2 Januari 2010

SBY: Frans Seda Tokoh 3 Zaman

*Tokoh Kepercayaan Lima Presiden

Jakarta,KOMPAS - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan, almarhum Franciscus Xaverius Seda, dikenal sebagai Frans Seda, sebagai tokoh tiga zaman. Hal ini dikatakan Presiden seusai melayat di rumah duka Frans, Jumat (1/1) petang.

Frans Seda, mantan Menteri Keuangan dan Ekonom Senior, meninggal dunia, Kamis pukul 05.00, pada usia 83 tahun karena sakit. Jenazah akan dimakamkan Sabtu ini di Pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat, dan diberangkatkan dari Gereja Katedral Jakarta pukul 13.00. Uskup Agung Jakarta Julius Kardinal Darmaatmadja akan memimpin misa requeim.

Yohanes Temaluru dari keluarga Seda menyatakan, pemakaman akan berlangsung dalam upacara militer yang dipimpin Menteri Perhubungan Freddy Numberi. Misa tutup peti pukul 07.00. Jenazah Frans Seda juga akan diberikan penghormatan terakhir di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta.

Pemikir kritis

Presiden Yudhoyono menyatakan pula, ”Kita mengenal beliau tokoh tiga zaman. Beliau pernah menjadi menteri Bung Karno dan menteri di berbagai portofolio pada masa Pak Harto. Juga pada era reformasi, berkontribusi dalam pengembangan demokrasi dan pengembangan era baru ini.”

Menurut Presiden, Frans Seda adalah tokoh dan pemikir yang kritis, tetapi juga memberikan solusi untuk kepentingan pembangunan. Presiden berbelasungkawa atas wafatnya Frans Seda.

”Atas nama negara, pemerintah, dan pribadi, saya menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya tokoh bangsa. Semoga diterima di sisi Yang Maha Esa,” kata Presiden.

Presiden menambahkan, semua yang masih menjadi cita- cita Frans Seda adalah tanggung jawab semua pihak untuk mewujudkannya demi menuju masa depan yang lebih baik.

Secara terpisah, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri mengakui ada nasihat dari Frans Seda yang selalu diingatnya. ”Om Frans selalu bilang, saya enggak boleh menyerah,” ungkap Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu.
Megawati tiba di rumah duka di Pondok Indah, Jakarta Selatan, Jumat sekitar pukul 19.00. Ia mengaku merasa kehilangan Frans Seda, yang saat ini juga menjadi sesepuh PDI-P.

Megawati mengaku bertemu terakhir kali dengan Frans Seda saat Rapat Kerja Nasional PDI-P tahun lalu. Frans Seda masih bersemangat memberikan masukan bagi partai. Ia masih memiliki ingatan cukup tajam.

Selain Presiden dan Megawati, beberapa tokoh juga melayat di rumah duka. Mereka antara lain Wakil Presiden Boediono, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Pimpinan Kompas Gramedia Jakob Oetama, dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.

Try menyebut Frans Seda sebagai sosok yang selalu memikirkan ekonomi kerakyatan.
Boediono kepada Johanna Maria Pattinaja, istri Frans Seda, berujar, ”Negara merasa kehilangan, terutama atas jasa di bidang ekonomi. Tabah, ya, Bu.”

Menurut Wapres, Frans Seda adalah ekonom nasionalis yang mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kelompok dalam menjalankan tugas dan peran. Ia meminta semua komponen bangsa mencontoh hal itu untuk maju.

Mantan Wapres M Jusuf Kalla, yang sedang di Australia, Jumat, menyatakan duka mendalam atas berpulangnya Frans Seda. Frans Seda dikenalnya gigih dalam memperjuangkan kepentingan bangsa, khususnya pembangunan di wilayah timur Indonesia. ”Semangat hidup dan semangat memikirkan bangsa ini luar biasa. Kadang kala semangatnya itu berlebihan untuk orang seusia dia,” kata Kalla.

Kalla mengisahkan suatu peristiwa dua tahun silam. Dengan menggunakan kursi roda, Frans Seda mengunjunginya di Istana Wapres. Frans Seda bicara soal utang Pemerintah Indonesia yang terlalu besar dan menawarkan diri untuk membicarakan soal itu dengan koleganya di Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.
”Saya bilang, kolega Bapak di sana tentu sudah pensiun. Jadi, Bapak istirahat saja, jaga kesehatan dengan baik,” kata Kalla waktu itu.

Pendiri ”Kompas”


Selain di bidang kenegaraan, Frans Seda turut berperan dalam kelahiran harian Kompas, 28 Juni 1965, bersama PK Ojong dan Jakob Oetama. Jakob menyebutkan, almarhum merupakan sosok yang tidak pernah membosankan untuk diajak berdiskusi.

”Orangnya tegas, pandai. Saya kenal lama. Pak Frans juga salah satu pendiri Kompas yang selalu menulis tentang keresahan di negeri ini,” ujar Jakob Oetama.

Jakob mengakui terakhir bertemu Frans Seda sekitar setengah tahun lalu saat ia berkunjung ke Kompas. ”Itu hanya sebentar. Beliau sudah sulit bicara,” ujarnya.
Sebagai pejabat negara, Jakob menambahkan, Frans Seda adalah sosok yang tak pernah membedakan daerah satu dengan yang lain. ”Beliau selalu memerhatikan semua daerah, infrastruktur yang rusak diperbaiki, dan tidak ada diskriminasi,” katanya.

Lima presiden

Frans Seda meninggalkan seorang istri dan dua anak, Francisia Saveria Sika Seda dan Yoanesa Maria Yosefa Seda. Frans Seda yang dilahirkan dari pasangan Paulus Setu Seda dan Sipi Soa Seda, 4 Oktober 1926, di Lekebai, Desa Bhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, Flores, sekitar 30 kilometer sebelah barat Kota Maumere, pernah menjadi Menteri Perkebunan (1966), Menteri Pertanian (1966), Menteri Keuangan (1967), dan Menteri Perhubungan (1968).

Selain itu, ia juga menjabat Penasihat Ekonomi untuk tiga presiden, yaitu BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, dan Megawati. Artinya, Frans Seda pernah membantu lima presiden di negeri ini.

Guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis-Suseno, yang juga melayat ke rumah duka, mengatakan, Frans Seda adalah tokoh bangsa yang nasionalis, melintasi batas agama. ”Umat Katolik banyak belajar dari beliau. Ia juga menjadi orang kepercayaan presiden pertama sampai kelima,” katanya.

Magnis mengaku sering bertemu Frans Seda. ”Kita memerlukan orang nasionalis seperti Pak Frans Seda,” ujarnya.

Yohanes Temaluru menceritakan, November lalu, Frans Seda sempat dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah karena tenggorokannya sakit sehingga tidak bisa menelan makanan. ”Kira-kira dua minggu di RS, kemudian pulang dan menjalani fisioterapi seperti biasanya. Saat Natal lalu, beliau sempat merayakan bersama keluarga,” katanya.

Yohanes mengakui, sakit yang diderita Frans Seda akibat usia yang kian tua. Ketika Presiden Republik Indonesia (1999-2001) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga teman dekat almarhum, wafat, Frans Seda tak diperbolehkan melihat televisi.
”Kami khawatir Pak Frans Seda akan meminta diantar melayat Gus Dur. Padahal, kondisi kesehatan tidak memungkinkan. Jadi, sampai akhir hayatnya, beliau tak tahu kabar Gus Dur meninggal,” ungkap Yohanes.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengutarakan, Frans Seda sebagai tokoh yang pluralis, fleksibel, dan terbuka. Begitu pula mantan Menteri Agama Tarmizi Taher menilai Frans Seda merupakan sosok yang bisa berkomunikasi dengan semua orang tanpa melihat dari mana asalnya. ”Beliau menginginkan umat beragama menjadi satu,” katanya.

Mari Pangestu juga mengaku sangat mengagumi Frans Seda.
(sie/dis/day/Kompas.com/ ryo/ham/sem)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar