2 Juni 2009

Orang Muda Belajar Hadapi Konflik

HUA HIN, Thailand (UCAN) -- Setelah terjadi peningkatan gelombang kekerasan di Thailand, sebuah pusat Katolik menyelenggarakan sebuah program untuk menolong orang muda tahu tentang resolusi konflik.

Thailand dikenal sebagai "Land of Smiles" (negara yang bangsanya senantiasa melemparkan senyuman) yang secara tradisional tidak menyetujui konfrontasi. Namun, peristiwa-peristiwa belakangan ini memperlihatkan wajahnya yang bopeng.

Bangkok baru-baru ini dilanda kerusuhan ketika para pengunjuk rasa anti-pemerintah membakar bus-bus dan melancarkan serangan ke berbagai tempat di kota itu. Sementara itu, konflik yang pahit di tingkat bawah antara kelompok separatis Muslim dengan pemerintah masih berlanjut di bagian selatan yang setiap bulan pasti ada saja yang meninggal dunia.

Iklim ekonomi yang buruk juga mempengaruhi tatanan sosial.

Menghadapi berbagai kenyataan ini, Pusat Mahasiswa Katolik Thailand (CSCT, Catholic Student Center of Thailand) menyelenggarakan sidang nasional tahunan pada tahun ini dengan topik, "Conflik Management of Thailand, the role of Catholic Students” (Manajemen Konflik Thailand, Peran Mahasiswa Katolik).

Sidang tahunan pada 20-24 Mei itu diselenggarakan di Pusat Kaum Muda Don Bosco di Hua Hin, barat daya Bangkok. Pertemuan nasional itu diikuti oleh 85 mahasiswa dari 25 universitas dan sekolah tinggi di seluruh Thailand.

Moderator CSCT, Pastor Maharsono Probal SJ mengatakan kepada para peserta bahwa dia bermaksud mengajarkan keterampilan menangani konflik. Ini bisa menolong mereka menangani berbagai isu yang mereka hadapi dalam kehidupan keluarga, pekerjaan, dan kehidupan sosial.

Pertemuan mengkaji sejumlah situasi konflik. Salah satunya adalah friksi antara pemerintah dan komunitas Ban Krud, di Propinsi Prachuabkirikhan, dekat Hua Hin.

Tidak banyak orang di kerajaan ini tahu tentang komunitas Ban Krud hingga lima tahun lalu ketika pemerintah mengumumkan rencana untuk membangun sebuah pembangkit tenaga listrik di sana. Komunitas itu menentang rencana itu karena khawatir akan pencemaran udara dan laut yang diakibatkannya. Dengan penangkapan ikan skala kecil sebagai unsur utama ekonomi setempat, warga desa yang berjumlah lebih dari 10.000 jiwa itu khawatir akan mata pencarian mereka.

Beberapa LSM dan cendekiawan mendukung protes warga desa itu.

Pada akhirnya, pemerintah menunda proyek itu tanpa batas jelas, tetapi yang jelas setelah seorang pemimpin komunitas itu dibunuh. Charoen Wataksorn, 38, dibunuh oleh sejumlah pria bersenjata tak dikenal di luar rumahnya pada 22 Juni 2004.

Pastor Maharsono membawa para peserta sidang itu untuk bertemu dengan warga desa itu untuk tahu proses komunitas itu menangani situasi konflik. CSCT juga mengundang wakil walikota dari Propinsi Prachuabkirikhan dan kantor Industri Daerah itu untuk membahas apa saja yang menjadi rencana mereka untuk pembangunan.

Setelah mendengar sendiri dari para pelaku utama dari protes Ban Krud itu, para mahasiswa melanjutkan dengan sebuah proses lokakarya, yang melaluinya mereka bertindak sebagai penengah, setelah menganalisis persoalan dan memikirkan berbagai cara untuk menangani konflik itu.

"Kita harus mengikuti cara Yesus dan menolong orang-orang yang sangat rentan,” kata Nadruedee Soththinirundorn, mahasiswa kedokteran gigi tahun kedua dari Universitas Naresuan di Propinsi Pitsanulok. "Kita harus terlibat dalam pemecahan masalah dengan menggunakan keterampilan dan usaha apa saja yang kita miliki,” katanya.

Nadruedee menambahkan, ini merupakan pengalaman pertama baginya dalam sebuah lokakarya CSCT. "Ini sungguh mengubah sikap saya dan kini saya melihat berbagai hal dari perspektif yang berbeda. Semua orang butuh hal yang sama – dicintai dan dipahami sehingga bila terjadi konflik dengan teman, keluarga, dan masyarakat, kita perlu berusaha dan memahami kebutuhan-kebutuhan orang lain."

"Kita juga perlu melihat sisi baik mereka, maka kita bisa menangani konflik secara damai," katanya.

Nadruedee mengatakan, lokakarya itu memberinya kesempatan untuk refleksi diri.

"Saya dulu berbicara tanpa berpikir semestinya," katanya. "Saya sadar, ini bisa menimbulkan konflik. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk mengubah tingkah laku saya. Sekalipun saya tidak bisa melakukan apa-apa menyangkut berbagai masalah yang dihadapi warga desa itu, saya hendaknya tidak menciptakan konflik baru. Sejak sekarang, saya akan berusaha menyadari setiap kata yang saya ucapkan."

Sumber : ucanews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar