1 Juli 2009

Menjembatani Jarak antara Vatikan dan Asia

KOTA VATIKAN (UCAN) -- Vatikan dan negara-negara Asia “tidak banyak memberi perhatian satu sama lain,” demikian duta besar Jepang untuk Takhta Suci. Dia yakin bahwa kedua pihak akan sangat saling menguntungkan jika semakin saling terlibat.

Kagefumi Ueno dengan latar belakang pendidikan Tokyo dan Cambridge, yang mewakili negaranya untuk Takhta Suci sejak November 2006 itu, baru-baru ini berbagi pandangannya dengan UCA News di Roma.

Dia mengungkapkan pandangan serupa, walaupun mungkin kurang tajam, dalam sebuah kuliah pertengahan Mei, untuk para diplomat dari 16 negara Asia yang menghadiri sebuah kursus politik internasional Takhta Suci di Italia.

"Negara-negara Asia agaknya kurang memberi perhatian besar dalam hubungan mereka dengan Takhta Suci,” katanya, karena agama Kristen hanya minoritas kecil, dan umumnya dianggap “asing” di benua Asia yang dihuni dua pertiga penduduk dunia itu.

Sekarang ini, negara-negara Asia berikut ini mempunyai hubungan diplomatik dengan Takhta Suci: Bangladesh, Kamboja, India, Indonesia, Jepang, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Mongolia, Nepal, Pakistan, Singapura, Filipina, Korea Selatan, Sri Lanka, Taiwan, Tajikistan, Thailand, Timor Leste, Turkmenistan, dan Uzbekistan.

Tetapi hanya Indonesia, Jepang, Filipina, Korea Selatan, Taiwan, dan Timor Leste memiliki kedutaan dan duta besar di Roma.

Negara-negara yang berikut ini belum punya hubungan diplomatrik dengan Takhta Suci: Afghanistan, Bhutan, Brunei, Cina, Laos, Myanmar, dan Vietnam, sekalipun Vietnam agaknya akan memilikinya dalam waktu dekat.

Menurut Ueno, Takhta Suci hendaknya memudahkan negara-negara untuk memiliki duta besarnya di Roma dengan memodifikasi posisinya yang disepakatinya dengan Italia dalam Lateran Treaty tahun 1929, yang menyatakan bahwa sebuah negara tidak bisa memiliki duta besar yang sama untuk Italia dan Takhta Suci. Waktu telah berubah, katanya, dan secara ekonomis jelas itu lebih mudah bagi sejumlah negara jika mereka memiliki duta besar untuk Takhta Suci yang juga diakui untuk Italia dan begitu sebaliknya.

"Jika Anda memiliki seorang duta besar di Switzerland atau Paris, maka secara praktis – bukan teori – dia menyempatkan satu atau dua persen dari waktunya untuk Vatikan, tetapi jika duta besar itu berada di sini di Roma, maka sekalipun perhatiannya tersita pada hubungan dengan Italia, namun duta besar itu setidaknya menyempatkan 10 atau 20 persen dari perhatiannya untuk Vatikan,” katanya. “Jelas, saya kira Vatikan tidak senang mendengar pandangan ini, namun pandangan ini perlu diungkapkan!"

Ueno, yang mengaku sebagai seorang yang memiliki "filsafat Buddha-Shinto" itu, memberi sejumlah alasan mengapa negara-negara Asia hendaknya memiliki duta besar untuk Takhta Suci.

Yang pertama berhubungan dengan "kekuatan moral" dari Paus dan Takhta Suci.

Diplomat Jepang itu mengatakan, dia sangat terkesan segera setelah tiba di Roma ketika, bersama para duta besar lainnya dari 175 negara, dia mendengarkan Paus Benediktus XVI menyampaikan pesan Tahun Baru tentang situasi internasional. Paus menyinggung 45 "isu penting"mulai dari isu-isu global seperti kemiskinan, pelucutan senjata, penciptaan perdamaian, konflik, pemukiman kembali, hak asasi manusia, kelompok-kelompok minoritas, imigrasi, perubahan cuaca, sampai kepada isu-isu yang mempengaruhi Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan.

Ini hanya salah satu dari sejumlah besar pesan yang disampaikan paus setiap tahun, catat Ueno, "dan bahkan jika Anda membuang pesan-pesan keagamaan – yang negara saya sangat tidak berminat – masih ada banyak, banyak pesan yang sangat bernilai."

Duta Besar Ueno menyimpulkan bahwa "Paus – dan Takhta Suci – adalah semacam kebaikan publik" dari komunitas internasional. Paus “sangat menghargai” komunitas internasional karena “dia mengungkapkan nilai-nilai moral bahkan dalam bidang politik," dan "dapat mengatakan sesuatu yang bahkan melawan Washington atau Moscow atau Beijing."

"Suara moral paus, nilai moralnya diterima begitu saja oleh kaum Muslim dan Buddha serta Protestan dan Katolik, dan netralitas paus, dalam beberapa hal, juga diterima begitu saja. Itu penting,” lanjutnya.

"Tidak ada banyak orang yang bisa memainkan suatu peran demikian,” tegas Duta Besar Ueno.

Untuk alasan inilah, dia percaya "bahkan negara-negara Asia hendaknya memiliki kedutaan di sini untuk memantau apa yang dikatakan oleh Paus."

Alasan kedua yang saya kira dapat membenarkan negara-negara Asia untuk memiliki duta besar untuk Takhta Suci adalah "keterbukaan jaringan media Katolik" yang menyiarkan kata-kata Paus ke seluruh penjuru dunia, jauh melampaui kantor-kantor berita Barat yang besar yang sesungguhnya bisa melakukan itu. "Roma ini semacam pusat jaringan media yang sangat bagus," tegasnya, dan fakta ini juga dapat mendorong negara-negara Asia untuk menempatkan kedutaan mereka di sini.

Penyiaran pesan paus ke seluruh dunia merupakan satu hal, tetapi apakah kenyataannya para pemimpin dunia mendengarkan Paus dan memperhatikan apa yang dikatakan Paus? Duta besar Jepang itu percaya bahwa “untuk jangka pendek, jawabannya biasanya tidak, tapi untuk jangka panjang mungkin ya."

Duta Besar Ueno kenal dan sangat menyegani mendiang Stephen Kardinal Fumio Hamao asal Jepang, yang pernah mengepalai Dewan Kepausan untuk Pelayanan Pastoral bagi Migran dan Orang dalam Perjalanan, dan “dalam beberapa hal” menerima padangannya bahwa “jarak” antara Roma dan Asia tidak sekedar “bersifat fisik.”

Ueno sependapat dengan kardinal itu bahwa “setidaknya di Jepang, ada sejumlah unsur keagamaan, atau lebih tepat, unsur kebudayaan yang menghambat banyak orang Jepang menjadi Kristen atau Katolik." Duta besar itu mengatakan, Kardinal Hamao pernah mengklaim bahwa ada "cara-cara yang lebih fleksibel" untuk mengkomunikasikan Injil, dan menasehati agar "Vatikan hendaknya mempertimbangkan suatu pendekatan yang lebih fleksibel untuk orang Jepang dan bahkan untuk orang-orang Asia, sehingga situasi kultural menyangkut tempat lebih serius dipertimbangkan."

"Hamao berpendapat bahwa pendekatan fleksibel ini secara serius belum terjadi selama ini,” katanya. Namun, kardinal itu tidak sendirian dalam mengungkapkan hal ini, lanjut duta besar itu. Yang lain juga telah mengungkapkan pandangan serupa, termasuk novelis Katolik Jepang terkenal, Shusaka Endo (1923-1996), dan sejumlah pemimpin Gereja Katolik Jepang, seperti Uskup Agung Osaka Mgr Leo Ikenaga Jun.

Ueno, yang menulis sebuah buku tentang peradaban-peradaban, percaya bahwa Vatikan dapat menjembatani “jarak” dengan tanah airnya, Jepang, dengan memanfaatkan “banyak imam” dalam berbagai tarekat religius “yang bukan saja sangat baik tentang Jepang, tetapi juga diakui berpengetahuan mendalam tentang kebudayaan Jepang, sentimen-sentimen Jepang, dan sebagainya."

Vatikan sudah memiliki “banyak sumber daya manusia” dalam berbagai strukturnya, catatnya, “namun banyak dari mereka itu anggota tarekat religius” dan “tidak dimanfaatkan oleh Vatikan." Dia yakin, jika Vatikan memanfaatkan pengetahuan orang-orang ini, meminta nesehat-nasehat mereka, dan memilih “pendekatan yang lebih antropologis,” maka seluruh pendekatan Vatikan terhadap Jepang “mungkin diubah."

Dalam kenyatan aktual, sekalipun Ueno tidak mengatakan demikian, Vatikan sudah menggunakan pendekatan seperti itu terhadap Cina. Pada tahun 2007, Paus Benediktus membentuk Komisi Cina untuk memberi nasehat kepadanya menyangkut hal-hal terkait dengan situasi Gereja di Cina daratan, dan untuk komisi telah mengangkat bukan saja para pejabat Vatikan tetapi juga uskup-uskup Cina, sekalipun tidak ada satu pun uskup dari Cina daratan dan anggota tarekat religius yang pakar tentang Cina.

Jika Vatikan mengikuti apa yang diusulkan duta besar Jepang itu, maka Vatikan akan membentuk sebuah komisi serupa untuk Jepang, dan mungkin juga untuk negara-negara Asia lainnya. Ini bisa memiliki konsekuensi yang jauh untuk evangelisasi di Asia.

sumber: ucanews.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar