilakukan ke depan”.Tiga masalah yang menonjol itu adalah pertama, Kitab Suci belum menjadi roh yang menggerakkan komunitas-komunitas basis. Kedua, kesadaran dan pengetahuan tentang komunitas basis masih rendah, dan ketiga pemahaman komunitas basis sebagai komunitas perjuangan di mana dalam komunitas basis itu orang menemukan pembebasan dan pemberdayaan masih belum tampak.

Peserta menilai, fungsionaris pastoral di komunitas umat basis belum memiliki keterampilan yang memadai. Demikian juga kerasulan gereja di tengah tata dunia, diskusi menyebutkan bahwa gereja belum sungguh merasul dalam tata dunia khususnya dalam bidang politik, ekonomi dan lingkungan hidup. Gereja belum terlibat penuh di dalam menentukan keputusan-keputusan publik.

Mengenai sumber daya pastoral, gereja memiliki sumber daya pastoral yang memadai tapi sumber daya pastoral ini belum digunakan secara optimal untuk kemajuan dan perkembangan gereja.

Peserta diskusi sadar bahwa orang muda Katolik (OMK) merupakan kelompok-kelompok strategis dan tulang punggung gereja. Namun diakui, perhatian dan pendampingan kelompok-kelompok strategis ini belum mendapat porsi yang seharusnya.

Persoalan-persoalan dasar ini akan terus digeluti dalam beberapa hari ke depan untuk menemukan arah dasar dan strategi pastoral yang tepat. Peserta diminta menemukan jalan keluar bersama.

Meski ada perbedaan pendapat dan diskusi yang dinamis, namun para peserta menegaskan lagi betapa penting menjadikan Kitab Suci sebagai inspirasi bagi seluruh karya gereja. Kitab suci menjadi dasar bagi keterlibatan gereja dalam berbagai bidang kehidupan.*

Read more...

Ada Perubahan Besar pada KUB

ENDE (FLORES POS) -- Komunitas umat basis sudah banyak mengalami perubahan dan hal itu bukan saja karena usaha kita, tetapi juga karya Roh Kudus, kata Romo Feri Deidhae Pr, Direktur Pengembangan dan Penelitian Pusat Pastoral (Puspas) Keuskupan Agung Ende, Kamis (8/7). Dia mengatakan demikian karena dengan dana yang terbatas dan sumber daya fungsionaris pastoral serta jumlah personel yang juga terbatas, komunitas umat basis mengalami perubahan yang begitu besar.

Karena Muspas sebagai ajang evaluasi dan penyusunan perencanaan arah dasar dan strategi pastoral Keuskupan Agung Ende lima tahun ke depan, maka Puspas sebagai lembaga perencanaan reksa pastoral keuskupan melakukan penelitian dan survei.

Tiga instrumen dipakai untuk membedah situasi pastoral Keuskupan Agung Ende yakni pertama, katekese umat yang dilakukan oleh Tim Komisi Kateketik (Komkat). Hasilnya dipresentasikan oleh Ketua Komkat Herman Tambuk pada hari pertama Muspas. Kedua, survei yang dilakukan oleh Romo Feri Deidhae, dan self assessment yang meliputi aspek kerasulan gereja dalam tata dunia (tim Romo Domi Nong Pr, Romo Sipri Sadipun Pr, dan Romo Adolf), aspek arah dasar dan implementasi Muspas (tim Romo Alex Tabe Pr dan Romo Remigius Misa Pr), dan aspek sumber daya, tenaga (personel), sarana dan prasarana (tim Romo Cyrilus Lena Pr, Romo Herman Wetu Pr, Romo Yet Koten Pr, dan Romo Efraim Pea Pr).

Hasil penelitian dan survei yang dipresentasikan pada hari pertama Muspas, katanya, adalah alat untuk menggambarkan situasi riil umat agar kita dapat mengerti dengan mudah dan jelas. Survei tersebut bukan tawaran solusi.

Data-data itu jelas memperlihatkan bahwa komunitas umat basis bukanlah hanya sebuah komunitas doa dan yang merayakan ekaristi, tapi sebuah komunitas yang punya kepedulian terhadap masalah-masalah konkret seperti kesehatan, kemiskinan dan masalah sosial lainnya. Komunitas basis harus bisa menggerakkan semua anggotanya untuk bertanggung jawab secara sosial. Dia harus peduli dengan nasib orang lain yang disebut sentimen sosial. “Karena itulah maka komunitas basis itu disebut komunitas perjuangan. Karena anggotanya berjuang bersama-sama untuk memecahkan masalah sosial, semisal kemiskinan, kesehatan dan lain-lain”.

Secara umum, lanjutnya, yang menjadi kendala adalah masih belum maksimalnya kemampuan fungsionaris pastoral di komunitas basis. Data menunjukkan bahwa sebagian besar pengurus komunitas basis (33%) berpendidikan sekolah dasar. Kemampuan mengelola komunitas masih kurang. “Kita harus realistis karena mayoritas masyarakat kita juga tamat sekolah dasar”.

Dia juga bilang, banyak yang menilai fungsionaris pastoral belum sesuai harapan. Hal ini bisa dimengerti kalau terjadi konflik di komunitas basis, orang tidak pergi komunitas basis tapi ke tokoh masyarakat atau pemerintah. Memang banyak keluhan juga bahwa banyak orang tidak mau jadi pengurus komunitas basis. “Mungkin saja karena tidak ada gajinya, orang tidak mau repot dengan urusan agama dan karena sibuk dengan pekerjaannya sendiri”.

“Karena beda sekali, misalnya di kampung, orang rebut jadi ketua RT atau rebut jadi kepala desa. Mungkin karena ada uangnya. Sementara komunitas basis ini hanya mengandalkan sukarela”.

Mengatasi masalah ini, ke depannya kita akan melakukan pendampingan yang berkelanjutan terhadap fungsionaris pastoral. “Muspas ini akan membicarakan apa yang mau dibuat untuk meningkatkan kemampuan fungsionaris pastoral komunitas basis”.

Sudah bagus bahwa ada semangat doa dan merayakan ekaristi di dalam komunitas basis kita, tapi “jangan sampai sifatnya hanya spiritualistis semata” karena “iman tanpa perbuatan adalah mati”. “Kita jangan lupa bahwa spiritualitas kita harus berbuah dalam pelayanan”.*

Read more...

Aspek Kerygma Perlu Ditingkatkan

Perlu Menimba Inspirasi dari Kitab Suci

Oleh Frans Obon

ENDE (FLORES POS) -- Dari hasil olahan tim Komisi Kateketik (Komkat) Keuskupan Agung Ende yang dipresentasikan pada hari pertama terlihat bahwa dinamika kehidupan komunitas umat basis mulai bagus, namun aspek kerygma (pewartaan) yang diinspirasi oleh Kitab Suci masih perlu ditingkatkan dan didorong terus menerus, kata Ketua Komkat Herman Tambuk, Kamis (8/7) kemarin di aula Paroki Mautapaga.

Respon umat di komunitas basis terhadap bahan-bahan katekese cukup bagus. Bahan-bahan katekese tersebut membicarakan evaluasi keadaan komunitas basis sehingga peserta mendapat gambaran terkini. Aspek kedua adalah peran fungsionaris pastoral dalam kehidupan komunitas basis, dan aspek ketiga adalah peran umat sebagai subjek pastoral.

Dari proses ini, tampak sekali bahwa dalam komunitas basis kita ada kebersamaan yang cukup baik dan harmonis. Doa dan merayakan ekaristi bersama cukup baik dan ada semangat solidaritas dan pelayanan diakonia yang cukup bagus.

“Yang kurang yang perlu ditingkatkan dan perlu mendapat perhatian adalah aspek kerygma (pewartaan). Dari survei dan dari sesi diskusi pada presentasi hasil penelitian kita mendapat input bahwa Kitab Suci belum menjadi jantung kehidupan”.

“Umat kita hanya mendalami Kitab Suci pada bulan September”. Ini berarti, katanya, penggunaan Kitab Suci dalam komunitas basis masih kurang.

Kecemasan yang muncul dari peserta bahwa mereka takut salah menafsirkan kitab suci karena wewenang itu ada pada magisterium, namun yang harus didorong adalah “bagaimana hidup kita dilihat dalam terang kitab suci”. Intervensi yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah “kita berusaha mengumpulkan teks-teks, perikop-perikop kitab suci yang berkaitan dengan kehidupan komunitas basis, teks-teks tersebut itu dibagikan kepada umat untuk dipakai pada waktu doa mingguan”.
Agar komunitas basis itu sungguh menjadi sebuah organisme yang hidup, perlu ada pendampingan berkelanjutan, katanya.

Wakil Ketua DPRD Nagekeo Thomas Tiba Owa mengatakan, untuk memberdayakan komunitas basis diperlukan keterlibatan semua pihak. Banyak orang enggan menjadi pengurus komunitas basis karena gensi dan menghindar dari tanggung jawab.

“Semua kita adalah umat Allah dan kita perlu mengambil bagian dalam tugas bersama tersebut,” katanya.*



Read more...

Muspas: Retret Agung dan Hari-Hari Kerja

ENDE -- DIREKTUR Pusat Pastoral (Puspas) Keuskupan Agung Ende Romo Cyrilus Lena Pr mengatakan, Musyawarah Pastoral (Muspas) VI adalah sebuah retret agung karena seluruh peserta Muspas “melakukan reflekasi bersama” disamping sebagai “hari kerja untuk menghasilkan perencanaan pastoral keuskupan”.

Romo Cyrilus dalam konferensi pers di Puspas Keuskupan Agung Ende, Sabtu (3/7) menegaskan kembali komitmen keuskupan untuk mendorong partisipasi umat untuk terlibat penuh dan aktif-sadar dalam seluruh reksa pastoral Gereja Keuskupan Agung Ende.

Keuskupan, katanya, dalam reksa pastoralnya ingin menjadikan umat sebagai subjek dari pastoralnya. Karena itu Muspas adalah musyawarah umat sehingga fokusnya juga adalah umat. “Allah menyatakan DiriNya dalam kehidupan riil umat sehingga Allah dialami oleh umat melalui kehidupannya”.

“Umat akan menjadi subjek pastoral dan mereka juga yang melaksanakannya sehingga umat menjadi saksi kebenaran, keadilan dan cinta kasih,” katanya.*

Read more...

Catholic Education prefect: Only universities with strong Catholic identity will last

20th Anniversary of Ex Corde Ecclesiae

Vatican City, Aug 13, 2010 / 03:04 pm (CNA/EWTN News).- "Only the Catholic university that conserves its identity will have a future," said the prefect of the Congregation for Catholic Education just days before the 20th anniversary of John Paul II's document “Ex Corde Ecclesiae.” Cardinal Zenon Grocholewski, in speaking about the continued relevance of the document on Catholic higher education, explained that if a Catholic university loses its identity, it becomes just like any other.

The Apostolic Constitution “Ex Corde Ecclesiae,” which established guidelines for the functioning of Catholic universities, was presented by Pope John Paul II 20 years ago this Sunday. Cardinal Zenon Grocholewski, prefect of the Congregation for Catholic Education and prefect emeritus of the Apostolic Signatura, spoke with CNA about the importance of the document on Friday.

According to Cardinal Grocholewski, two motivations led John Paul II to write the document. The first was the "importance" that he attributed to the Catholic university, which, he said, the Pope himself explains best at the end of the document in an exhortation for Catholic witness. The second reason, the prefect pointed out, was that John Paul II believed it was necessary to create legislation outlining the nature and mission of Catholic universities, while giving them juridical norms for their creation and the composition of their faculty.

Success Stories

“Ex Corde Ecclesiae” has produced "great results," he said, most of all we can see this in the foundation of so many Catholic universities "with a clear disposition" since its publication in 1990.

Citing the creation of more than 250 Catholic universities during Pope John Paul II's pontificate, he said, "many of these have had a guideline from the very beginning, a clear vision of what a Catholic university should be."

This has been especially significant in African and ex-Communist countries, he explained.

"I think that many universities, also based on this document, have strengthened their identities, which is very important," he added.

Fidelity to the Magisterium

CNA asked the cardinal about certain challenges that have come up in the course of applying norms for John Paul II's ideal for the Catholic university, such as the need for a "mandatum," a statement from the local bishop that assures theologians are in communion with the Church's teachings.

The cardinal prefect said that this is a question of methodology as with any other field of study. He explained that "to be a theologian, one must believe in the Sacred Scriptures and Tradition and must be united to the Magisterium (teaching) of the Church."

"It is a rather risky assumption if a single person wishes to be more important than the Magisterium of the Church," he remarked.

Catholic Identity

When asked about the requirement for Catholic institutions of higher learning to promote their Catholic identity, even with non-Catholic faculty members, the cardinal replied that all professors have a "responsibility" in this sense to the Church, and before science and the world.

"In the Catholic university people who are not Catholic can also teach, but they are obligated to respect the Catholic identity."

Reflecting on the application of the Apostolic Constitution today, Cardinal Grocholewski said that it remains "current everywhere." He considers it to be an "stupendous" document that "gives spirit to the Catholic university."

To the cardinal, "the Catholic university that conserves its own identity, as was delineated in Ex Corde, truly has a future and will contribute to the good of society," while seeking to be an interlocutor between cultures and a force for progress.

Stressing the importance of Catholic schools retaining their roots, the cardinal said that "if the Catholic university loses its identity, it's similar to all the other universities, practically it becomes less significant and this is a big challenge, or a big problem."

He noted that his congregation has received protests from people who attended Catholic universities, who have said that the education being offered was not in line with Church teaching. They have said that if the institution does not offer a Catholic education while claiming to be Catholic, it is "hypocritical and lying."
"I think they are right," said the cardinal prefect," and the same goes for Catholic grade schools, he said.

"I think that only the Catholic university that conserves its identity will have a future."

“Ex Corde Ecclesiae,” he said, "does not demand a 'grand reform,' the document is current, it is a very realistic approach, and in itself it has a great dynamism to make the Catholic university important in today's world ... where, as we know there is a cultural and moral relativism that creates so much damage."

What is needed in the modern context of permissibility and relativity, he said, is "the Catholic university that defends the truth, the objective truth."

The Model Catholic University

There is no specific model Catholic university in the world, noted Cardinal Grocholewski. Universities should not compare themselves to each other, he also advised, "rather they should turn to the document which is fundamental for the Catholic university, which is 'Ex Corde Ecclesiae'.”

"There," he said, "the ideal of the Catholic university is outlined, and I think that studying this document is much more productive" than looking to the "diverse realities" of other universities for direction.

Asked about Pope Benedict XVI's perspective on Catholic education today, the cardinal prefect said he is "a great enthusiast of the Catholic university. He practically rejoices when he sees that the Catholic university, (as) it progresses, preserves its identity ..."

The current Pope, he said, has encouraged him to continue "to fight for the Catholic university."

Read more...

11 Agustus 2010

Report says quality of Catholic health systems higher than others

By Catholic News Service

WASHINGTON (CNS) -- Catholic and other church-owned health systems demonstrate greater quality and efficiency than not-for-profit or investor-owned systems, according to a new analysis by Thomson Reuters.

The analysis released Aug. 9 divided 255 U.S. health systems into four ownership categories and then compared them according to eight performance measures, including mortality rates, complications, patient safety, readmission rates and average length of stay.

"Catholic and other church-owned systems are significantly more likely to provide higher quality performance and efficiency to the communities served than investor-owned systems," said a report prepared by David Foster of Thomson Reuters' Center for Healthcare Improvement in Ann Arbor, Mich.

"Catholic health systems are also significantly more likely to provide higher quality performance to the communities served than secular not-for-profit systems," it added. "Investor-owned systems have significantly lower performance than all other groups."

Sister Carol Keehan, a Daughter of Charity who is president and CEO of the Catholic Health Association, said that in Catholic hospitals, "quality is a primary commitment flowing from mission."

"Everyone from the sponsors, boards, clinicians and support staff takes it very seriously," she told Catholic News Service Aug. 9. "We are pleased to see this independent confirmation of the success of our efforts."

Foster's report said the responsibility for quality of care is delegated to local hospital governing boards in most health systems.

"Our data suggest that the leadership teams (board, executives, and physician and nursing leaders) of health systems owned by churches may be the most active in aligning quality goals and monitoring achievement across the system," he said. "Investor-owned health system boards and/or executive leadership may be adopting a responsibility for quality more slowly."

The report said further study is needed "to definitely determine why these differences exist and what effect they will have on the systems' future health."

The data analyzed in the report was drawn from an earlier study by Thomson Reuters that named the nation's 100 top hospitals, based on a variety of performance benchmarks.

END

Read more...

10 Agustus 2010

Kaum Muda Mendapat Perhatian Muspas

Kaum Muda Perlu Mendapat Perhatian Gereja

Oleh Frans Obon

ENDE (FLORES POS) -- Reksa pastoral untuk orang muda Katolik (OMK) cukup mendapat perhatian peserta terutama dari kelompok kaum muda dalam sesi diskusi setelah presentasi tim Pusat Pastoral (Puspas) Keuskupan Agung Ende pada hari kedua Muspas VI, Rabu (7/7) di aula Paroki Mautapaga.

Direktur Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Puspas Keuskupan Agung Ende Romo Feri Deidhae Pr dalam presentasi hasil survei menyebutkan bahwa keterlibatan kaum muda di dalam kehidupan komunitas umat basis masih belum maksimal.

Hal ini disebabkan salah satunya, paling tidak dari survei yang dilakukan, jumlah orang muda (berusia 15-45 tahun dan belum menikah) di cukup banyak komunitas umat basis sangat kurang, rata-rata 7 persen dan di beberapa paroki hampir nol persen.

“Fenomena ini memproyeksikan masa depan gereja hanya mengandalkan orang tua dan anak-anak. Selain itu masyarakat Keuskupan Agung Ende akan mengalami kekurangan tenaga kerja serta kaum intelektual (brain drain). Data ini diperkuat dengan jumlah usia non produktif yang cukup tinggi sebesar 42,65 persen,” kata tim survei.

Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota dalam sambutan pembukaan Muspas, Selasa (6/7) malam di Paroki Mautapaga juga menyinggung masalah serupa bahwa banyak tenaga-tenaga produktif dari keuskupan ini meninggalkan desa atau tempat kelahiran mereka untuk bekerja di luar Flores. Migrasi tenaga kerja ke luar Flores seperti ini tentu membawa persoalan tersendiri. Bahkan ketika mereka kembali ke Flores.

Marlyn, seorang peserta dari kelompok kaum muda dalam sesi diskusi mengatakan, dia berterima kasih karena tim mengangkat masalah kaum muda. Karena itu dia minta Muspas merencanakan pastoral kaum muda karena “kaum muda adalah masa depan gereja”.

Veronika yang akrab disapa Veny, juga peserta dari kelompok kaum muda mengatakan, telah banyak terjadi krisis iman dan moral di kalangan kaum muda. Dia berharap pada Muspas kali ini peserta mengkritisi situasi dan problem kaum muda dan merencanakan strategi pastoral yang memperkuat komitmen kaum muda dalam kehidupan menggereja.

Menurut dia, pekan mudika yang digelar tiga tahun sekali tidaklah cukup untuk membina kaum muda. Dia minta kaum muda diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan “untuk membina sumber daya kaum muda yakni pembinaan yang sesuai dengan jiwa dan semangat orang muda”.

Yasinta dari OMK Kevikepan Bajawa juga setuju bahwa kegiatan Tri Hari Mudika tidak cukup untuk mengumpulkan dan membina kaum muda, sebab “banyak sekali terjadi perubahan-perubahan situasi saat ini”. Tiga hari kegiatan Mudika itu menyedot banyak biaya dan tenaga. “Memang ada kontribusi bagi masyarakat di tempat kegiatan berupa kegiatan fisik,” namun menurut dia, “pembinaan mental kaum muda perlu dilakukan secara periodik dan terencana”.*


Read more...

Muspas Harus Hasilkan Dokumen Perencanaan Terukur

ENDE -- MUSYAWARAH Pastoral (Muspas) VI sebagai kesempatan evaluasi, menyusun arah dasar dan strategi pastoral Keuskupan Agung Ende lima tahun ke depan hendaknya menghasilkan dokumen perencanaan yang hasilnya dapat terukur.

Ketua Umum Panitia Muspas VI dokter Dominikus M Mere, Selasa (6/7) di aula pertemuan Muspas mengatakan, apa yang ingin dicapai dari pertemuan ini adalah adanya strategi dan program kerja lima tahun yang punya tolok ukur dan indikator yang jelas sehingga nanti pada Muspas VII dapat dievalusi dan terukur pula pencapaiannya. “Sebab Muspas sama dengan rencana jangka panjang menengah (RPJM),” katanya.

Untuk dapat menghasilkan dokumen dan program kerja yang demikian, dia berharap seluruh peserta tetap terfokus pada kerangka acuan (term of reference) yang dibuat panitia. “Kita tidak boleh keluar dari kerangka acuan tersebut”.

Menurut dia, jika pembahasan dalam Muspas keluar dari kerangka acuan yang diberikan, “kita tidak akan menghasilkan dokumen perencanaan yang baik. Akibatnya perencanaan kita tidak terukur dan kita akan terus berada dalam proses. Sebab itu kita butuh indikator yang jelas”.

Read more...

Kehidupan Komunitas Umat Basis Makin Maju

*Banyak Masalah Akan Digeluti dalam Diskusi

Oleh Frans Obon

ENDE (FLORES POS) -- Kehidupan komunitas umat basis di Keuskupan Agung Ende yang tersebar di 56 paroki (Ende 25 paroki dan Bajawa 31 paroki) dengan jumlah komunitas umat basis 4.531 (Ende 1.929 KUB dan Bajawa 2.602 KUB) sudah makin maju.

Hal itu bisa dilihat dari survei yang dilakukan tim Pusat Pastoral (Puspas) yang dilakukan selama setahun dalam rangka Musyawarah Pastoral (Muspas) VI Keuskupan Agung Ende.



Direktur Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Puspas Romo Feri Deidhae Pr bersama tim mempresentasikan hasil penelitian mereka di hadapan hampir 400-an peserta Muspas yang memadati aula Paroki Mautapaga, Rabu (7/7). Herman Tambuk, Romo Feri Dheidae Pr, Romo Aleks Tabe Pr, Romo Yet Koten Pr, Romo Remigius Misa Pr dengan moderator Romo Stef Wolo Itu Pr, mempresentasikan hasil survei mereka.

“Secara umum dapat dikatakan KUB mengalami perkembangan maju. Perkembangan ini mungkin dipengaruhi oleh upaya-upaya pembenahan yang dilakukan selama lima tahun dan pemekaran komunitas umat basis serta peningkatan frekuensi serta jenis kegiatan,” kata tim.

Namun kemajuan ini tidak disertai dengan potensi pengurus KUB yang menurut survei ini “agak buram” karena indeksnya 2,93 ( di bawah titik tengah). “Hal ini dipengaruhi oleh pendidikan pengurus KUB yang mayoritas sekolah dasar (33,1%) dan sekolah lanjutan pertama (18,6%), pengurus belum mengikuti pelatihan (47,98%), kemampuan pengurus yang terbatas dalam menangani masalah di KUB dan pelaksanaan tugas yang dirasa belum sesuai harapan”.

Komunitas basis sebagai komunitas doa telah mengalami kemajuan, tetapi aspek kerygma (pewartaan) secara khusus pendalaman kitab suci belum maksimal. “Kebanyakan KUB mendalami kitab suci hanya pada bulan September”. Menariknya bahwa komunitas basis sebagai komunitas perjuangan sudah mulai tampak dalam pertemuan untuk membahas masalah bersama di KUB, namun “tidak tuntas sampai menemukan solusi”.

Solidaritas yang dibangun dalam KUB juga mulai tampak terutama solidaritas kematian, kebiasan tolong menolong. Ada warna persaudaraan dalam KUB. Partisipasi umat dalam kehidupan komunitas basis juga tinggi seperti partisipasi dalam kegiatan rohani, partisipasi dalam kegiatan sosial (89,51%) dan partisipasi umat dalam pengumpulan dana (88,27%).

Rendahnya kinerja pengurus KUB, dari survei diketahui, disebabkan kurangnya pendampingan. Dari survei KUB diketahui cukup banyak fungsionaris KUB (47,98%) belum pernah mengikuti pelatihan, meskipun banyak umat yang menilai bahwa pengurus KUB yang pernah mengikuti pelatihan semakin baik dalam kinerjanya jika dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya (67,8%).

Selain kemajuan-kemajuan ini, juga masih ditemukan masalah-masalah seperti kemiskinan, kesehatan, lingkungan hidup, migrasi ilegal. “Ciri KUB sebagai komunitas basis perjuangan mesti diwujudkan dalam keterlibatan dan kompetensinya menangani masalah-masalah yang dihadapi anggotanya”.

Banyak kemajuan yang telah dicapai tapi masih banyak pula persoalan baik internal maupun eksternal Gereja Keuskupan Agung Ende yang harus disikapi komunitas basis. Mulai Rabu (7/7) kemarin, peserta Muspas terlibat aktif dalam diskusi-diskusi yang intens untuk menyikapi masalah-masalah pastoral gereja Keuskupan Agung Ende dan menyusun arah dasar dan strategi pastoral lima tahun ke depan.*



Read more...

Tanda-Tanda Kedewasaan Iman Sudah Muncul

Oleh Frans Obon

ENDE -- SOSIOLOG, yang juga dosen Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero Pater Robert Mirsel SVD menilai, dari presentasi hasil survei yang dilakukan tim pastoral Keuskupan Agung Ende, sudah ada tanda-tanda yang mencerminkan dan merefleksikan bahwa iman umat makin dewasa.

Usai presentasi hasil survei tim pastoral Keuskupan Agung Ende, Rabu (7/7/2010) di aula Paroki Mautapaga, dia mengatakan, komunitas-komunitas basis di Keuskupan Agung Ende tidak lagi melihat agama sebagai “hal dari luar” melainkan “sudah menjadi bagian integral” dari kehidupan umat.

“Dalam kehidupan sehari-hari kita lihat agama tidak lagi menjadi sesuatu yang sekunder atau tempelan melainkan bagian integral dari kehidupan harian umat, meski dari hasil survei menyebutkan bahwa doa dan urusan administratif di komunitas umat basis mendapat persentase tinggi dibandingkan merefleksikan kitab suci”.

Dia bilang, dari survei kelihatan bahwa agama tidak lagi sekadar ritual namun sudah makin mencerminkan wajah gereja yang cukup dewasa dalam hal iman.

Menurut dia, presentasi data-data survei ini hendaknya menjadi “satu momen penyadaran supaya jangan hanya dimengerti secara intelektual tapi membangkitkan sense of belongings, rasa memiliki bahwa inilah masalah yang kita hadapi dan kita membangun komitmen bersama untuk mengatasinya”.

Masalah-masalah klasik yang kita sering hadapi seperti yang disebutkan dalam survei yakni kemiskinan, masalah kaum muda, dan kawin pintas, misalnya, tidak perlu bertanya siapa yang paling yang bertanggung jawab apakah komunitas basis atau fungsionaris pastoral. “Sebaliknya Muspas ini harus menjadi momen metanoia kolektif dan pribadi untuk melihat berbagai kemajuan dan mengusahakan yang belum maksimal”.

Secara metodologis survei sudah bagus. Menariknya, katanya, dalam Muspas ini fungsionaris pastoral dinilai oleh umat dan fungsionaris pastoral menilai dirinya sendiri (self assessment).*


Read more...

Uskup Agung Membuka Muspas VI

*Kemiskinan Masih Menjadi Masalah

Oleh Frans Obon

ENDE (FLORES POS) -- Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota membuka Musyawarah Pastoral (Muspas) VI Keuskupan Agung Ende dalam sebuah perayaan ekaristi di Paroki Mautapaga, Selasa (6/7/2010) sore.

Hadir dalam perayaan ekaristi pembukaan Muspas VI ini Vikjen Keuskupan Agung Ende Pater Yosef Seran SVD, Provinsial SVD Ende Pater Konrad Kebung Beoang SVD, Vikep Ende Romo Ambros Nanga Pr dan Vikep Bajawa Romo Hengky Sareng Pr, Direktur Puspas Romo Cyrilus Lena Pr.

Dari pemerintah hadir Bupati Ende Don Bosco M Wangge, Sekda Ngada Moses Meda, Ketua DPRD Ngada Kristoforus Loko, Ketua DPRD Nagekeo Gaspar Batu Bata dan ketua DPRD Ende Marsel Petu.

Persiapan Muspas VI berlangsung selama setahun sejak pencanangannya oleh Uskup Sensi pada tanggal 16 Agustus 2009 di Gereja Katedral Ende. Tema perayaan ekaristi “Demikian Aku mengutus kamu” (Yoh 20:21).

Uskup Agung ini dalam kotbah ekaristi pembukaan mengatakan, Muspas bukanlah hal baru karena “Kita sudah menyelenggarakan Muspas untuk kesekian kalinya”. Namun Uskup Sensi mengatakan, Muspas harus bisa mengakomodasi dan menerima aspirasi dari umat.

Uskup mengajak peserta Muspas untuk menyandarkan diri pada kekuatan Allah untuk membahas dan merancang perencanaan pastoral keuskupan lima tahun ke depan. “Karena Pastoral Gereja adalah karya kasih Allah”. “Kita merefleksikan pastoral kita di masa lalu dan bersama-sama dalam Muspas merefleksikan apa maunya Tuhan”.

Dia minta agar peserta dalam pergumulannya selama Muspas sungguh mendengar Roh Allah sendiri, sebab Roh Allah berembus ke mana dia mau.

Dalam sambutannya Uskup Agung ini tidak menampik berbagai kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam kehidupan komunitas basis seperti adanya partisipasi aktif dari para fungsionaris pastoral dan umat beriman. “Saya bangga dengan kemajuan ini”.
“Sudah banyak komunitas umat basis dan paroki yang makin kuat dan mandiri. Tidak kurang juga umat berpartisipasi aktif dan bertanggung jawab dalam kehidupan menggereja. Mereka begitu bersemangat. Malah ada DPP awam jauh lebih keras dari para imam”.

Namun Uskup mengingatkan bahwa masih banyak umat Katolik di Keuskupan Agung Ende dililit kemiskinan. Masalah ini merupakan pekerjaan rumah pastoral yang masih perlu dikerjakan.

“Masih banyak rencana aksi yang belum cukup digerakkan untuk membuat perubahan dan kita belum mampu mengentas kemiskinan yang dialami mayoritas umat,” katanya.

Gereja, katanya, sudah melakukan kampanye hidup hemat dan menabung. Bahkan Keuskupan mendirikan credit union Gerbang Kasih. Gereja Katolik, kata Uskup, mengambil bagian dalam prakarsa pangan lokal untuk menghindari umat dari kelaparan. Bahkan para uskup se-Nusa Tenggara mengikarkan pastoral yang peduli petani.

Uskup merasa cemas dengan makin banyaknya generasi muda yang tidak terserap oleh lapangan kerja sehingga harus meninggalkan tempat kelahirannya mencari kerja di luar Flores.

Selain itu, gereja Keuskupan Agung Ende berhadapan dengan masalah hak asasi manusia, politik, dan lingkungan hidup. “Muspas juga akan diisi oleh permenungan tentang masalah-masalah klasik yang dihadapai oleh umat dan kita dipanggil untuk menjawabi situasi tersebut sehingga Gereja menjadi tanda keselamatan bagi semua orang”.

Umat sebagai Subjek
Uskup menegaskan lagi bahwa umat tidak hanya dan tidak lagi menjadi fokus dari karya pastoral Gereja tetapi menjadi subjek pastoral. Hal ini dimungkinkan oleh Roh Tuhan karena Roh Tuhan bertiup ke mana saja dia mau. Karena itu Gereja perlu mendengar suara dari umat sederhana karena suara mereka merupakan percikan Roh Allah, sehingga Muspas harus menjadi ruang bagi Roh Allah untuk berbisik.

“Konkretnya perlu ada keterbukaan dan lapang hati untuk saling mendengarkan. Kita belajar duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi”.

Sedangkan Bupati Ende Don Bosco M Wangge dalam sambutannya mengatakan, pemerintah dan Gereja mengemban tugas yang sama yakni mensejahterakan rakyat, meski berbeda bidang kerja. Dia bilang, Muspas punya makna strategis terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan UU No. 32/2004 mengenai asas desentralisasi, yang berbasiskan akar rumput dengan semangat kemandirian.

Bupati mengajak Gereja Katolik untuk terus membangun kerja sama terutama di bidang pertanian dan secara bersama-sama mendorong gerakan swasembada pangan terutama pangan lokal.

Bupati mengatakan pemerintah menerima berbagai kritikan dan saran berkaitan dengan kebijakan pemerintah kalau hal itu muncul di dalam Muspas.

Bupati berterima kasih atas kontribusi yang diberikan oleh Gereja dalam membangun masyarakat dan dia berharap kerja sama ini terus ditingkatkan ke depan. “Kita tidak dapat menyangkal peran Gereja dalam membangun manusia seutuhnya.

Ketua umum panitia Domi M Mere dalam laporannya mengatakan, persiapan Muspas berlangsung selama setahun. Selama setahun itu pula panitia bekerja.

Para peserta menginap di rumah-rumah umat untuk mempererat kebersamaan dalam keluarga sebagai unit terkecil dari komunitas basis.*

Read more...

4 Juli 2010

Growth in immigrant communities seen fostering love for soccer in US

By Paul Sanchez
Catholic News Service

PORT CHESTER, N.Y. (CNS) -- Before and during the 2010 World Cup games being played in South Africa until July 11, there have been numerous articles and editorials in the American press about what has traditionally been a lack of interest in the World Cup in the United States.

These sentiments were boldly expressed in a May 6 article in The New York Times headlined "Most Popular Soccer Team in the U.S.: Mexico?" It detailed the successes of the Mexican national team and the pride Mexicans in the United States have for that team.

But what seems missing in a lot of the coverage is how the growth of this country's immigrant population may be responsible for a growing U.S. interest in the sport, because immigrants are bringing with them their passion for their national sport.

Not to mention that many of these immigrants also are bringing their Catholic faith to their new home. Many come from predominantly Catholic countries, such as Latin American nations, and account for much of the recent growth of the U.S. Catholic Church.

(And not a few stories in the Catholic press have highlighted the strong Catholic faith of many of the current players.)

Latin America was well represented among the 32 teams that qualified for the 2010 World Cup. And among the eight teams heading into the Cup's quarterfinals were Brazil, Uruguay, Argentina and Paraguay.

One U.S. community noted for its diverse Latin American population is Port Chester in Westchester County. Virtually all Latin American nations seem to be represented there.

One popular locale for the area's massive Brazilian community to watch the games has been Churrascaria Copacabana, a steakhouse with many television screens in the outside bar area.

Anderson Moretti, a native of Sao Paolo, who is the general manager of Copacabana, feels that the World Cup brings the Brazilian community in the United States closer together.

"You can see all the families coming together to watch the matches. It is as big in the Brazilian community here as it is in the U.S. People like to dress up in the colors and team jerseys," he said.

Moretti said that after a Latino country is eliminated, people from that country will root for another Latino country to win it all.

The New York City borough of the Bronx is noted for having communities of almost every immigrant group imaginable, with Latino groups being the most prevalent. However, in the Belmont section of the Bronx, a traditional Italian-American stronghold, both Italian-born people and people of Italian descent had geared up for the World Cup long in advance of the opening game June 11.

Stan Petti, owner of Full Moon Pizzeria, has had a recent poster of the Italian team hanging in his restaurant for months. Petti, a native of Italy's province of Salerno who came to the United States in 1972, has been talking about Italy's chances in the 2010 Cup with his patrons, both Italians and non-Italians, for several months. The restaurant shows many of the games on widescreens.

"The World Cup is a big event in the Italian community because it is a part of our culture. We have followed the World Cup since we were kids," he said. "Besides, if the Italian team does well, it is nice to show off our flag."

Belmont in the past 20 years has seen an influx of Mexican immigrants who live and work in the neighborhood.

Petti said he sees the World Cup as a unifying force for the Italians, Latino groups and Albanians in the neighborhood.

"The World Cup certainly brings people of different backgrounds together, and it does not have to be about the players or different teams but also the referee and the country where the game is played," he said.

Rusty Chorro Serpas, a native of El Salvador who eats lunch regularly at the Full Moon, feels that Salvadorans love soccer so much that they got over the disappointment of their country failing to qualify for the World Cup and were still following the games out of their intense love of soccer.

"I can come in here almost every day to eat lunch, and every day I can talk about the World Cup with people from different countries -- Mexico, Colombia, Italy, Argentina, Brazil, Portugal and so many more," he said. "The World Cup is both a unifier and a way of life. When it is over, I can't wait for another four years to pass!"

END

Read more...

Pope names Quebec cardinal head of Congregation for Bishops

By Cindy Wooden
Catholic News Service

VATICAN CITY (CNS) -- Pope Benedict XVI has named Canadian Cardinal Marc Ouellet of Quebec to be the new prefect of the Congregation for Bishops, the office that helps the pope choose bishops for Latin-rite dioceses around the world.

Cardinal Ouellet, 66, will succeed Cardinal Giovanni Battista Re, 76, who has headed the congregation since 2000.

The appointment was announced at the Vatican June 30. In addition to serving as prefect of the congregation, Cardinal Ouellet also will be president of the Pontifical Commission for Latin America, which promotes cooperation between the various offices of the Vatican and the Latin American bishops' council.

Cardinal Ouellet welcomed his appointment to one of the Vatican's most powerful posts "with gratitude, but also with a sense of fear," at a June 30 news conference at the headquarters of the Archdiocese of Quebec.

In that role, he will head the office that advises the pope in choosing the world's bishops.

"The holy father has to be very informed, with clarity, with authenticity in order to make a good decision. So it is a difficult task," said Cardinal Ouellet, the primate of Canada and the first North American cardinal to be put in charge of the bishops congregation.

The cardinal said that while he views the appointment as "a mark of great confidence," he feels fear because his new post presents him with a "difficult" and "huge" responsibility.

The cardinal, stressing the importance of the prefect, said bishops play a key role in the life of the church and have to be clever, prudent and patient in working with the rest of the church community. He said he would help bishops be good bishops while respecting their individual styles and personalities.

Ouellet said he expects to officially take over as prefect of the Congregation of Bishops at the end of August or the beginning of September.

Cardinal Ouellet is no stranger to Rome or the Roman Curia, but he also has the direct pastoral experience of leading a large archdiocese.

Basilian Father Thomas Rosica, founder and CEO of Canada's Salt and Light Television, said, "The Curia is only as effective as the seasoned shepherds who lead the various departments" and "the Congregation for Bishops, in particular, must embody what it strives to do: prepare shepherds and pastors to the universal church.

"Under the leadership of Cardinal Ouellet, I believe that the Congregation for Bishops will do great work in a very challenging time," Father Rosica said in an e-mail interview with Catholic News Service.

Cardinal Ouellet had studied in Rome and returned to the city to teach in 1996. A year later, he was appointed chair of dogmatic theology at the John Paul II Institute for Studies on Marriage and the Family.

In 2001, he was named a bishop and appointed secretary of the Pontifical Council for Promoting Christian Unity. He also served on the Commission for Religious Relations With the Jews.

In 2002 Pope John Paul II named him archbishop of Quebec and in 2003 he made him a cardinal.

He was one of only two cardinals chosen to deliver major speeches to the two-day World Meeting of Priests that preceded the closing of the Year for Priests with Pope Benedict in early June.

He spoke to the priests June 10 about an "unprecedented wave of challenges against the church and the priesthood following the revelation of scandals whose gravity we must recognize and sincerely work to repair."

"But beyond the necessary purification our sins require, we must also recognize that at the present moment there is open opposition to our service to the truth and there are attacks from both outside and inside that aim to divide the church. We pray together for the unity of the church and for the sanctification of priests, these heralds of the good news of salvation," he said.

Cardinal Ouellet has a reputation as an inspiring theologian whose teaching is close to that of Pope Benedict.

The pope named him a member of the Synod of Bishops on the Eucharist in 2005 and he was elected to head the commission that drafted the synod's final message. In 2008, he hosted the International Eucharistic Congress in Quebec.

Born June 8, 1944, in La Motte, Quebec, he earned a degree in theology from the University of Montreal in 1968 and was ordained a priest for the Montreal Archdiocese. He joined the Sulpician order in 1972 and was sent to Rome to study philosophy at the Pontifical University of St. Thomas Aquinas.

He taught at seminaries in Colombia and Montreal before earning his doctorate in dogmatic theology from Rome's Pontifical Gregorian University in 1983.

He later served as rector of seminaries in Manizales, Colombia, in Montreal and in Edmonton, before returning to Rome to teach.

Cardinal Ouellet speaks French, English, Italian, German and Spanish.

- - -

Contributing to this story was Adeshina Emmanuel in Washington.

END

Read more...

Pope announces formation of pontifical council for new evangelization

By Cindy Wooden
Catholic News Service

VATICAN CITY (CNS) -- Pope Benedict XVI announced he is establishing a pontifical council for new evangelization to find ways "to re-propose the perennial truth of the Gospel" in regions where secularism is smothering church practice.

Leading an evening prayer service June 28 at Rome's Basilica of St. Paul Outside the Walls, Pope Benedict said there are areas of the globe that have been known as Christian for centuries, but where in the past few centuries "the process of secularization has produced a serious crisis" in people's sense of what it means to be Christian and to belong to the church.

"I have decided to create a new organism, in the form of a pontifical council, with the principal task of promoting a renewed evangelization in the countries where the first proclamation of faith has already resounded and where there are churches of ancient foundation present, but which are living through a progressive secularization of society and a kind of 'eclipse of the sense of God,'" he said.

The challenge, he said, is to find ways to help people rediscover the value of faith.

The pope did not say what the formal name of the pontifical council would be and he did not announce who would head it, although in the weeks leading to the announcement, Vatican commentators suggested it would be Italian Archbishop Rino Fisichella, currently president of the Pontifical Academy for Life.

Pope Benedict made the announcement at the basilica built over what is believed to be the tomb of St. Paul, who dedicated "his entire existence and his hard work for the kingdom of God," the pope said.

The Pontifical Council for Health Care Ministry, established by Pope John Paul II in 1985, was the last pontifical council created.

The pope's evening prayer service marked the vigil of the feast of Sts. Peter and Paul, the Vatican's patron saints and the symbols of the church's unity and its universality, he said.

Saying he wanted to focus the evening service on the universal aspect of the church, Pope Benedict recalled how Pope John Paul II repeatedly used the phrase "new evangelization" to describe the need for a new commitment to spreading the Gospel message in countries evangelized centuries ago and the need to find new ways to preach the Gospel that correspond both to the truth and to the needs of modern men and women.

The pope said the social and religious challenges of the modern world cannot be met by human strength and ingenuity alone. In fact, he said, he and other church leaders often feel like the disciples of Jesus faced with a hungry crowd but having only a few fish and a couple loaves of bread to divide among them.

"Jesus showed them that with faith in God nothing is impossible and that a few loaves of bread and fish, blessed and shared, could satisfy everyone," he said.

"But there wasn't -- and there isn't -- only hunger for material food: There is a deeper hunger, which only God can satisfy," the pope said.

Men and women today want "an authentic and full life, they need truth, profound freedom, unconditional love. Even in the deserts of the secularized world, the human soul thirsts for God," he said.

Welcoming a delegation from the Ecumenical Orthodox Patriarchate of Constantinople, the pope said the task of new evangelization also is tied to the commitment to working for Christian unity.

"May the intercession of Sts. Peter and Paul obtain for the whole church an ardent faith and apostolic courage to announce to the world the truth we all need, the truth that is God," the pope prayed.

END


Read more...

23 Juni 2010

Pope says God can be understood through harmony of faith, reason

By Sarah Delaney
Catholic News Service

VATICAN CITY (CNS) -- Christians can come to an understanding of God and his plan through reason that is enlightened by faith, Pope Benedict XVI said as he explained the works of St. Thomas Aquinas.

At the weekly general audience June 23 at the Paul VI audience hall, the pope said the 13th-century saint and doctor of the church showed in his writings how the intellect and faith come together to bring Christians closer to the mystery of God.

The pope, continuing his weekly lessons on the teachings of theologians from the Middle Ages, praised St. Thomas' monumental unfinished work, the "Summa Theologica." He said that in it St. Thomas posed questions that are relevant today. Through methods of inquiry inspired by ancient Greek philosophers, the pope said, he was able to "arrive at precise and lucid conclusions about the truth of faith that are accessible to all of us."

Pope Benedict said St. Thomas had taught that man's free will and thought must be "illuminated by prayer, enlightened from above."

He said that, according to St. Thomas, moral nature lies in the "free will of man to perform acts of good, integrating reason, will and passion," but to which must be added "the grace of God through the virtue and gifts of the Holy Spirit."

To those who doubt faith because it cannot be explained through the senses, St. Thomas answered that human intelligence cannot know everything, and that faith and acknowledgment of the mystery of God were necessary, Pope Benedict explained.

In writing about the apostles, the pope said, St. Thomas said that man cannot live and learn without the experience of others. The saint taught that wise, noble and rich people listened to the apostles even though they were poor and simple because their words had been inspired by Jesus Christ, the pope said.

St. Thomas taught that "the soul unites with God and becomes a sprout of eternal life," the pope said.

He said St. Thomas placed great importance on the sacraments, especially the Eucharist.

"Brothers and sisters," said the pope, "let us love this sacrament, nourishing ourselves with the body and blood of the Lord, to be everlastingly fed by divine grace."

The Eucharist shows the "the great mystery of incarnation" and the faith that God appeared to man, in the body of Jesus Christ, "as one of us," the pope said.


END


Read more...

Early evidence of devotion to apostles found in Rome catacombs

By Cindy Wooden
Catholic News Service

ROME (CNS) -- In the basement of an Italian insurance company's modern office building, Vatican archaeologists -- armed with lasers -- discovered important historical evidence about the development of Christian devotion to the apostles.

At Rome's Catacombs of St. Thecla, in the burial chamber of a Roman noblewoman, they have discovered what they said are the oldest existing paintings of Sts. Peter, Paul, Andrew and John.

Technicians working for the Pontifical Commission for Sacred Archaeology discovered the painting of St. Paul in June 2009 just as the Year of St. Paul was ending.

Barbara Mazzei, who was in charge of the restoration work, said June 22 that she and her team members knew there were more images under the crust of calcium carbonate, but excitement over the discovery of St. Paul in the year dedicated to him led them to announce the discovery even before the rest of the work was completed.

Presenting the complete restoration of the burial chamber to reporters a year later, Msgr. Giovanni Carru said that the catacombs "are an eloquent witness of Christianity in its origins."

Into the fourth century, Christians in Italy tried to bury their dead near the tomb of a martyr. The walls of the tombs of the wealthy were decorated with Christian symbols, biblical scenes and references to the martyr.

At the Catacombs of St. Thecla, the noblewoman's burial chamber -- now referred to as the Cubicle of the Apostles -- dates from late in the fourth century. The arch over the vestibule features a fresco of a group of figures the Vatican experts described as "The College of the Apostles."

The ceiling of the burial chamber itself features the most typical icon found in the catacombs -- Christ the Good Shepherd -- but the four corners of the ceiling are decorated with medallions featuring the four apostles, said Mazzei.

Fabrizio Bisconti, the commission's archaeological superintendent, said that in the decorations of the catacombs one can see "the genesis, the seeds of Christian iconography," with designs from the very simple fish as a symbol of Christ to the resurrection image of Christ raising Lazarus from the dead.

The discovery of so much attention to the apostles in the Catacombs of St. Thecla documents the fact that widespread devotion to the apostles began earlier than what most church historians believed, he said.

"This is the time when the veneration of the apostles was just being born and developed," he said, and the art in the catacombs no longer presented just the martyrs or biblical scenes.

The burial chamber also features frescoes of Daniel in the lion's den, the Three Wise Men bringing gifts to Jesus, Abraham's sacrifice of Isaac and a very large wall painting of the noblewoman herself -- jeweled, veiled and with "an important hairstyle," a symbol of status in ancient Rome, he said.

Mazzei said that when restorers first went into the burial chamber in 2008, all the walls were white -- completely covered under the crust of calcium carbonate that ranged from a millimeter thick to 4-5 centimeters deep. The Vatican, however, had watercolors and diary descriptions from the 1800s testifying that there were paintings on the walls.

In the past, she said, restorers would use tiny scalpels and brushes to remove the white crust, but some of the paint always came away with it. Restorers were left trying to find the right balance between removing enough to see a faint image of a catacomb fresco and destroying it.

Then along came the laser, Mazzei said.

After attending an art restoration conference and listening to presentations on how lasers were being used on frescoes in buildings above ground, she said she suggested to the Vatican that they gather a team of experts to see how lasers would work in the extremely humid catacombs where almost no air circulates.

"We went slowly and basically set up an experimental laboratory" in the catacombs, she said.

The restoration project was just as painstaking as the scalpel-and-brush method because it involved firing the laser pinpoint by pinpoint across the surface of the cubicle, "but the result is totally different," Mazzei said.

She said the two-year project to restore the tiny cubicle cost only about $72,000 because many of the consultants donated their time and the laser company gave the Vatican a steep discount.

Bisconti said the Vatican has no plans to open the Catacombs of St. Thecla to the public, although the pontifical commission occasionally gives permission for groups to visit as long as they are willing to pay a licensed guide and escort.

END


Read more...

4 Januari 2010

Paus Minta Kelompok Bersenjata Abaikan Kekerasan

Oleh Gerard O'Connell,
Koresponden Khusus di Roma


KOTA VATIKAN (UCAN) -- Pesan Tahun Baru dari Paus Benediktus XVI berisi himbauan penuh kasih kepada kelompok-kelompok bersenjata di seluruh dunia untuk mengabaikan kekerasan.

"Kepada setiap orang dan setiap kelompok, saya katakan: hentikan, renungkan, dan abaikan jalan kekerasan," kata Paus.

"Sekarang ini, langkah ini mungkin tampaknya tidak mungkin, namun jika Anda memiliki keberanian untuk melakukannya, Allah akan membantu Anda dan Anda akan merasakan betapa bahagianya kedamaian itu di dalam hati Anda. Kebahagiaan yang mungkin telah lama Anda lupakan."

Asia merupakan tempat sejumlah peristiwa kekerasan, seperti konflik-konflik dengan Taliban di Afghanistan dan Pakistan, kekerasan dan penculikan yang terus terjadi di Filipina selatan, dan hampir setiap hari terjadi pemboman di selatan Thailand.

Paus menyampaikan himbauannya untuk perdamaian itu pada 1 Januari tengah hari setelah merayakan Misa untuk perdamaian di Basilika St. Petrus.

Gereja Katolik merayakan Hari Tahun Baru sebagai “Hari Perdamaian Dunia” sejak tradisi ini dimulai oleh Paus Paulus VI tahun 1967. Umat Katolik di dunia diminta untuk memikirkan apa yang dapat mereka sumbangkan bagi perdamaian dunia pada hari khusus ini.

Dalam kotbahnya, Paus mendesak masyarakat dunia untuk wajah pribadi lain dengan penuh penghormatan, “tanpa mempedulikan warna kulit, kebangsaan, bahasa, dan agamanya" dan melihat di sana seorang pribadi “yang bukan pesaing atau musuh,” tetapi “saudara dalam keluarga manusia.”

Paus juga memaafkan perempuan yang menyerangnya pada Malam Natal dan mengutus sekretaris pribadinya untuk menyampaikan pesan itu kepada perempuan itu secara pribadi. Perempuan itu, Susanna Maiolo, 25, sedang dalam perawatan di sebuah pusat medis yang dirahasiakan. Perempuan itu dibawa ke pusat yang berada di Subiaco, selatan Roma, segera setelah ditangkap di Basilika St. Petrus. Maiolo, yang dikatakan memiliki sejarah gangguan psikologis, meloncati petugas keamanan dan mendorong Paus sehingga Paus jatuh ke tanah. ***
Read more...

2 Januari 2010

Pesan Seda: Jaga NKRI

Kupang, KOMPAS - Dalam pertemuan terakhir, Juli 2009 di Jakarta, Frans Seda memberikan pesan khusus kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya, yakni jangan mudah terprovokasi isu yang ingin memecah belas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Warga NTT harus ikut menjaga keutuhan NKRI.

Gubernur NTT mengutarakan hal itu, Jumat (1/1) di Kupang, NTT. Frans Seda memesankan pula agar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pancasila terus dijaga di kawasan timur Indonesia.

”Beliau berpesan agar NTT dijaga baik-baik pula. Bangun kesejahteraan rakyat melalui peningkatan infrastruktur, sumber daya manusia, ekonomi kerakyatan, kesehatan, dan kerja sama antarkelompok masyarakat,” kata Lebu Raya lagi.

Kepercayaan diri

Uskup Agung Ende Monsinyur (Mgr) Vincentius Sensi Potokota mengakui, kepergian Frans Seda adalah kehilangan besar untuk bangsa Indonesia, terutama warga NTT. Seda memberikan makna dalam, khususnya dalam menumbuhkan rasa percaya diri bagi warga Flores dan NTT.

”Dari NTT ada figur Frans Seda, tokoh bangsa yang mengukir banyak prestasi nasional. Ia dapat menjalankan tugas negara dengan baik dari rezim ke rezim. Frans Seda adalah tokoh fenomenal,” kata Sensi.

Sensi mengakui, Seda adalah ikon. Kehadiran dan perannya di Indonesia yang besar, dia berasal dari kalangan Katolik, mencerminkan pemberian putra terbaik dari gereja untuk bangsa.

”Dia juga menyumbangkan nilai-nilai Kristiani lewat tugas kenegaraan yang dijalankan. Frans Seda memberikan inspirasi bagi pimpinan umat. Dia sering memberikan dukungan dari ketokohan dan keteladanannya sebagai pemimpin,” katanya lagi.

Secara terpisah, Uskup Maumere Mgr Gerulfus Cherubim Pareira menyatakan, rasa pengabdian Frans Seda pada bangsa dan negara sangat tinggi.

”Yang saya tidak lupa, pernah ada sorotan tajam diarahkan padanya, ketika menjabat sebagai menteri apa saja yang diperbuatnya untuk NTT? Saya salut pada jawaban Frans Seda, yakni dirinya menjadi menteri bukan saja untuk mengurus NTT, tetapi untuk kepentingan yang lebih luas, membangun bangsa dan negara ini,” ungkap Cherubim.

Gervatius Portasius Seda, keponakan Frans Seda, menuturkan, secara adat, almarhum adalah tokoh dengan gelar Koro Ria, Panglima Adat. Sebernarnya masyarakat Lekebai, tempat kelahiran Frans Seda, menghendaki almarhum dimakamkan di makam leluhur. Akan tetapi, Frans Seda pernah berpesan, lokasi pemakamannya diserahkan kepada istri dan anak-anaknya.

Untuk mengenang Frans Seda, warga Lekebai menggelar misa arwah di Gereja Maria Imakulata, Lekebai, pada Jumat petang dan Sabtu pagi, yang disesuaikan dengan misa arwah di Jakarta. ”Kalau di Jakarta misa pukul 10.00 di Katedral, di Lekebai digelar pukul 11.00,” kata Gervatius.

Gubernur NTT menggelar misa arwah bersama warga di Kupang, 6 Januari 2010, pula. Selain bagi Frans Seda, misa itu untuk mendoakan almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Keduanya memiliki peran besar bagi Indonesia. (kor/sem)
Read more...

SBY: Frans Seda Tokoh 3 Zaman

*Tokoh Kepercayaan Lima Presiden

Jakarta,KOMPAS - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan, almarhum Franciscus Xaverius Seda, dikenal sebagai Frans Seda, sebagai tokoh tiga zaman. Hal ini dikatakan Presiden seusai melayat di rumah duka Frans, Jumat (1/1) petang.

Frans Seda, mantan Menteri Keuangan dan Ekonom Senior, meninggal dunia, Kamis pukul 05.00, pada usia 83 tahun karena sakit. Jenazah akan dimakamkan Sabtu ini di Pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat, dan diberangkatkan dari Gereja Katedral Jakarta pukul 13.00. Uskup Agung Jakarta Julius Kardinal Darmaatmadja akan memimpin misa requeim.

Yohanes Temaluru dari keluarga Seda menyatakan, pemakaman akan berlangsung dalam upacara militer yang dipimpin Menteri Perhubungan Freddy Numberi. Misa tutup peti pukul 07.00. Jenazah Frans Seda juga akan diberikan penghormatan terakhir di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta.

Pemikir kritis

Presiden Yudhoyono menyatakan pula, ”Kita mengenal beliau tokoh tiga zaman. Beliau pernah menjadi menteri Bung Karno dan menteri di berbagai portofolio pada masa Pak Harto. Juga pada era reformasi, berkontribusi dalam pengembangan demokrasi dan pengembangan era baru ini.”

Menurut Presiden, Frans Seda adalah tokoh dan pemikir yang kritis, tetapi juga memberikan solusi untuk kepentingan pembangunan. Presiden berbelasungkawa atas wafatnya Frans Seda.

”Atas nama negara, pemerintah, dan pribadi, saya menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya tokoh bangsa. Semoga diterima di sisi Yang Maha Esa,” kata Presiden.

Presiden menambahkan, semua yang masih menjadi cita- cita Frans Seda adalah tanggung jawab semua pihak untuk mewujudkannya demi menuju masa depan yang lebih baik.

Secara terpisah, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri mengakui ada nasihat dari Frans Seda yang selalu diingatnya. ”Om Frans selalu bilang, saya enggak boleh menyerah,” ungkap Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu.
Megawati tiba di rumah duka di Pondok Indah, Jakarta Selatan, Jumat sekitar pukul 19.00. Ia mengaku merasa kehilangan Frans Seda, yang saat ini juga menjadi sesepuh PDI-P.

Megawati mengaku bertemu terakhir kali dengan Frans Seda saat Rapat Kerja Nasional PDI-P tahun lalu. Frans Seda masih bersemangat memberikan masukan bagi partai. Ia masih memiliki ingatan cukup tajam.

Selain Presiden dan Megawati, beberapa tokoh juga melayat di rumah duka. Mereka antara lain Wakil Presiden Boediono, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Pimpinan Kompas Gramedia Jakob Oetama, dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.

Try menyebut Frans Seda sebagai sosok yang selalu memikirkan ekonomi kerakyatan.
Boediono kepada Johanna Maria Pattinaja, istri Frans Seda, berujar, ”Negara merasa kehilangan, terutama atas jasa di bidang ekonomi. Tabah, ya, Bu.”

Menurut Wapres, Frans Seda adalah ekonom nasionalis yang mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kelompok dalam menjalankan tugas dan peran. Ia meminta semua komponen bangsa mencontoh hal itu untuk maju.

Mantan Wapres M Jusuf Kalla, yang sedang di Australia, Jumat, menyatakan duka mendalam atas berpulangnya Frans Seda. Frans Seda dikenalnya gigih dalam memperjuangkan kepentingan bangsa, khususnya pembangunan di wilayah timur Indonesia. ”Semangat hidup dan semangat memikirkan bangsa ini luar biasa. Kadang kala semangatnya itu berlebihan untuk orang seusia dia,” kata Kalla.

Kalla mengisahkan suatu peristiwa dua tahun silam. Dengan menggunakan kursi roda, Frans Seda mengunjunginya di Istana Wapres. Frans Seda bicara soal utang Pemerintah Indonesia yang terlalu besar dan menawarkan diri untuk membicarakan soal itu dengan koleganya di Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.
”Saya bilang, kolega Bapak di sana tentu sudah pensiun. Jadi, Bapak istirahat saja, jaga kesehatan dengan baik,” kata Kalla waktu itu.

Pendiri ”Kompas”


Selain di bidang kenegaraan, Frans Seda turut berperan dalam kelahiran harian Kompas, 28 Juni 1965, bersama PK Ojong dan Jakob Oetama. Jakob menyebutkan, almarhum merupakan sosok yang tidak pernah membosankan untuk diajak berdiskusi.

”Orangnya tegas, pandai. Saya kenal lama. Pak Frans juga salah satu pendiri Kompas yang selalu menulis tentang keresahan di negeri ini,” ujar Jakob Oetama.

Jakob mengakui terakhir bertemu Frans Seda sekitar setengah tahun lalu saat ia berkunjung ke Kompas. ”Itu hanya sebentar. Beliau sudah sulit bicara,” ujarnya.
Sebagai pejabat negara, Jakob menambahkan, Frans Seda adalah sosok yang tak pernah membedakan daerah satu dengan yang lain. ”Beliau selalu memerhatikan semua daerah, infrastruktur yang rusak diperbaiki, dan tidak ada diskriminasi,” katanya.

Lima presiden

Frans Seda meninggalkan seorang istri dan dua anak, Francisia Saveria Sika Seda dan Yoanesa Maria Yosefa Seda. Frans Seda yang dilahirkan dari pasangan Paulus Setu Seda dan Sipi Soa Seda, 4 Oktober 1926, di Lekebai, Desa Bhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, Flores, sekitar 30 kilometer sebelah barat Kota Maumere, pernah menjadi Menteri Perkebunan (1966), Menteri Pertanian (1966), Menteri Keuangan (1967), dan Menteri Perhubungan (1968).

Selain itu, ia juga menjabat Penasihat Ekonomi untuk tiga presiden, yaitu BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, dan Megawati. Artinya, Frans Seda pernah membantu lima presiden di negeri ini.

Guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis-Suseno, yang juga melayat ke rumah duka, mengatakan, Frans Seda adalah tokoh bangsa yang nasionalis, melintasi batas agama. ”Umat Katolik banyak belajar dari beliau. Ia juga menjadi orang kepercayaan presiden pertama sampai kelima,” katanya.

Magnis mengaku sering bertemu Frans Seda. ”Kita memerlukan orang nasionalis seperti Pak Frans Seda,” ujarnya.

Yohanes Temaluru menceritakan, November lalu, Frans Seda sempat dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah karena tenggorokannya sakit sehingga tidak bisa menelan makanan. ”Kira-kira dua minggu di RS, kemudian pulang dan menjalani fisioterapi seperti biasanya. Saat Natal lalu, beliau sempat merayakan bersama keluarga,” katanya.

Yohanes mengakui, sakit yang diderita Frans Seda akibat usia yang kian tua. Ketika Presiden Republik Indonesia (1999-2001) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga teman dekat almarhum, wafat, Frans Seda tak diperbolehkan melihat televisi.
”Kami khawatir Pak Frans Seda akan meminta diantar melayat Gus Dur. Padahal, kondisi kesehatan tidak memungkinkan. Jadi, sampai akhir hayatnya, beliau tak tahu kabar Gus Dur meninggal,” ungkap Yohanes.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengutarakan, Frans Seda sebagai tokoh yang pluralis, fleksibel, dan terbuka. Begitu pula mantan Menteri Agama Tarmizi Taher menilai Frans Seda merupakan sosok yang bisa berkomunikasi dengan semua orang tanpa melihat dari mana asalnya. ”Beliau menginginkan umat beragama menjadi satu,” katanya.

Mari Pangestu juga mengaku sangat mengagumi Frans Seda.
(sie/dis/day/Kompas.com/ ryo/ham/sem)

Read more...