12 Mei 2009

Para Pemuka Agama Bersatu Menentang Diskriminasi terhadap Penderita HIV/AIDS

JAKARTA (UCAN) -- Sebuah kelompok dari berbagai kepercayaan yang berbeda berkumpul di sebuah hotel di Jakarta untuk bersama-sama berkampanye menolak diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS (ODHA).

Umat Katolik, Protestan, Muslim, Buddha, Konghucu, Hindu, Jemaah Ahmadiyah Indonesia dan Baha'i sepakat mengadakan berbagai program pelatihan untuk para tokoh agama tentang HIV/AIDS dan saling bertukar informasi tentang penyakit ini.

Pertemuan yang baru-baru ini diadakan oleh Joint United Nations Program on HIV/AIDS (UNAIDS) itu menyatakan bahwa sekaranglah waktunya bagi semua orang untuk menghilangkan stigma negatif yang masih melekat pada penderita HIV/AIDS.

Tujuan diadakan pertemuan itu adalah untuk membicarakan isu-isu hak asasi manusia, terutama mengenai HIV/AIDS, dengan fokus pada dukungan para tokoh agama.

Para pemuka agama hanya menyadari masalah-masalah yang kompleks yang dihadapi penderita HIV/AIDS.

Rumah Sakit St. Carolus di Jakarta Pusat membantu penderita HIV/AIDS dan menerima mereka setiap hari di klinik khusus HIV/AIDS yang dibentuk pada Februari lalu.

Klinik yang dikelola oleh Kongregasi Suster-Suster St. Carolus Borromeus itu memahami bahwa HIV/AIDS tidak hanya menimbulkan masalah kesehatan tetapi juga masalah psikologis dan spiritual.

”Alasan utama klinik ini dibuka karena para pasien HIV/AIDS tidak hanya dilayani obat tapi juga konseling,” kata Dokter Angela Nusatya Abidin, direktur medik rumah sakit itu.

Selama ini, klinik itu hanya membantu sedikit orang, meskipun daftar pasiennya meningkat setiap bulannya.

Dokter Abidin mengatakan 10 penderita HIV/AIDS berobat dan 38 lainnya berkonsultasi setelah klinik itu dibuka

Klinik itu memiliki 10 konselor yang melayani konseling psikologi dan spiritual enam hari seminggu.

“Para konselor perlu ditambah karena konselor klinik ini masih kurang,” kata wanita awam Katolik itu.

Klinik itu juga memiliki beberapa dokter dan perawat. Bekerjasama dengan Departemen Kesehatan, klinik itu memberikan obat kepada para pasien.

Melayani penderita HIV/AIDS bukan hal baru lagi bagi RS St. Carolus. Sebelumnya, para pasien ditangani di bagian perawatan umum. “RS ini tidak mau membuat klinik khusus HIV/AIDS karena kami tidak mau membeda-bedakan (penderita HIV/AIDS) dengan pasien lain,” kata Dokter Abidin.

Pada lokakarya yang diadakan PBB itu, para peserta, termasuk mereka dari KWI, sepakat untuk ”melayani para penderita HIV dan AIDS secara pro aktif melalui pendekatan spiritual, moral dan personal serta edukasi.”

Irwanto, seorang dosen dari Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, menjadi salah satu fasilitator lokakarya itu. ”Para pemuka agama sangat dipercaya oleh penderita HIV/AIDS karena mereka dapat merasakan kasih sayang,” katanya, seraya mendesak para tokoh agama mendorong umat mereka supaya secara terbuka membahas penyakit ini.

Nancy Fee, koordinator UNAIDS Indonesia, mengatakan dalam sambutannya bahwa pertemuan ini bertujuan untuk mengundang para tokoh agama supaya memberikan dukungan spiritual kepada penderita HIV/AIDS. "Kita tidak hanya melayani dari segi medis tapi pencegahan juga sangat penting melalui penanaman nilai-nilai spiritual dan moral," tegasnya.

Perempuan itu juga menyoroti peningkatan penyakit itu di Indonesia, yang menurutnya meningkat setiap tahun. Data Menteri Kesehatan menunjukkan ada 2.947 penderita pada 2007 dan meningkat menjadi 4.968 pada 2008.

Namun, website UNAIDS memperkirakan bahwa sedikitnya ada 190.000 penderita HIV/AIDS di Indonesia tahun 2008.

Sumber: Ucanews.com. Baca di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar