12 Mei 2009

Paus Teguhkan Kembali “Penghormatan Mendalam” terhadap Kaum Muslim

Oleh Gerard O’Connell


AMMAN (UCAN) -- Tekun mempromosikan pemahaman yang lebih baik antara kaum Muslim dan umat Kristen tidak hanya di Timur Tengah tetapi juga di seluruh dunia, Paus Benediktus XVI menegaskan kembali “rasa hormat yang mendalam” bagi kaum Muslim dalam kunjungannya pada akhir pekan ke Yordania, dan untuk yang kedua kalinya paus mengunjungi mesjid.

Di Yordania, paus memulai kunjungan 8-15 Mei di Tanah Suci.

Setelah mendarat di Amman, ibukota negara itu, paus mengatakan dalam pidatonya, "Kunjungan ke Yordania ini memberi saya suatu kesempatan baik untuk mengungkapkan penghormatan saya yang mendalam bagi komunitas Muslim, dan untuk memberi penghormatan kepada kepemimpinan yang diperlihatkan oleh Yang Mulia Raja (Raja Abdullah II) dalam meningkatkan pemahaman yang lebih baik akan berbagai keutamaan yang diproklamasikan oleh Islam."

Jumlah umat Kristen kurang dari 3 persen dari 6 juta total populasi di negara majoritas Muslim ini, dan menikmati hubungan baik dengan kaum Muslim dan kebebasan beragama sepenuhnya.

Pada 9 Mei, paus mengunjungi Mesjid Al-Hussein bin-Talal yang baru, di Amman.

Mengejutkan, paus masuk ke dalam mesjid dengan tetap mengenakan sepatu, tetapi juga Pangeran Ghazi bin Muhammad bin Talal, pangeran keturunan Hesemit dan keturunan Nabi Muhammad, yang menerima paus.

Untuk mencegah kesalahpahaman yang mungkin terjadi, jurubicara Vatikan Pastor Federico Lombardi cepat-cepat menjelaskan bahwa paus “siap melepaskan sepatunya sebagai tanda hormat akan tempat kudus, namun tuan rumah tidak menuntutnya untuk melakukan hal ini.”

Ia juga berusaha menangkis berbagai macam kritikan lainnya dengan menyatakan bahwa paus “tidak berdoa secara Kristen” di dalam mesjid, melainkan sejenak “hening sebagai tanda hormat.”

Sejumlah tokoh Muslim Yordania memuji kunjungan paus ke mesjid itu sebagai suatu peneguhan tak terbantah akan rasa hormat Paus Benediktus terhadap Islam. Mereka menjelaskan bahwa mereka menganggap ketegangan yang timbul di dunia Muslim akibat kuliah paus Regensburg tahun 2006 itu telah berakhir. Dalam kuliah itu, paus mengutip seorang kaisar Byzantium abad ke-14 yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad hanya dibawa “hal-hal … yang jahat dan tidak manusiawi.”

Pernyataan hormat paus akan Islam juga bergaung di Asia. Di Filipina, menurut berita pers setempat, para pemimpin Muslim yang dipimpin Wakil Ketua Parlemen Simeon A.A. Datumanong menyambut pernyataan paus yang membesarkan hati itu.

“Saya menghargai dan menyambut baik kata-kata Paus Benediktus XVI tentang “rasa hormat yang mendalam” dari dia terhadap Islam dan himbauannya untuk dialog segitiga antara penganut Kristen, Yahudi, dan Islam,” demikian pers mengutip Datumanong.

Di Amman, Hamdi Murad, seorang imam dan cendekiawan Muslim terkenal, mengatakan kepada UCA News bahwa kunjungan paus itu “cukup untuk menyatakan bahwa dia telah membuka halaman baru, dan menutup halaman lain.”

“Kunjungan paus ini merupakan sebuah jembatan emas untuk hubungan yang lebih baik antara umat Kristen dan kaum Muslim berlandaskan cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama, dan bekerja sama demi perdamaian, bukan saja di Timur Tengah, tetapi juga di mana saja,” kata Murad.

Tetapi tidak semua orang di Yordania berpandangan seperti itu. Hammad Said, seorang pemimpin Persaudaraan Muslim, partai oposisi utama di negeri itu, mengeluh bahwa paus tidak meminta maaf atas serangan menyakitkan hati terhadap Islam di Regensburg itu. Sementara Sheik Ysef Abu Hussein, seorang imam di Karak, kota di bagian selatan Yordania, mengatakan, “Kami menginginkan adanya suatu permintaan maaf yang jelas.”

Emad Hassam, seorang Muslim pengemudi taksi di Amman, mengatakan, dia tahu bahwa banyak kaum Muslim biasa yang “kecewa” terhadap paus itu karena paus tidak mengatakan bahwa dia menyesal. Mereka juga kecewa karena secara khusus raja dan masyarakat Yordania menyambutnya dengan keramahan luar biasa seperti itu.

Namun, Murad menepis mereka yang masih menuntut permintaan maaf paus itu sebagai “minoritas kecil kaum Muslim.”

Pangeran Ghazi, penasehat utama raja dalam urusan agama, tidak meninggalkan rasa ragu bahwa dia juga menganggap kasus itu ditutup. Kaum Muslim memahami kunjungan paus itu sebagai “isyarat nyata kehendak baik dan saling menghormati” terhadap Islam, katanya dalam sebuah acara di luar mesjid setelah kunjungan itu.

Ia berterima kasih kepada paus karena mengungkapkan “penyesalan” setelah peristiwa Regensburg itu, “karena rasa terluka” kaum Muslim yang diakibatkan oleh kuliah itu. Dia juga mengatakan bahwa kaum Muslim “terutama menghargai” klarifikasi Vatikan sesudah itu bahwa kata-kata yang menyerang itu “tidak mencerminkan pandangan paus sendiri, tetapi sebagai kutipan dalam sebuah kuliah ilmiah.”

Dia juga berterima aksih kepada paus “atas banyak isyarat persahabatan lain dan berbagai tindakan baik kepada kaum Muslim” sejak menjadi paus, termasuk menerima raja Yordania dan raja Arab Saudi, serta dengan hangat menanggapi Surat “Common Word” 2007 dari 138 cendekiawan terkemuka Muslim internasional. Pangeran itu adalah tokoh kunci di balik surat itu.

Di pidatonya, paus-teolog itu memuji surat “Common Word” itu, dengan mengatakan bahwa surat itu senada dengan tema ensiklik pertamanya: “Jalinan kasih akan Allah dan kasih kepada sesama yang tak terpisahkan, dan kontradiksi fundamental yang bermuara pada kekerasan atau ketertutupan atas nama Allah.”

Dia selanjutnya menyadarkan para pemimpin agama Kristen dan Islam akan fakta bahwa mereka semua hendaknya prihatin ketika masyarakat terus menyatakan bahwa agama pada dasarnya “menjadi penyebab perpecahan di dunia kita” dan bukan “pembangun persatuan dan kerukunan.”

Dia mengatakan, kita tidak bisa menyangkal “kontradiksi akibat ketegangan dan perpecahan antara para penganut tradisi-tradisi agama yang berbeda.” Namun dia menegaskan bahwa “sering manipulasi ideologis dari agama itulah, kadang-kadang bertujuan politis, yang menjadi katalisator nyata yang menimbulkan perpecahan dan ketegangan, dan bahkan banyak kali kekerasan dalam masyarakat.”

Dengan menyatakan bahwa “musuh-musuh agama” tidak hanya bertujuan “membungkam” agama tetapi menggantikan agama dengan diri mereka sendiri, Paus Benediktus mendorong umat Kristen dan kaum Muslim untuk memerangi kecenderungan sekularisasi dengan membiarkan dunia melihat mereka sebagai “penyembah Allah, setia berdoa, gemar menegakkan dan menghayati perintah-perintah Allah” dan “konsisten dalam memberi kesaksian kepada semua orang bahwa itulah yang baik dan benar.”

Paus Yohanes Paulus II adalah Paus pertama yang pernah mengunjungi mesjid. Ketika ia masuk Mesjid Agung di Damaskus, Syria, tahun 2001, ia diterima oleh kaum Muslim di seluruh dunia sebagai sahabat.

Ketika Paus Benediktus XVI masuk Mesjid Biru di Istambul, Turki, pada November 2006, situasi berubah. Kunjungannya diakui banyak orang sebagai isyarat penting untuk menegaskan lagi rasa hormatnya kepada Islam dan komitmennya untuk berdialog dengan kaum Muslim sesudah kuliah Regensburg itu.

Namun, kunjungannya ke Mesjid Al-Hussein, dan kunjungan mendatangnya ke Dome of Rock di Yerusalem, tempat paling suci ketiga Islam, adalah hal yang lain: Itu semua adalah bagian dari usaha pembaruan terpadu -- tidak hanya dalam kata-kata tetapi juga dalam isyarat lebih mudah dipahami orang-orang biasa – yang dilakukan paus untuk meningkatkan pemahaman yang lebih mendalam dan hubungan yang lebih baik antara kaum Muslim dan umat Kristen, bukan saja di Timur tengah, melainkan juga di dunia, demi kebaikan manusia dan demi perdamaian dunia.

Sumber: ucanews.com. Baca di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar