16 Maret 2009

Uskup Puji Misionaris Dulu karena Melestarikan Bahasa Masyarakat Adat

HUALIEN, Taiwan (UCAN) -- Uskup warga suku satu-satunya di Taiwan memuji para misionaris masa lampau yang memberi kontribusi pada pelestarian bahasa-bahasa pribumi, yang kebanyakannya kini dianggap terancam hilang.

Uskup Auksilier Hualien Mgr John Baptist Tseng King-zi mengatakan, dia mengingin banyak usaha lagi untuk mempromosikan berbagai bahasa ibu masyarakat adat, sembari mengakui bahwa ini memang sulit karena jumlah populasi setiap suku itu kecil. Pada saat yang bersamaan, etnis Cina Han tidak tertarik mempelajari bahasa-bahasa warga suku lainnya, karena mereka tidak melihat manfaat ekonomi dalam melakukan itu.

Uskup Tseng, yang mengetuai Komisi Kerasulan untuk Suku Asli dari Konferensi Waligereja Taiwan, membicarakan isu itu pada 25 Februari dalam rangka peluncuran Atlas UNESCO tentang Bahasa-Bahasa Dunia yang Terancam Punah, edisi 2009.

Menurut website UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization = Organisasi Budaya, Sains, dan Pendidikan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa), atlas itu dimaksud untuk “membangkitkan kesadaran tentang ancaman punahnya bahasa dan perlunya perlindungan keanekaragaman bahasa di dunia.”

Atlas, yang diperkenalkan di Paris menjelang Hari Bahasa Ibu Internasional pada 21 Februari, itu mengatakan bahwa hampir semua dari sekitar 6.000 bahasa lisan di dunia dewasa ini berada dalam ancaman karena berkembangnya sejumlah bahasa dominan. Di Taiwan, demikian atlas itu, tujuh bahasa suku lenyap dalam 50 tahun terakhir, tujuh lainnya “sungguh terancam,” satu “terancam,” dan sembilan dalam keadaan “tidak aman.”

Tseng Uskup bercerita bahwa sebelum Kuomintang (Partai Nasionalis) datang ke Taiwan dari Cina daratan di akhir tahun 1940-an setelah Komunis menguasai Cina daratan, ada sekitar 40 bahasa daerah di Taiwan. Namun, setelah kedatangan partai itu, masyarakat adat di pulau itu ditekan untuk menggunakan bahasa Cina Mandarin, bahasa resmi, dan menggunakan adat-istiadat etnis Cina Han. “Berbicara bahasa ibu kami dianggap dosa,” kata Uskup Tseng, 66.

Dalam situasi seperti itu, katanya, para misionaris asing itulah yang membantu melestarikan bahasa-bahasa daerah, yang belum ditulis. Para misionaris, yang datang ke Taiwan awal tahun 1950-an dan selanjutnya, menciptakan catatan-catatan tertulis tentang bahasa-bahasa itu dengan menggunakan abjad Romawi. Para misionaris itu kemudian menulis kamus dan buku-buku dalam berbagai catatan itu.

Mereka melakukan ini walaupun menghadapi banyak perlawanan. Berdasarkan kebijakan pemerintah tentang asimilasi di masa lampau, misionaris asing yang menerjemahkan Kitab Suci ke dalam suatu bahasa daerah akan kehilangan visa dan tidak bisa kembali lagi ke Taiwan. Meskipun demikian, Kitab Suci dalam bahasa daerah yang mereka tinggalkan ternyata menjadi aset yang sangat berharga.

"Sekalipun bahasa kita harus menjadi lenyap di abad ini, setidaknya mereka pernah ada ... sebagai catatan untuk generasi masa depan," kata Uskup Tseng.

Kekuasaan otoriter di bawah Kuomintang berakhir secara berangsur melalui transisi ke demokrasi tahun 1980-an. Di tahun 2000, Partai Progresif Demokrasi berkuasa, konstitusi diubah untuk melindungi dan melestarikan kebudayaan dan bahasa-bahasa daerah.

Dewasa ini, di negara berpenduduk 23 juta, diperkirakan bahwa hanya 35 persen dari sekitar 490.000 penduduk berasal dari 14 suku, yang bisa berbicara dalam bahasa ibu mereka. Mereka, yang tinggal di pegunungan sehingga kurang berkontak dengan orang-orang luar, fasih berbicara dalam bahasa mereka asli mereka, namun bahasa-bahasa suku itu umumnya telah hilang.

Di beberapa desa pedalaman, para imam masih terus merayakan Ekaristi dan liturgi lain dalam bahasa bahasa daerah, walaupun beberapa imam warga suku tidak bisa fasih berbicara bahasa ibu mereka sendiri, atau mereka cenderung beralih ke bahasa Cina Mandarin demi kelompok orang muda.

Puyuma, bahasa ibu dari Uskup Tseng, kini mempunyai sekitar 10.000 pembicara dan digolongkan oleh UNESCO sebagai "tak aman." Ia mengatakan, hampir tidak ada orang di bawah usia 60 bisa berbicara bahasa ini dengan fasih. "Patut disayangkan bahwa orang-orang lanjut usia ini harus belajar bahasa Mandarin untuk bisa berkomunikasi dengan cucu-cucu mereka dalam keluarga,” katanya.

"Orang-orang muda warga suku berangsur-angsur melupakan bahasa ibu mereka, karena mereka jarang menggunakannya setelah meninggalkan rumah untuk bekerja di kota-kota," kata Uskup Tseng.

Dia menambahkan bahwa di parokinya di Taitung, Taiwan bagian timur, dia mengharuskan untuk merayakan Misa dalam bahasa Puyuma sekalipun hanya separuh dari umat yang dapat memahami bahasa itu. Namun, bacaan dan kotbah bisa dilakukan dalam bahasa Mandarin dan Puyama demi orang-orang yang lebih muda.

Lebih dari 90 persen masyarakat adat itu Kristen, kata prelatus itu, sambil menambahkan bahwa merupakan sepertiga dari 300.000 total umat Katolik di Taiwan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar