17 Maret 2009

Perempuan Protestan, Islam, Katolik Meluncurkan Gerakan Perdamaian

BOGOR, Jawa Barat (UCAN) -- Tiga puluh perempuan Katolik, Islam dan Protestan dari Indonesia dan Malaysia meluncurkan sebuah gerakan untuk perdamaian sebagai hasil lokakarya antariman yang berlangsung baru-baru ini.

Gerakan itu "meminta pemerintah, Gereja dan masyarakat agar memperhitungkan kepentingan perempuan dalam membuat kebijakan, dan mengakomodir keterlibatan perempuan dalam penyelesaian konflik dan membangun rekonsiliasi," kata Pendeta Rosmalia Barus, dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), tanggal 4 Maret.

Pendeta Barus adalah Sekretaris Eksekutif Dewan Perempuan dan Anak PGI, yang melaksanakan lokakarya tanggal 23-26 Februari itu bersama dengan Asian Women Fellowship of Mission 21, sebuah organisasi Kristen yang bernarkas di Basel, Swiss.

Peristiwa itu berlangsung di Cipayung, Bogor, Jawa Barat.

Pendeta Barus mengumumkan peluncuran "Gerakan Perempuan Cinta Damai” itu di akhir lokakarya dengan tema, "Perempuan sebagai Agen Perdamaian."

Diskusi-diskusi sepanjang peristiwa itu memperlihatkan bahwa perempuan dari agama-agama berbeda telah banyak melakukan kegiatan antariman untuk perdamaian, namun upaya-upaya mereka tidak diekspose oleh media.

"Aksi pertama yang akan segera dilaksanakan setelah lolakarya ini adalah memberitahukan kepada masyarakat tentang gerakan ini dan mengajak lebih banyak perempuan untuk bergabung," katanya. Dia menambahkan bahwa peserta memutuskan agar memulai gerakan seperti itu di tingkat lokal dan membangun jaringan.

"Kami akan juga mengajak perempuan Buddha, Hindu dan Kong Hu Chu untuk bergabung. Setiap perempuan yang cinta damai bisa menjadi anggota," lanjutnya.

Dalam sambutan pembuka, ketua PGI Pendeta Andreas Yewangoe memberitahukan mengenai tema Sidang Raya XV PGI yang akan diselenggarakan akhir tahun dengan tema: “Tuhan Itu Baik Kepada Semua Orang.” Dengan tema itu, “Gereja-Gereja di Indonesia telah menentukan posisinya sebagai sesama umat dengan mereka yang beragama lain. Dulu yang hanya ‘strangers’ sekarang adalah ‘neighbors.’”

Ia menceritakan tentang surat terbuka tahun 2007 berjudul "A Common Word," yang dikirim oleh 138 pemimpin Islam kepada pemimpin Gereja di seluruh dunia, yang mengingatkan bahwa umat Islam dan umat Kristen mewarisi secara bersama a common word yaitu Kasih.

Surat itu, katanya, memperoleh reaksi positif dari tokoh-tokoh agama Kristen sedunia. Berbagai prakarsa untuk melakukan dialog lintas-agama, katanya, patut memperoleh perhatian dan apresiasi. Demikian juga dialog lintas-iman, khususnya antara Islam dan Katolik yang baru-baru ini diselenggarakan di Vatikan perlu dilihat sebagai sumbangan berharga bagi kemanusiaan, katanya.

Pendeta Yewangoe menegaskan bahwa di kalangan Gereja-Gereja Protestan, dialog-dialog semacam ini telah lama dilakukan.

Perempuan-perempuan dari latarbelakang agama berbeda menyambut baik gerakan perdamaian yang baru itu.

Peserta termuda Irma Muthoharoh mengatakan bahwa ia menghargai perempuan Kristen yang mengundang dia, seorang Muslim, untuk ikut dalam lokakarya itu. "Ini saat terindah dalam hidup saya," ia berbagi, seraya menambahkan harapannya agar perempuan bisa sungguh bertindak sebagai agen perdamaian di komunitas mereka masing-masing.

Retno Tri dari dari Sekretariat Jaringan Mitra Perempuan Konferensi Waligereja Indonesia mengatakan, ”dari pengalaman di lapangan kami melihat kebutuhan akan adanya gerakan seperti itu."

Endang Larasati Pohan, peserta Islam mengatakan, “Deklarasi gerakan itu menunjukkan bahwa perempuan telah membuat perubahan. Mereka melihat perbedaan agama-agama dan membuat persatuan dari perbedaan-perbedaan itu.” Deklarasi itu membuat perempuan dari agama apa saja bekerja bersama untuk perdamaian.

Gerakan itu akan menyemangati perempuan untuk berkarya dalam bidang sosial dan kemanusiaan, kata Pendeta Marlyn Takaria. "Saat pulang nanti saya akan terus mengupayakan persatuan perempuan Muslim dan Kristen, dan berkarya bagi perdamaian."

Pendeta Lucy Kumala dari Asian Women fellowsip of Mission 21 mengakui karya ke depan tidaklah mudah. Namun, ia mengatakan kepada para perempuan peserta supaya tidak kuatir: "Pulanglah sebagai agen-agen perdamaian. Tuhan akan membantu dan menguatkan kalian!"

Dalam lokakarya itu, wakil-wakil Protestan, Katolik, Islam, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu juga menyampaikan masukan dalam diskusi panel bertema "Agama, Sumber Damai," dari perspektif agama mereka masing-masing.
2009-3-5 | IN06796.632b | 569 kata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar