11 Desember 2009

Cara Baru Meng-Gereja

Oleh Virginia Saldanha

MUMBAI, India (UCAN) -- Saat orang merayakan 20 tahun runtuhnya Tembok Berlin pada November 1989, berita penuh dengan kenangan euforik serta analisa kritis. Uskup Agung Berlin, Georg Kardinal Maximilian Sterzinsky mengatakan bahwa masih ada banyak perbedaan fundamental menyangkut berbatasan bekas Jerman Timur-Barat itu.

Orang dari Jerman Barat “jauh lebih individualistik dalam cara mereka berpikir dan bagaimana mereka mengungkapkan dirinya," demikian pengamatan kardinal itu. Sebaliknya, "orang dari Jerman Timur memiliki cara merasa dan berpikir yang lebih bersifat kolektif."

Banyak orang di Asia akan membuat pembedaan serupa antara Timur dan Barat pada atlas dunia. Di Timur, kita berpikir dalam term keluarga dan komunitas, sementara orang Barat agaknya lebih individualistik. namun, ini sedang berubah.

Generasi tua di Barat merindukan keluarga dan komunitas, sementara media dan pasar mempengaruhi dunia melebihi para tokoh anggota e-generasi yang lebih muda dalam membuat pilihan menyangkut tantangan pastoral yang lebih besar.

Membaca tanda-tanda zaman menjelang akhir abad ke-20 – individualisme dan materialisme yang berkembang – selagi menyusuri jalan pengabdian dari dialog iman rangkap tiga dengan realitas ekonomi, kebudayaan, dan agama-agama lain, Sidang Umum ke-5 FABC tahun 1990 mengartikulasikan visi mereka bagi Gereja di Asia. FABC melihat sebuah Gereja yang partisipatoris dan turut bertanggung jawab sebagai sebuah persekutuan dari komunitas-komunitas.

Sejumlah anggota konferensi-konferensi yang termasuk dalam FABC menjadikan visi itu suatu "Cara Baru Meng-Gereja" sebagai preferensi pastoralnya. Sejalan dengan ini, kantor AsIPA (Asian Integrated pastoral Approach), bagian dari Kantor FABC untuk Keluarga dan Kaum Awam, sibuk mengadakan berbagai program pelatihan dan penciptaan modul-modul untuk digunakan oleh para penggerak Komunitas Basis Kristiani (SCCs, Small Christian Communities) dan Komunitas Basis Gerejani (BECs, Basic Ecclesial Communities).

India telah menggunakan AsIPA sebagai DIIPA (Developing and Indian Integral Pastoral Approach). Dan Uskup Auksilier Bombay Mgr Bosco Penha mengembangkan sebuah pendekatan lain di keuskupan agungnya. Pendekatan itu dibagikan dengan keuskupan-keuskupan lain dan negara-negara lain.

Di Filipina, Bukal ng Tipan (mata air perjanjian), sebuah pusat yang mempromosikan keterlibatan umat awam dalam Gereja, telah memasukan metodologinya sendiri agar cocok dengan lingkungan setempat, dengan memperhatikan BECs di Filipina sebelum munculnya AsIPA.

"Pengalaman pribadi saya berdasarkan sejumlah kunjungan ke Jerman, serta hidup di Eropa bersama keluarga para putri saya, memberikan saya suatu perasaan yang kuat bahwa suatu gerakan yang disesuaikan dengan SCC dapat menghidupkan kembali iman umat di sana."

Ketika kita mengakhiri Sidang Umum AsIPA ke-5 baru-baru ini di Davao, Filipina selatan, kehadiran sejumlah besar para pemimpin BEC setempat mengingatkan kami bahwa benih BECs/SCCs diteburkan lebih dahulu di wilayah ini 40 tahun lalu. Itu semua merupakan suatu tanggapan terhadap krisis politik yang menggerogoti Filipina selama kekuasaan teror dari Marcos. Komitmen profetik dari para pemimpin perintis BEC waktu itu tidak boleh dilupakan.

Dewasa ini, struktur-struktur Cara Baru Meng-Gereja terlaksana. Umat yang terlibat menghargai peran mereka karena menjadi bagian dari Gereja ini. Perubahan dari fokus individualistik tempo dulu yaitu menyelamatkan jiwa sendiri berubah menjadi menghidupi komunitas iman. Perubahan ini diterima dan dihargai.

Perubahan merupakan proses yang memerlukan waktu dan kesabaran. Ada sejumlah kisah sukses tentang iman yang hidup dalam SCCs yang terus memberi pengharapan dan kehidupan untuk gerakan ini di Asia.

Dengan proyek AsIPA, melalui asosiasi badan Gereja Jerman “Missio,” Gereja di Jerman akhirnya tertarik dengan cara baru meng-Gereja ini. Sepuluh peserta Eropa dari Jerman, Swiss, dan Inggris hadir dalam Sidang Umum itu untuk belajar bagaimana mereka dapat menyesuaikan pendekatan pastoral ini untuk situasi mereka sendiri, yang semakin bersifat lintas agama dan lintas budaya. Menarik untuk dicatat bahwa ada “misi yang berubah arah” - dari Timur ke Barat - dalam Gereja.

Pengalaman pribadi saya berdasarkan sejumlah kunjungan ke Jerman, serta hidup di Eropa bersama keluarga para putri saya, memberikan saya suatu perasaan yang kuat bahwa suatu gerakan yang disesuaikan dengan SCC dapat menghidupkan kembali iman umat di sana.
Karena berasal dari India, saya melihat adanya nilai-nilai Kristen yang kuat yang mendukung masyarakat Eropa.

Individualisme dan materialisme agaknya mengikis nilai-nilai ini, namun saya kira umat ingin meningkatkan persahabatan. Mereka butuh satu sama lain, namun khawatir melanggar "garis privacy yang sakral."

Persoalan besar yang perlu dijawab di Barat adalah: Di mana privacy itu berakhir dan komunitas ini berawal? Ketika anak-anak masih kecil, ketika orang menjadi renta dan dalam krisis, ketika kita ingin berpesta dan berkabung, kita butuh komunitas.

Gereja menjamin komunitas. Tetapi komunitas ini perlu dikembangkan melampaui “tembok-tembok” Gereja. Zaman telah berubah. Gereja harus mengakui, dia bisa berharap bahwa generasi muda sekarang ini kembali ke model Gereja yang lama. Cara-cara lama dalam memikirkan dan mengoperasikan sebuah paroki itu justru membentuk sebuah Tembok Berlin konseptual yang perlu dirobohkan sehingga umat dapat menghayati iman mereka sedemikian rupa yang lebih sesuai dengan zaman hidup mereka.

Ada kekecewaan yang sedang meningkat di kalangan umat awam menyangkut kualitas para imam. Para gembala ini bisa menjadi orang-orang yang mengeluarkan orang muda dari Gereja di Asia. SCCs atau Komunitas-Komunitas Iman bisa membantu mempertahankan orang-orang muda di dalam Gereja.

Yang menonjol di antara berbagai kualitas orang muda di mana saja adalah kejujuran dan keinginan besar untuk keluar menolong orang lain. Ini merupakan kualitas yang dibutuhkan dalam membangun dan memelihara komunitas. Jika dimanfaatkan secara kreatif, Gereja baik di Timur maupun di Barat dapat menjadi sumber yang memberi semangat pada iman yang hidup.
"Cara lama dalam memikirkan dan mengoperasikan sebuah paroki itu justru membentuk sebuah Tembok Berlin konseptual. Ini perlu dirobohkan sehingga umat dapat menghayati iman mereka sedemikian rupa yang lebih relevan dengan zaman hidup kita."

Gereja perlu menaruh minat yang lebih besar terhadap pendidikan kaum awam dengan menyisihkan sumber dana dan sumber daya. Pada saat pedoman dibuat sesuai tempat, kaum awam yang dibina secara memadai dalam bagaimana menghayati imannya perlu diandalkan untuk menjalankan tugas. Mereka dapat menghayati iman mereka di dalam komunitas mereka tanpa dimonitor setiap saat apakah mereka melakukan hal yang benar atau salah. Ini akan terus dibutuhkan baik di Timur maupun Barat, yang panggilan imamat mengalami kemunduran.

Gerakan SCC/BEC di Asia akan maju berkat kaum awam, terutama kaum perempuan di akar rumput. Di keuskupan-keuskupan yang tidak memiliki cukup imam, para penggerak awam ini menjadi iman komunitas tetap hidup dan melayani kebutuhan-kebutuhan pastoral, dengan cukup imam datang untuk merayakan Ekaristi secara tetap.

Dikatakan bahwa runtuhnya Tembok Berlin bukanlah suatu aksi yang direncanakan, itu spontan terjadi. Namun kerinduan mendalam roh manusia di kedua sisi untuk melihat tembok itu roboh tidak bisa diperdebatkan. Kerinduan itu kemudian bertumbuh menjadi suatu gerakan yang dipahami sebagai isyarat untuk aksi.

Hal serupa dapat diharapkan bahwa kerinduan besar dalam hati manusia di seluruh dunia untuk membangun suatu tata dunia yang baru, akan berkembang menjadi suatu gerakan yang menciptakan perubahan yang diinginkan untuk menjadikan Cara Baru Meng-Gereja itu suatu realitas!

---------
Virginia Saldanha tinggal di Mumbai, India. Dia adalah sekretaris eksekutif Kantor Keluarga dan Awam FABC, dan mantan sekretaris eksekutif Komisi Perempuan dalam Konferensi Waligereja India.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar