30 Desember 2009

Agama dan Ruang Publik

Oleh Dr. Otto Gusti Madung SVD

SEORANG rekan dari di Bristol, Inggris, menulis email dan bercerita tentang debat publik pada tanggal 22 Oktober 2009 lalu di Inggris yang melibatkan para pemikir papan atas dunia yakni Juergen Habermas, Charles Taylor, Judith Butler dan Cornel West.

Diskusi tersebut diberi judul "Rethinking Secularism: The Power of Religion in the Public Sphere" - Memikirkan Kembali Sekularisme: Kekuasaan Agama di Ruang Publik". Menurut rekan tadi, diskusi keempat cendikiawan kelas dunia ini akan turut menentukan dan bahkan menggiring wacana "Agama dan Ruang Publik' beberapa tahun ke depan.

Memang sekurang-kurangnya sejak peristiwa 11 September 2001 diskursus seputar agama pada umumnya dan secara khusus peran agama di ruang publik kembali menjadi titik perhatian masyarakat sekular. Bahkan pemikir seperti Juergen Habermas yang menyebut dirinya 'buta secara religius' sejak awal tahun 2001 menjadikan tema agama sebagai fokus penelitian filosofisnya.

Habermas bahkan tak sungkan bertemu dengan para pemikir dan teolog yang secara ideologis sesungguhnya berseberangan dengannya. Tahun 2004, misalnya, ia bertemu dan berdebat dengan Kardinal Josef Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) tentang syarat-syarat etis konsep negara hukum. Kemudian tahun 2007 ia kembali berdiskusi tentang agama dengan para profesor Yesuit di Hochschule fuer Philosophie Muenchen, Jerman.

Maraknya kekerasan atas nama agama seperti aksi terorisme dan gerakan fundamentalisme agama memaksa para ilmuwan dan pemikir untuk meninjau kembali peran dan posisi agama dalam masyarakat moderen. Sekularisme telah meminggirkan agama ke ruang privat. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari pihak agama yang menganggap haknya untuk berkiprah di ruang publik telah dipangkas oleh ideologi Laicité. Bahkan reaksi muncul dalam pelbagai fenomen kekerasan seperti tindakan martirium bom bunuh diri.

Untuk konteks kita di Indonesia, hubungan antara agama dan ruang publik tampil dalam wajah ekstrem yang lain. Bukan peminggiran agama ke ruang privat seperti dalam masyarakat sekular yang terjadi, melainkan surplus agama di public space. Pengamatan rekan saya, Emanuel Embu, tepat sekali ketika mengritik praktik devosi perarakan patung Kristus Raja (dalam kenyataannya adalah Patung Hati Kudus) baru-baru ini di Keuskupan Maumere yang dalam jangka waktu tertentu telah menutupi ruas jalan umum lintas Flores (Pos Kupang, Rabu, 25/11/2009).

Akibatnya, kendaraan umum dan pribadi yang menggunakan jalan umum harus menunggu berjam-jam. Kita bisa bayangkan apa yang terjadi seandainya waktu itu sebuah mobil ambulans harus mengantar pasien sakit berat ke rumah sakit dan harus antri berjam-jam karena jalan ditutup oleh umat yang sedang beribadah. Pengalaman rekan Eman ini mengingatkan saya akan pengalaman pada awal tahun 2001 di Jakarta ketika anggota pasukan FPI (Front Pembela Islam) dan beberapa kelompok ektrem lainnya menutupi jalan-jalan umum ibu kota untuk kepentingan kegiatan keagamaannya.

Benar bahwa kebebasan beragama merupakan salah satu butir penting paham hak-hak asasi manusia. Bahkan di Indonesia kebebasan beragama dan beribadat menurut agamanya mendapat perlindungan dan jaminan konstitusional. Namun kebebasan individual dan kelompok bukan tak terbatas. Kebebasan absolut atau kesewenang-wenangan akan menciptakan apa yang oleh filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), sebagai kondisi prejuridical society atau masyarakat tanpa hukum.

Dalam masyarakat tanpa hukum, yang berlaku adalah hukum rimba. Di sini hak dan kebebasan mereka yang lemah selalu terancam untuk dirampas oleh mereka yang kuat. Di bawah hukum rimba kaum minoritas tak pernah merasa aman dari ancaman hegemoni kaum mayoritas. Ibarat domba dan serigala yang dibiarkan bebas tanpa aturan, serigala sudah pasti akan memangsa domba tanpa ampun.

Untuk itu diperlukan hukum yang mengatur agar kebebasan seseorang atau kelompok orang tidak menjadi ancaman bagi kebebasan orang lain. Setiap umat beragama bebas dan berhak mempraktikkan ritus dan devosinya tanpa harus mendapat ancaman dari golongan lain. Namun kebebasan beragama tak pernah boleh menjadi faktor pembenar untuk melecehkan kebebasan dan hak orang lain untuk menggunakan jalan umum misalnya. Kualitas kehidupan religius kita sangat ditentukan oleh kadar toleransi dan sejauh mana kita mampu melindungi kelompok paling lemah atau terpinggirkan. Kesadaran bahwa jalan umum adalah public space yang boleh digunakan baik oleh orang saleh maupun para ateis merupakan kualitas kemanusiaan yang sudah seharusnya mendapat perhatian kaum religius.

Kehidupan bersama membutuhkan aturan main agar kebebasan dan hak setiap individu dan kelompok masyarakat dilindungi. Hukum yang rasional adalah hukum yang mampu melindungi dan mengatur kebebasan warga negara agar tidak menjadi ancaman bagi hak-hak orang lain. Tepat sekali jika Immanuel Kant mendefinisikan hukum sebagai 'rangkaian syarat-syarat, di dalamnya kesewenang-wenangan (Willkuer) seseorang dipertemukan dengan kesewenang-wenangan orang lain atas dasar undang-undang kebebasan yang berlaku umum" (Kant, 1965). Kebebasan saya menemukan batasnya ketika praktik kebebasan itu menjadi ancaman untuk kebebasan orang lain. Batasannya adalah hukum yang berlaku umum.

Motif utama pembentukan hukum dan negara ialah untuk memberikan perlindungan atas kebebasan individu. Hukum tersebut harus ditaati oleh semua. Dengan itu situasi hukum rimba dapat diakhiri dan umat manusia dapat memasuki wilayah juridical society, suatu masyarakat di mana keadilan dan hukum berdaulat. Hukum yang dikendalikan oleh rasio praktis manusia.

Juridical society hanya bisa dibangun jika agama-agama juga dapat mendefinisikan dan menempatkan diri secara tepat di tengah konteks sosial yang plural. Ruang publik selalu ditempati oleh macam-macam agama dan pandangan hidup. Konflik sosial akan muncul jika sebuah agama atau ideologi tertentu berambisi memonopoli seluruh public space yang plural tersebut. *

Dr. Otto Gusti Madung adalah Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores

(Artikel ini pernah dimuat di Pos Kupang edisi, Senin 30 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar