15 Maret 2009

UU Pornografi Hancurkan Masa Depan Indonesia

*Perlu Upaya Judicial Review

Kristianto Naben
Kontributor FP

LEDALERO - Undang-Undang (UU) No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dinilai dapat menghancurkan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Karena UU Pornografi merupakan strategi dari partai politik tertentu untuk menciptakan “pasar politik”. Sasarannya adalah pemilih parokial-tradisional yang jumlahnya kurang lebih 73% dari total pemilih di Indonesia.

Demikian dikatakan Boni Hargens, staf pengajar di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) dalam Seminar Sehari yang diselenggarakan oleh Forum Masyarakat Sikka Tolak UU Pornografi di aula Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, Sabtu (14/3).

Pembicara lain adalah Pater Leo Kleden, dosen Filsafat di STFK Ledalero dengan moderator Rm Richardus Muga Pr. Hadir dalam seminar tersebut anggota Forum Masyarakat Sikka Tolak UU Pornografi, mahasiswa dan dosen STFK Ledalero, utusan dari Pemda Lembata dan Flores Timur serta sejumlah undangan dan tokoh masyarakat di antaranya Dan Woda Pale serta beberapa anggota DPRD Sikka.

Dalam makalahnya berjudul “UU Pornografi: Strategi Penciptaan Pasar Politik”, Boni Hargens mengatakan, latar belakang munculnya UU Pornografi adalah sejarah bangsa dan Negara Indonesia yang tidak sehat di antaranya adanya Piagam Jakarta, pembungkaman Islam Politik semasa Orde Baru, euforia kebebasan sesudah 1998 dan kebangkitan politik identias, kemunculan partai-partai politik berjubah agama dan transisi politik yang tidak dijamin oleh adanya kepemimpinan yang tangguh (strong leadership).

Karena itu, ia menilai UU Pornografi adalah sebuah strategi politik untuk menciptakan pasar politik bagi partai tertentu. Konstelasi politik nasional saat ini sudah bergeser sejalan dengan meningkatnya perolehan suara partai berbasis Islam.
Perubahan konstelasi ini dipicu oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tahun 2004 ganti nama menjadi PKS dan meraih lebih dari 8 juta suara (eskalasi dukungan 100%). Hingga 2009, PKS menang di 90 pilkada (prop/kab/walikota) di seluruh Indonesia. Ini tantangan buat partai “kiri” (nasionalis-sekuler) seperti PDIP dan Golkar.

Kehadiran partai ini dan model kerjanya sama persis dengan Ichwanul Muslimin-nya Al-Hasan Al-Banna di Mesir atau PAS di Malaysia, termasuk Hamas di Palestina. Similaritas ini yang memuncul kecurigaan apalagi di tengah fenomena transnasionalisme saat ini.

“Pasar politik itu mengkondisikan masyarakat untuk berpihak pada elemen-elemen politik yang menyusun UU Pornografi itu. UU Pornografi adalah representasi dari fundamentalisme gaya baru yang sifatnya transnasional,” kata penulis buku "10 Dosa Pokok SBY-JK".

Alasan Penolakan
Boni Hargens mengemukakan dua alasan penolakan terhadap UU Pornografi. Pertama, secara teknis UU Pornografi rancu karena menyamakan pornografi dengan pornoaksi seperti dalam pasal 1 ayat (1) UU yang berbunyi “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.

UU ini juga kontraproduktif seperti dalam Pasal 3 mengenai tujuan UU 44/2008 ini pada poin yaitu menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yg majemuk.
“Bali, Sunda, Papua, adalah contoh kelompok budaya yang dirugikan. Lantas dimana aspek “melindungi budaya”-nya?” kata Boni.

Kedua, dari aspek substantif, UU ini menunjukkan bahwa negara memasuki ruang privat warga dan menjajahnya habis-habisan. Selain itu, hal yang tak dapat dihindari adalah intensi UU Pornografi dengan doktrin agama tertentu.
UU Pornografi juga memakai logika monokausal dalam menyikapi problem sosial, padahal tiap problem sosial dibentuk oleh sebab yang plural maka harus dipandang dengan perspektif multikausal.

UU Pornografi juga menunjukkan phallosentrisme politik. Paradigma phallosentris hanya bertahan dalam kelompok (budaya, agama, dll) yang tidak lentur terhadap dinamika demokrasi yang menekankan prinsip ekualitas.

"UU Pornografi adalah sebuah alat untuk mengkondisikan secara kultural dan prosesual masyarakat untuk membatasi diri pada nilai politik tertentu saja. Di sinilah aspek politik jangka panjang dari kehadiran UU ini dan perda-perda sejenis di Tangerang, Padang, Depok, Bogor, Sukabumi, dll.," kata cendekiawan muda ini.

Sementara P. Leo Kleden dalam makalahnya berjudul “Mempertimbangkan UU RI No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dari Perspektif Multikulturalisme” mengatakan bahasa perundang-undangan menggunakan strategi bahasa ilmiah ketika merumuskan definisi agar tidak terjadi kerancuan makna dan salah paham.

Pengertian yang tepat ini diperlukan karena UU bertujuan mengatur tata terib kehidupan publik dan pelanggarannya dikenakan sanksi. Sangksi dalam UU Pornografi sungguh mencengangkan.

Ia mencontohkan dalam pasal 31, orang yang men-download pornografi dipidana dengan penjara empat tahun atau pidana denda sebanyak Rp2 milyar dan dalam pasal 34 disebutkan bahwa orang yang menjadikan dirinya objek atau model yang mengandung muatan pornografi dipidana dengan pidana penjara 10 tahun atau pidana denda Rp5 milyar.

“Coba bayangkan, seorang yang men- download pornografi di internet dihukum dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar rupiah. Bagaimana rasa keadilan kita bila seorang anak muda dihukum dengan menggunakan pasal ini, sementara mereka yang merugikan puluhan ribu rakyat dalam kasus lumpur Lapindo tidak dihukum, atau para koruptor kelas kakap tidak juga ditangkap karena dekat dengan pusat kekuasaan? Aneh!” katanya.

Dengan mengungkap beberapa kerancuan bahasa dalam UU Pornografi, Pater Leo menegaskan bahwa kalau seorang jaksa atau hakim menggunakan pasal tertentu dari UU yang kurang jelas ini untuk menjerat orang dengan hukuman yang sekian berat, masalahnya bukan menggelikan melainkan mengerikan.

Pater Leo mengkritisi pasal 2 UU Pornografi isinya antara lain pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, kebhinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi dan perlindungan terhadap warga.

Menurut dia, formalisme agama di Indonesia yang diatur UU menyebabkan adanya schizophrenia atau keterpecahan pribadi secara psikologis dan sosial yang tak ada taranya. Dari satu pihak tampaknya bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat religius, karena masjid-masjid, gereja-gereja, tempat ibadah selalu penuh dengan umat tapi dari pihak lain Indonesia dicatat sebagai salah satu negara yang paling korup di dunia.

“Pada hemat saya, hal yang sama bisa terjadi dalam bidang etika ketika pemerintah berusaha mengatur seksualitas melalui UU tentang pornografi. Dari satu pihak, siapa bisa mengontrol semua data pornografis pada zaman komunikasi global yang sekian canggih? Dari pihak lain tidak terbukti secara sosiologis bahwa pada bangsa-bangsa yang memberikan kebebasan pers seluas-luasnya terjadi lebih banyak kekerasan atau kejahatan seksual. Di negara-negara yang bebas ini rakyat yang terdidik menganggap pers pornografis sebagai sampah dan karena itu tidak laku. Sementara itu dari negara-negara Arab dengan norma seksual yang sangat ketat setiap tahun selalu ada TKW kita yang dipulangkan dalam peti mati sebagai korban kejahatan seksual,” katanya.

Menurut Pater Leo, ada asumsi yang keliru bahwa kita sanggup meningkatkan hidup beragama, kesusilaan dan akhlak melalui perundang-undangan. Yang harus diatur oleh perundang-undangan ialah menyediakan ruang publik di mana orang bisa menghayati iman dan etika personal dengan bebas, yang dikembangkan melalui pendidikan yang baik. Dengan ini kita tidak mendukung penyebarluasan pornografi. “Yang hendak ditunjukkan di sini adalah bahwa para legislator kita telah menggunakan obat yang salah untuk sebuah penyakit sosial,” katanya.

Dukung Judicial Review
Dalam seminar tersebut, para pembicara dan peserta mendukung dilakukannya Judicial Review atas UU Pornografi. Boni Hargens mengatakan, kalau UU ini dipertahankan masa depan Indonesia akan dihancurkan karena UU ini adalah bukti nyata kemenangan kaum mayoritas atas minoritas dan menunjukkan kegagalan para legislator menyusun UU, padahal mereka adalah konsumen terbesar untuk dunia hiburan.

Karena itu, Boni Hargens menekankan bahwa kita yang menjadi kaum minoritas mesti menjadi minoritas yang kreatif, yang meskipun sedikit namun memberikan pengaruh yang besar sehingga mendatangkan perubahan.

Sementara P. Leo Kleden mengatakan, apa artinya diskusi dalam seminar ini kalau pada akhirnya gagal. Bercermin pada Sokrates dan Yesus Kristus yang harus mati demi mempertahankan kebenaran, Pater Leo menegaskan bahwa kita mesti tetap menyalakan kesadaran dan memperjuangkan apa yang sukar. Ia yakin bahwa orang yang berada dalam tekanan akan berjuang lebih besar dari mereka yang ada di medan perang.

Di akhir dari seminar ini, salah seorang anggota Forum, Tilde Pora, membacakan surat pernyataan bersama yang intinya antara lain menolak UU Pornografi, meminta Presiden RI mencabut UU Pornografi dan mengajak berbagai elemen masyarakat untuk mendukung upaya Judicial Review.

Seminar ini sedianya dihadiri oleh Adnan Buyung Nasution, Gubernur NTT, Sulawesi Utara, Papua dan Bali. Adnan Buyung Nasution tidak bisa hadir karena harus mengikuti satu agenda penting di Jakarta. Gubernur NTT yang sudah menyatakan kesediaannya untuk membuka dan menjadi pembicara, kemudian mendelegasikan tugas itu pada Asisten I Setda Provinsi NTT. Namun, ketika hendak ke Maumere, pesawat mengalami gangguan sehingga kehadirannya dibatalkan.

Sementara para gubernur lainnya juga tidak bisa hadir. Beberapa Bupati se-daratan Flores-Lembata juga diundang, namun yang hadir hanyalah utusan dari Lembata dan Flores Timur. Bupati Sikka yang diundang untuk hadir dan menutup seminar tersebut, hingga hari pelaksanaan seminar tidak memberikan konfirmasi dan tidak hadir pada acara tersebut.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar