17 Maret 2009

Para Pemuka Agama Tekankan Kebebasan Memilih dalam Pemilu

ENDE, NTT (UCAN) -- Para pemuka agama mengatakan bahwa warga negara Indonesia hendaknya memilih sesuai dengan hati nurani mereka dalam pemilihan umum (pemilu) 9 April.

Para pemuka agama Katolik, Hindu, Muslim dan Protestan mengomentari hal ini dalam sebuah pertemuan 11 Februari di Ende, Propinsi Nusa Tenggara Timur, yang diselenggarakan Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Kevikepan Ende di keuskupan agung Ende.

Sekitar 40 tokoh agama menghadiri pertemuan itu, yang mengambil tema, "Orientasi Penyuluh Lintas Agama untuk Pemilu Damai."

Indonesia mengadakan pemilu setiap lima tahun sekali. Sebanyak 44 partai politik sedang berkompetisi untuk memperoleh suara dalam pemilihan anggota legislatif mendatang.

Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero Pastor Paulus Budi Kleden SVD mengatakan Gereja Katolik "tidak mengidentifikasikan dirinya dengan salah satu partai" dan tidak ada paksaan atau ajakan untuk memilih partai atau calon tertentu dalam pemilu yang akan datang. Imam Katolik itu menjelaskan bahwa Gereja tidak setuju jika umat Katolik tidak memberikan hak suaranya karena apatis, namun kalau pertimbangan untuk tidak menggunakan hak pilihnya harus didasarkan dengan alasan yang matang, "kita harus menghormati kebebasan hati nurani mereka."

Senada, Anom Triyadna dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) berpendapat bahwa idealnya setiap warga negara hendaknya menggunakan hak pilih, "namun kalau ada alasan yang mendasar untuk tidak menggunakannya, maka kita patut menghormati kebebasan seseorang yang tidak menggunakan haknya."

Basirun Samlawi, dari Universitas Muhammadiyah di Kupang, menceritakan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa menyerukan kepada segenap umat Islam supaya memberikan suaranya dalam pemilu. “Seruan MUI ini dianggap perlu untuk memelihara demokrasi,” katanya.

Jika pemilu bertujuan untuk memperbaiki kehidupan bangsa, “maka memberikan hak suara adalah sesuatu yang wajib.” Ia menambahkan, “Kita diwajibkan untuk memilih orang yang kebaikannya lebih banyak daripada orang yang kebaikannya sedikit.”

Pendeta Yohanes Leymani, dari Gereja Masehi Injili Timor (GMIT), mengatakan masyarakat hendaknya dibebaskan dalam memilih calon legislatif (caleg) "yang sesuai dengan hati nurani mereka."

"Kita harus menghormati kebebasan mereka dalam menggunakan hak pilih," tekannya.

Philipus Harni, seorang peserta awam Katolik dalam pertemuan itu, men-sharing-kan bahwa para pemimpin agama hendaknya mendorong umat mereka supaya memilih caleg-caleg yang mampu tanpa melihat latar belakang mereka baik suku maupun agama.

“Tidak ada gunanya orang memilih caleg kalau didasarkan pada basis suku dan agama karena tidak akan menyumbangkan apa-apa bagi perkembangan politik yang sehat,” katanya.

END
2009-2-18 | IT06695.630b | 363 kata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar