30 Desember 2009

Kartel Politik dan Gerakan Perlawanan

Oleh Dr. Otto Gusti Madung

CIRI khas lanskap perpolitikan Indonesia pasca tumbangnya rezim Orde Baru adalah stabilitas hubungan antarelite politik. Para elite dan partai politik boleh bertarung dan saling menyerang sebelum pemilihan umum, namun setelah pemilu berakhir mereka berembuk dan membangun koalisi besar. Hampir tidak pernah terjadi konflik dan pertarungan antarelite partai yang bermuara pada perebutan kekuasaan. Sistem oposisi pun mandul. Garis batas antara partai pemerintah dan partai oposisi kabur kalau bukan hilang sama sekali.

Indonesia dipandang relatif stabil dibandingkan dengan negara-negara lain yang sedang mengalami transisi menuju demokrasi. Di Filipina, misalnya, pasca turunnya Presiden Marcos, Presiden Aquino mengalami sekurang-kurangnya tujuh kali percobaan kudeta. Mengapa Indonesia sepi dari kudeta? Apakah kita sudah sungguh matang dalam berdemokrasi?

Fenomena 'kartel politik' merupakan salah satu teori yang dapat menjelaskan stabilitas hubungan antarelite atau antarpartai politik di Indonesia. Kartel adalah sebuah term dalam ilmu ekonomi. Kartel mengkoordinasi hubungan antara beberapa perusahaan dengan tujuan meminimalisasi persaingan, mengontrol harga dan menggenjot keuntungan bisnis para anggota kartel (Bdk. Antonius Made Tony Supriatma, Prisma 28 Oktober 2009).

Pengaruh sistem kartel politik tampak dalam monopoli kekuasaan berupa koalisi besar yang mengeliminasi kemungkinan terbentuknya oposisi. Para lawan politik dirangkul. Partai-partai oposisi berkepentingan untuk masuk dalam partai penguasa demi meminimalisasi kerugian yang diakibatkan oleh kekalahan.

Dalam sistem ini partai paling religius sekalipun rela membangun koalisi dengan partai sekular. Sebab kartel politik mengharamkan diskursus seputar ideologi dan program partai. Semuanya seragam dan bekerja sama dalam suasana saling pengertian. Tidak ada persaingan antarpartai politik, kejahatan berupa korupsi dan kolusi ditolerir lantaran semua partai politik berada di haluan yang sama dengan pemerintah.

Kartel politik akhirnya bermuara pada hancurnya fungsi institusi-institusi demokratis. Institusi-institusi demokratis tetap dipelihara sebatas simbol tanpa substansi. Pemilu tetap dijalankan secara regular, namun tidak membawa perubahan konkret bagi hidup rakyat kebanyakan. Itulah sebabnya, kendati institusi-institusi demokratis tampaknya bekerja, namun persoalan-persoalan menyangkut hidup rakyat kebanyakan seperti penegakan hak-hak asasi manusia, pemberantasan korupsi dan peradilan yang bersih tetap tak tersentuh kerja institusi-institusi tersebut. Ingar-bingar kompetisi antarpartai dalam pemilu akan berubah menjadi kolusi antarelite segera setelah pemilu berakhir. Demokrasi tak lebih dari ritus prosedural minus isi.

Dalam sistem pasar, konsumen dirugikan oleh kartel karena harus membeli barang dengan harga yang ditentukan secara sepihak oleh pemain pasar. Politik kartel mengorbankan massa-rakyat karena penyelenggaraan negara semata-mata dibuat untuk kepentingan elite politik. Terdapat toleransi dan saling pengertian luar biasa di kalangan politisi. Kekuasaan tidak lagi membutuhkan pertanggungjawaban. Aspirasi rakyat tidak lagi masuk dalam kalkulasi penyelenggaraan negara.

Untuk massa-rakyat kartel politik membuahkan kemalangan yang sama seperti yang ditimbulkan oleh sebuah rezim otoritanian, yakni penyingkiran dari seluruh proses dan hasil pembangunan. Jika rezim totalitarian Orde Baru misalnya memakai metode 'penyingkiran' terhadap para lawan politiknya, kartel politik dewasa ini merangkul semua elite dari latar belakang ideologis berbeda. Namun untuk rakyat biasa hasilnya tetap sama, kemiskinan dan kemelaratan.

Politik kartel menghasilkan massa rakyat yang relatif jinak ibarat massa mengambang di era Orde Baru. Bedanya, jika rezim Orde Baru membutuhkan represi untuk membungkam massa kritis, politik kartel cukup menerapkan metode manipulasi dan persuasi lewat penggelembungan citra dan semboyan 'politik santun' di media massa. Hasilnya adalah massa rakyat yang jinak yang tidak mampu melakukan perlawanan terhadap sistem politik yang menindas. Dari sudut pandang 'penjinakan massa' dapat dipahami mengapa misalnya para aktivis kritis korban penculikan rela meninggalkan idealismenya dan melacurkan diri dengan menjadi agen dari para penculiknya.

Apakah masih ada secuil harapan untuk dapat keluar dari dominasi total 'penjiknakan massal' dan patologi sosial kartel politik ini? Masih. Dari partai-partai politik tentu kita tidak dapat berharap banyak karena mereka sudah membangun 'koalisi besar' untuk mengamankan diri. Harapan satu-satunya adalah masyarakat sipil yang punya idealisme untuk memperjuangkan hak-hak dasar warga negara.

Kasus Prita dan inisiatif Posko Koin Peduli Prita adalah simbol perjuangan masyarakat sipil yang tertindas melawan arogansi kekuasaan modal dan kebobrokan lembaga peradilan kita. Demikian pun kampanye para aktivis 'Kami Cicak, Berani Lawan Buaya' adalah setetes embun harapan di tengah sulitnya menghilangkan tumor ganas korupsi di negeri ini. Juga masih segar kiranya dalam ingatan kita ketika Maret tahun ini masyarakat Lembata memaksa Jusuf Merukh dan Bupati Lembata 'untuk menandatangani surat pernyataan 'tidak menambang' di wilayah Lembata' (George J. Aditjondro, 2009).

Elemen-elemen perlawanan ini tentu perlu diorganisir secara baik agar menjadi sebuah sistem perlawanan. Tanpa organisasi sebuah perlawanan cenderung musiman dan tidak bertahan lama. Masyarakat sipil yang kritis dan giat dalam deliberasi publik sulit 'dijinakkan' dan akan dijauhkan dari segala bentuk manipulasi massa kartel politik.

Dr Gusti Otto Madung adalah dosen STFK Ledalero

Artikel ini dimuat di Pos Kupang edisi 15 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar