11 Desember 2009

Kehidupan di Garis Depan Perubahan Iklim

Komentar UCAN


Brie O'Keefe, pejabat program aksi untuk Progressio, sebuah badan amal internasional dengan akar-akar Katolik yang berbasis di London, mengatakan, Asia berada dalam posisi yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim. Dia mendesak negara-negara kaya untuk segera bertindak guna mengurangi emisi karbon global dan menolong negara-negara miskin untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim sebagai hal yang mendesak.


LONDON (UCAN) -- Para pemimpin dunia, aktivis, pelayan masyarakat, kaum muda, perempuan, dan pemimpin agama memadati dengan ribuan kemah untuk mengambil bagian dalam pertemuan di Copenhagen yang menurut pakar ekonomi Inggris Lord Stern merupakan "pertemuan terpenting sejak Perang Dunia Kedua."

Sementara pemerintah-pemerintah berusaha mengambil langkah-langkah untuk mengurangi tingginya temperatur global yang direkomendasikan oleh para ilmuwan, di bagian lain dunia sudah berhadapan dengan fakta bahwa perubahan iklim sudah mulai terjadi. Dan tidak ada tempat lain yang merasakan hal ini lebih genting ketimbang sejumlah tempat di Asia.

Dalam hampir semua pembicaraan tentang perubahan iklim yang diselenggarakan pada bulan November di Barcelona, Spanyol, Joseph Hadler dari NGO Forum for Drinking Water Supply and Sanitation di Bangladesh berbicara tentang apa yang sudah dialami negaranya.

"Saya berada di sini sebagai korban perubahan iklim, negara saya kini sedang menghadapi banyak persoalan semacam itu sekarang ini dan berbagai persoalan itu sangat diakibatkan oleh perubahan iklim. Kini sepanjang tahun kami menghadapi situasi angin ribut,” kata Hadler.

Walaupun di media dan lainnya, banyak orang memperdebatkan ilmu di balik perubahan iklim, fakta berbicara sendiri. Dua peristiwa angin topan telah menghantam Bangladesh dalam tiga tahun terakhir.

Dua kali angin topan yang luar biasa itu telah menghancurkan infrastruktur dan kehidupan manusia di banyak bagian wilayah pesisir Bangladesh, jelas Hadler.

Masuknya air laut ke daratan juga biasa terjadi. Karena air asing masuk ke daratan, tanaman produktif rusak.

Intergovernmental Panel on Climate Change, badan yang bertugas untuk mengakses resiko-resiko seputar pemanasan global, memperkirakan bahwa karena lebih banyak karbon mencemarkan atmosfir, cuaca ekstrim seperti angin topan menjadi lebih sering dan lebih intens terjadi.

Namun yang diinginkan Hadler – seperti yang juga diinginkan banyak lembaga swadaya masyarakat yang menghadiri pembicaraan-pembicaraan di Copenhagen pekan ini – tidaklah sekedar menghasilkan daftar prediksi bagaimana hal-hal buruk akan terjadi, tetapi aksi konkret:

"Saya di sini justru untuk menyadarkan dunia bahwa saya ini korban, negeri saya menjadi korban, dari apa yang sedang kami hadapi dan berbagai alasan di balik semua itu. Para pemimpin (dunia) harus memikirkan semua ini dan melakukan sesuatu bagi negara-negara korban seperti Bangladesh."

Sebagai sebuah benua, Asia berada pada tempat yang sangat menderita akibat dampak perubahan iklim. Di banyak negara tempat Progressio berkarya, seperti Timor Leste, yang 80 persen orang mudanya menganggur dan 40 persen penduduknya hidup kurang dari satu dolar per hari, sumber daya yang tersedia hanya sedikit untuk bisa menunjang proyek-proyek yang akan melindungi mereka dari masa depan lingkungan hidup yang berubah yang diprediksi sains.

Sesungguhnya, isu adaptasi, bagaimana komunitas-komunitas bisa “beradaptasi” untuk membuat mereka mampu menghadapi dampak perubahan iklim, menyoroti satu dari berbagai poin penting menyangkut negosiasi-negosiasi iklim internasional yang diadakan hingga saat ini - tanggung jawab sejarah.

Ini merupakan suatu ironi yang aneh bahwa negara-negara itu umumnya bertanggungjawab karena penciptaan perubahan iklim akan menjadi yang terakhir karena konsekuensi-konsekuensi perubahan iklim itu sendiri, yang membuat negara-negara miskin dipersalahkan karena mengabaikan usaha untuk menghadapi perubahan iklim.

Juga, banyak pemerintah dari negara-negara maju menolak permintaan disisihkannya dana adaptasi perubahan iklim di negara-negara termiskin di dunia. Negara-negara maju lebih suka menggunakan bantuan internasional untuk memerangi kemiskinan dan serempak mengurangi emisi karbon di negara-negara sedang berkembang.

Para pemimpin Gereja kembali menyuarakan bantuan internasional untuk mulai memperhatikan planet bumi secara berkelanjutan. Dalam pertemuan tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perubahan iklim yang pernah diadakan di New York pada bulan September, Paus Benediktus XVI berbicara dalam sebuah pesan lewat video tentang tanggung jawab kita untuk memperhatikan bumi.

"Lingkungan hidup ini dianugerahkan Allah untuk semua orang, maka pemanfaatannya menyiratkan tanggungjawab pribadi terhadap kemanusiaan secara keseluruhan, khususnya terhadap kaum miskin dan terhadap generasi-generasi mendatang,” katanya.

"Biaya sosial dan ekonomi dari pemborosan sumber daya bersama harus diakui secara transparan dan ditanggung oleh mereka yang melakukannya, bukan oleh orang lain atau generasi-generasi mendatang. Pelestarian lingkungan hidup, dan perlindungan sumber daya iklim, mewajibkan semua pemimpin untuk bertindak secara bersama, dengan menghormati undang-undang dan dengan meningkatkan solidaritas dengan berbagai kawasan dunia yang paling lemah."

Sekalipun ada banyak himbauan seperti itu, masih saja ada berbagai hambatan politik yang menghambat tindakan cepat menyangkut perubahan iklim.

Copenhagen, kata para aktivis, merupakan kesempatan terbaik kita untuk membuat kesepakatan, tetapi mungkin bukan kesempatan terakhir. Perubahan iklim tidak segera lenyap begitu saja, tetapi keputusan-keputusan yang dibuat sekarang akan menjadi acuan seberapa baik kita menghadapi hal itu di tahun-tahun mendatang.

Di Barcelona, Hadler berbicara tentang desa-desa di seluruh Bangladesh yang rusak dan dipindahkan ke pedalaman untuk menghindari masuknya air laut ke daratan.

"Saya ingin memperingatkan para pemimpin dunia,” katanya. “Kita tidak bisa lagi menggali kuburan di desa-desa kami, karena sudah berada di bawah laut, maka kami memindahkan jenazah-jenazah ke tempat lain untuk mengebumikan mereka. Inikah masa depan kita?"

Jika negara-negara kaya tidak bertindak sekarang untuk mengurangi emisi karbon dan untuk membantu negara-negara miskin menyesuaikan diri sebagai hal yang mendesak, maka kisah seperti yang dituturkan oleh Hadler akan juga menjadi umum. Itulah sebabnya pertemuan Copenhagen harus berhasil. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar