11 Desember 2009

Dialog Antaragama Harus Melibatkan Kelompok Radikal

VATIKAN (UCAN) -- Para tokoh Muslim, yang bertemu dengan Jean-Louis Kardinal Tauran, ketua Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama, ketika dia berkunjung ke Indonesia, menunjukkan ketekadan untuk membentuk hubungan lintas agama yang kuat, kata seorang anggota dewan itu.

Namun, Pastor Markus Solo SVD, seorang imam Indonesia yang bekerja di seksi Dialog Kristen-Muslim Asia di dewan itu, berpendapat bahwa dialog lintas agama di Indonesia mesti juga melibatkan kelompok-kelompok radikal.

Dalam komentar untuk UCA News ini, dia juga mengatakan bahwa pernyelesaian berbagai persoalan yang melibatkan kelompok-kelompok semacam itu hanya bisa terlaksana dalam kelompok agama mereka masing-masing.

Pastor Solo menemani Kardinal Tauran dalam kunjungan resmi kardinal itu ke Indonesia dari 24 November hingga 1 Desember.


Berikut ini adalah refleksi-refleksi imam itu:


Pertama-tama, saya ingin menjelaskan bahwa Jean-Louis Kardinal Tauran dan saya datang ke Indonesia atas nama Takhta Suci dan itu berarti mewakili Gereja Katolik Roma universal. Ini harus dikatakan sehingga bisa membantu kaum Muslim membedakan umat Katolik dari umat Protestan. Patut disayangkan bahwa banyak kaum Muslim di Indonesia masih tidak bisa membedakan antara keduanya, dan ini terkadang menimbulkan salah pengertian dan menciptakan persepsi keliru.

Ketika menjadi Ketua Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama (PCID, Pontifical Council for Interreligious Dialogue) tahun 2007, Kardinal Tauran mengungkapkan keinginannya untuk mengunjungi Indonesia.

Dia tahu dengan baik bahwa dialog dengan kaum Muslim tidak bisa mengabaikan Indonesia karena beberapa alasan. Pertama, Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia – 22 persen penduduk Muslim dunia. Kedua, Indonesia mengalami ketegangan-ketegangan lintas agama antara Kristen dan Muslim, terutama setelah pemerintahan Soeharto (1966-98).

Krisis sosial-ekonomi 10 tahun terakhir telah menimbulkan sentimen-sentimen agama dan memperburuk hubungan Kristen-Muslim di sejumlah tempat di Indonesia. Konflik-konflik berdarah dengan motif agama di sejumlah tempat seperti Jawa, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan berdampak negatif terhadap hubungan Kristen-Muslim walaupun kenyataannya konflik-konflik ini bukan konflik agama. Hubungan-hubungan yang buruk itu menimbulkan kecurigaan dan prasangka selama bertahun-tahun, dan ini tercermin dalam ketakutan terhadap misi dan evangelisasi, dalam larangan pembangunan tempat-tempat ibadat, dan sebagainya.

Namun harus diakui bahwa hanya segelintir kelompok yang menggunakan agama untuk suatu agenda tertentu – baik itu bersifat politik maupun agama – dan menimbulkan berbagai masalah dan kekacauan di seluruh negeri. Namun, berkat Tuhan, mayoritas umat Kristen dan kaum Muslim adalah orang-orang yang berkehendak baik yang moderat dan berpikiran terbuka terhadap pluralitas yang merupakan bagian integral dari realitas di Indonesia.

Vatikan sadar akan situasi hubungan Kristen-Muslim di Indonesia, dan tahu baik buruknya. Karena alasan-alasan inilah, Kardinal Tauran senang mewujudkan keinginannya untuk mengunjungi Indonesia dan bertemu dengan para tokoh Muslim serta para pemimpin resmi agama-agama lainnya.

Kardinal Tauran dan saya mengadakan serangkaian pertemuan dengan para tokoh Muslim di Masjid Istiqlal, Wahid Institute, organisasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di Jakarta; di Denpasar di Bali, Makassar di Sulawesi; dengan Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga dan Sultan di Yogyakarta; dan di DEPLU (Departemen Luar Negeri) di Jakarta.

Dari pembicaraan-pembicaraan ini, saya setulusnya mengatakan bahwa semua tokoh Muslim dan berbagai rekan yang kami temui dalam kunjungan itu memperlihatkan kehendak baik dan kesiapan untuk bekerja sama dengan umat Kristen guna menciptakan landasan hubungan antaragama yang mantap, kuat dan moderat di Indonesia. Kehendak baik ini juga membuka kemungkinan untuk melibatkan kelompok-kelompok radikal dan fundamentalis. Ini merupakan suatu perkembangan penting yang muncul dari pengalaman-pengalaman masa krisis hubungan antaragama beberapa tahun terakhir.

Ada semacam keinginan dan kesadaran baru untuk menciptakan suatu tatanan baru dan untuk memberi suatu wajah baru Indonesia yang rukun dan damai. Ini pasti akan menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Namun saat kekuatan moderat – yang terdiri dari orang-orang yang berkehendak baik di seluruh negeri – terbentuk dan didukung oleh persahabatan yang jujur, tulus, dan penuh penghormatan, maka Indonesia akan mampu memerangi terorisme dan kelompok-kelompok radikal yang bertindak membabi-buta dan memperalat agama untuk tujuan terselubung yang pada dasarnya bertentangan dengan kepentingan bersama masyarakat.

Kardinal Tauran mendukung hal ini dan di berbagai tempat menyoroti pentingnya Pancasila, falsafah yang kuat dan mendasar, yang menjadi kekayaan tersendiri dari Indonesia. Pancasila, yang menjadi simbol penting pemersatu kebhinekaan bangsa, harus dihidupkan kembali dan dihormati oleh segenap masyarakat Indonesia tanpa mempedulikan agama, kebudayaan, suku, dan sebagainya.

Ketika menekankan pentingnya Pancasila, Kardinal Tauran mengatakan dengan tegas kepada mereka yang bertemu dengannya bahwa dia berdoa semoga Pancasila akan senantiasa menjadi landasan dan falsafah yang mendasari hak dan tanggungjawab segenap warga negara dalam memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bersama.

Juga perlu dikatakan bahwa dalam kedua agama [Kristen dan Islam] ada kesamaan pandangan dan gagasan tentang perdamaian dan kerukunan, seperti telah disampaikan dalam berbagai sambutan dan pembicaraan. Perdamaian itu bukan sekedar tidak ada perang dan teror, tetapi merupakan rangkuman berbagai kebaikan, terutama keamanan. Perdamaian merupakan buah keadilan. Sebaliknya, perang dengan segala rentetan kekejaman yang memilukan, merupakan salah satu tragedi terburuk yang dapat terjadi di berbagai bangsa dan komunitas. Perdamaian bertumbuh bagaikan suatu tanaman berharga. Dia butuh perawatan terus menerus. Manusia perlu mempromosikan budaya perdamaian di mana saja dan kapan saja.

Perdamaian yang nyata memiliki tiga hal fundamental: transformasi dari toleransi ke cinta, saling menghormati, dan kerja sama. Indonesia telah bertahun-tahun mempraktekkan toleransi. Namun toleransi juga memiliki konotasi negatif. Dia mengandaikan bahwa mereka yang perlu dan mesti ditolerir adalah mereka yang salah dan mengganggu. Toleransi dalam kebersamaan antaragama di Indonesia mungkin menimbulkan salah pengertian bahwa agama-agama yang bukan agama seseorang itu salah, dan karena itu harus ditolerir. Kita mengoreksi semua salah pengertian, praduga, dan kecurigaan ini dengan mencintai satu sama lain sebagai saudara yang memiliki satu bangsa, satu negara, satu bahasa, dan kekayaan budaya Indonesia.

Sekarang, bagaimana orang Indonesia memenuhi hal ini?

Pertama, umat Kristen dan kaum Muslim – dan segenap masyarakat Indonesia – mesti memiliki dan memastikan adanya kekuatan masyarakat yang berkehendak baik. Mereka mesti membentuk landasan bagi masyarakat yang moderat dan berpikiran terbuka di seluruh negeri untuk bekerja sama secara nasional dalam sebuah jaringan yang dapat meminimalkan pengaruh kelompok-kelompok radikal dan mempromosikan sebuah Indonesia yang rukun dan damai di dunia.

Kedua, Indonesia mesti mengembangkan dirinya sendiri berlandaskan kebudayaan aslinya sendiri, yang menghormati kejujuran, ketulusan, kerukunan, gotong royong, keramahan, kesopanan, dan tidak memaksakan atau bahkan mengagung-agungkan kebudayaan asing, yang hanya akan menimbulkan perpecahan dari apa yang telah menjadi bagian integral dari identitas Indonesia. Umat Kristen dan kaum Muslim di Indonesia mesti secara bersama berjuang untuk menghayati dan mengamalkan iman mereka secara Indonesia sehingga rasa memiliki sebagai satu keluarga diperkuat.

Ketiga, dialog lintas agama di Indonesia mesti melibatkan kelompok-kelompok radikal dan fundamentalis. Mereka ini tidak berada di luar agama; mereka adalah bagian dari agama. Penyelesaian berbagai persoalan dengan kelompok-kelompok radikal hanya dapat terjadi dalam komunitas agama masing-masing. Eksistensi kelompok radikal di Indonesia dan jaringan internasional mereka, sayangnya, masih menjadi masalah terbesar. Orang-orang yang berkehendak baik di berbagai jenjang masyarakat mesti bekerja sama dengan sadar dan bijak sehingga tidak memberi peluang bagi kelompok-kelompok radikal untuk berkembang.

Saat Indonesia bisa “mempertobatkan” kelompok-kelompok radikal, Indonesia akan bisa hidup damai dan rukun, dan memberi kontribusi penting bagi perdamaian dunia. Ini membutuhkan kehendak baik, dan keterlibatan yang sangat menentukan dari orang-orang yang berkehendak baik, para pemimpin agama, serta politisi.

Keempat, Indonesia mesti menghidupkan kembali Pancasila, yang mewakili nilai-nilai kemanusiaan yang agung dan luhur yang menjamin identitas asli semua orang Indonesia. Hidup sesuai Pancasila akan mengilhami masyarakat dunia dan bahkan mengajarkan mereka bagaimana menghayati, menghormati, dan mempertahankan kebhinekaan atau pluralitas dalam cara-cara penuh kerukunan dan kedamaian, karena dunia sendiri perlahan-lahan menjadi semakin pluralistik. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar