3 April 2009

Paus Desak Pemimpin G-20 Prioritaskan Etika, Keprihatinan Manusia

Oleh Gerard O'Connell, Koresponden Khusus di Roma


KOTA VATIKAN (UCAN) -- Paus Benediktus XVI mengatakan bahwa satu-satunya jalan keluar dari krisis ekonomi global adalah melalui upaya bersama, yang didasari sikap etik, dengan menghindari "kepentingan diri yang bersifat nasionalistik" dan memperhatikan "suara-suara dari seluruh negara," bahkan negara termiskin.

Pada malam 31 Maret, Takhta Suci mengeluarkan teks dari surat Paus kepada tuan rumah pertemuan puncak G-20, Perdana Menteri Inggris Gordon Brown, dan tanggapan Brown. Pertemuan puncak, yang diadakan di London itu, akan berlangsung 2-3 April.

Paus itu bercerita bahwa dalam pertemuan mereka baru-baru ini di Vatikan, Brown menjelaskan bahwa pertemuan puncak itu dimaksud “untuk berkoordinasi, karena adanya situasi darurat, aturan-aturan yang perlu untuk menstabilkan pasar uang dan memberdayakan perusahaan-perusahaan dan keluarga-keluarga dalam situasi periode resesi mendalam ini.”

Gereja Katolik menghargai keyakinan yang di-sharing-kan peserta “bahwa jalan keluar dari krisis global sekarang ini hanya dapat dicapai bersama, dengan menghindari berbagai solusi proteksionisme dan kepentingan diri sendiri yang bersifat nasionalistik,” kata Paus.

Selama kunjungannya pada pertengahan Maret ke Afrika, katanya, ia melihat “realitas kemiskinan dan marjinalisasi yang luar biasa, di mana krisis itu berdampak sangat dramatis.”

Namun, hanya negara-negara maju dan sedang maju yang diundang ke pertemuan puncak itu, sementara sub-Sahara di Afrika akan diwakili oleh satu negara, lanjutnya. Dia mendesak para peserta untuk merenungkan fakta bahwa “mereka yang suaranya kurang kuat dalam kancah politik adalah mereka yang sangat menderita akibat dampak krisis yang mereka sendiri tidak merasa bertanggungjawab.”

Paus mendesak para pemimpin G-20 untuk “melihat mekanisme dan struktur multilateral” dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) “guna mendengar suara-suara dari semua negara.”

G-20 merupakan kelompok informal dari 20 ekonomi terbesar dunia -- 19 negara ditambah Uni Eropa. Anggotanya dari Asia terdiri dari Cina, India, Indonesia, Jepang dan Korea Selatan.

Kelompok itu mencakup dua pertiga penduduk dunia, 90 persen dari produksi kotor, dan 80 persen dari perdagangan dunia.

Paus Benediktus melihat asal mula krisis finansial adalah tidak adanya kepercayaan dalam sistem finansial, "khususnya karena merosotnya tindakan etis yang benar." Mengamati bahwa "iman buta" dalam sistem-sistem buatan manusia dapat mengakibatkan kehancuran diri mereka sendiri, ia mengusulkan "iman dalam pribadi manusia" sebagai prinsip dasar.

“Semua langkah diperlukan untuk mengatasi krisis ini yang harus dicari, terutama memberikan keamanan bagi keluarga-keluarga dan stabilitas bagi para pekerja dan, melalui regulasi dan kontrol yang sesuai, memulihkan etika untuk dunia finansial,” pesannya.

Dengan mengutarakan pandangan yang pasti akan muncul dalam ensiklik sosialnya yang pertama, paus yang teolog itu mengingatkan para pemimpin G-20 bahwa “sebuah unsur penting dari krisis ini adalah defisit di bidang etika dalam struktur ekonomi.” Krisis global ini mengajarkan kita bahwa “etika bukan bersifat ‘eksternal’ bagi ekonomi, tapi ‘internal’ dan bahwa ekonomi tidak bisa berfungsi kalau tidak ada unsur etika di dalamnya.”

Karena negara-negara yang lebih kaya tidak lagi membantu negara-negara yang lebih miskin, ia juga meminta para pemimpin G-20 menyadari bahwa bantuan pembangunan dan pembatalan hutang luar negeri dari negara-negara miskin “bukan merupakan akar penyebab krisis dan, sekalipun tidak ada keadilan fundamental, negara-negara miskin tidak harus menjadi korban.”

Paus menyarankan “suatu upaya penguatan yang baik dan berani dari kerjasama internasional, yang mampu meningkatkan suatu pembangunan yang benar-benar utuh dan manusiawi,” sebagai cara mengatasi krisis saat ini.

Namun ia kembali menekankan pandangannya bahwa “iman positif dalam pribadi manusia, dan yang terpenting iman dalam diri kaum miskin - dari Afrika dan wilayah lain di dunia yang sangat menderita kemiskinan,” bagaimanapun diperlukan untuk mengakhiri berbagai krisis seperti ini.

Bersama “penganut-penganut dari berbagai agama dan budaya,” paus menegaskan bahwa ”penghapusan kemiskinan yang luar biasa pada tahun 2015, yang telah menjadi komitmen para pemimpin dalam Pertemuan Puncak Milenium PBB sendiri, tetap menjadi salah tugas terpenting di masa kita ini.
2009-4-1 ZY06973.636b 581 kata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar