26 Mei 2009

Paus Temukan “Keterbukaan untuk Dialog” di antara Umat Kristen, Yahudi, dan Muslim

Oleh Gerard O'Connell
Koresponden Khusus di Roma


KOTA VATIKAN (UCAN) -- Paus Benediktus XVI melihat tanda pengharapan di Tanah Suci yang, katanya, sekalipun merupakan “simbol kasih Allah bagi umat-Nya dan seluruh umat manusia,” telah menjadi “simbol perpecahan dan konflik yang tak ada akhirnya."

Paus berusia 82 tahun itu membuat komentar itu di akhir “ziarah perdamaian” bersejarah yang dilakukannya selama delapan hari ke Tanah Suci. Dia memulai perjalanannya di Jordania pada 8 Mei, sebelum pergi ke Israel dan Wilayah Palestina.

Dalam kunjungannya, ia bertemu dengan para pemimpin ketiga negara dan wilayah itu, dan sempat berbicara secara pribadi dengan mereka masing-masing.

Menyambut ribuan peziarah di Lapangan St. Petrus di Roma pada 17 Mei, paus masih memohon – seperti yang dilakukannya dalam perjalanan ke Tanah Suci – kepada umat Kristen, Muslim, dan Yahudi untuk "bekerja sama" dan dengan orang-orang yang berkehendak baik "membangun suatu masa depan keadilan dan perdamaian di negara-negara dan wilayah itu."

Berbicara dari perspektif teologis, Paus Benediktus mengatakan bahwa Tanah Suci, dengan situasinya yang sangat bersejarah, dapat dilihat sebagai "sebuah mikrokosmos yang kembali menyatakan dirinya sebagai perziarahan Allah dengan manusia yang sedemikian sulit."

Ini merupakan “suatu perziarahan yang mengandung dosa serta salib," tetapi juga "kebangkitan telah dimulai."

Paus merujuk pada tanda-tanda kebangkitan ini ketika ia berbicara kepada para wartawan dalam penerbangannya dari Tel Aviv ke Roma, pada 15 Mei, dan menyatakan "tiga kesan mendasar" yang diperolehnya dalam kunjungan itu.

Pertama, katanya, ia “menemukan di mana-mana,” baik di antara umat Kristen, kaum Muslim, dan umat Yahudi, "keterbukaan yang pasti untuk kerja sama, berkontak, dan dialog antaragama." Penting bagi semua orang untuk pahami bahwa ini bukan sekedar motif terkait dengan situasi sekarang ini, katanya, melainkan “buah" iman akan Allah yang Esa yang diyakini oleh mereka semua.

Kedua, ia menemukan apa yang diuraikannya sebagai "suatu suasana ekumene yang membesarkan hati” di kalangan komunitas-komunitas Kristen di Tanah Suci. Secara khusus paus menyebut "keramahan luar biasa" yang dialaminya dalam banyak pertemuan dengan para pemimpin Gereja Ortodoks Yunani, Anglikan, dan Lutheran.

Ketiga, katanya, ia bukan saja melihat dan merasakan "berbagai kesulitan yang sangat besar" yang ada, tetapi "saya juga melihat ada suatu kerinduan mendalam akan perdamaian di semua pihak." Ada berbagai kesulitan, katanya mengakui, tetapi semua ini harus dijelaskan, bukan disembunyikan.

Sebelumnya, ketika berbicara dalam upacara perpisahan di Bandara Internasional Ben Gurion di Tel Aviv, Paus Benediktus membuat sebuah penekanan terakhir pada perdamaian di hadapan para petinggi politik Israel serta para pemimpin agama Kristen, Yahudi, dan Muslim.

"Jangan ada lagi penumpahan darah! Jangan ada lagi pertikaian! Jangan ada lagi terorisme! Jangan ada lagi peperangan!" katanya, dengan berbicara sebagai "seorang teman dari rakyat Palestina maupun bangsa Israel."

Pada 11 Mei, ketika tiba di sini, paus meminta sebuah "solusi dua negara" sebagai jalan menuju “perdamaian yang adil dan abadi." Sekarang, untuk mulai, ia kembali meminta agar ini "menjadi kenyataan."

"Biarlah secara universal diakui bahwa Negara Israel berhak untuk ada, dan untuk menikmati kedamaian dan keamanan dalam batas-batas yang diakui secara internasional,” katanya. "Sebaliknya, biarlah diakui bahwa rakyat Palestina berhak memiliki tanah air merdeka dan berdaulat, untuk hidup bermartabat dan bebas bepergian."

Paus juga mengatakan kepada para pemimpin Israel bahwa tembok sepanjang 700 kilometer dengan tinggi delapan meter yang memisahkan warga Israel dari warga Palestina itu merupakan “salah satu pandangan yang sangat menyedihkan” yang diamatinya ketika mengadakan kunjungan itu. Dia berdoa, semoga tidak lama lagi tembok itu tidak dibutuhkan.

Pada pagi yang sama, sebelum berangkat ke bandar udara, paus bertemu dengan para pemimpin Kristen di Yerusalem di Patriarkat Ortodoks Yunani. Setelah mendorong mereka untuk bersatu, paus berdoa semoga harapan mereka untuk "hidupkan kebebasan beragama dan hidup bersama secara damai" bisa terwujud.

Yang terpenting dari kunjungannya terjadi segera ketika paus memasuki Basilica of Holy Sepulcher di Yerusalem. Paus berdoa dalam keheningan beberapa menit di makam Kristus, tempat yang sangat dihormati dalam agama Kristen. Paus juga berdoa di tempat Yesus disalibkan.

Paus Benediktus terlatih sebagai seorang diplomat, meskipun dalam kunjungannya ke Tanah Suci, dia secara mengejutkan memasuki apa yang umumnya dianggap daerah politik dan keagamaan, bukan saja dalam hubungan dengan orang Yahudi dan kaum Muslim, tetapi juga dalam menghimbau suatu penyelesaian politik terhadap konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung 61 tahun.

Paus turut meningkatkan rekonsiliasi dan saling memahami secara lebih mendalam antara umat Kristen dan Yahudi, setelah berbicara secara mendalam dengan tokoh-tokoh religius Yahudi. Umat Yahudi menyambut kutukannya terhadap anti-Semitisme dan penyangkalan Holocaust, ingatannya terhadap 6 juta orang Yahudi yang mati dalam Holocaust, doanya di Tembok Ratapan (Tembok Barat dari Bait Allah), serta rasa hormatnya terhadap agama Yahudi.

Namun, tidak mengherankan, kalau paus tidak bisa memuaskan semua orang. Sejumlah kecil orang Yahudi terkemuka di Israel, termasuk Rabbi Utama Meir Lau, ketua Komisi Yad Vashem, mengkritik paus karena tidak menyebut kata “Jerman” atau “Nazi,” atau “enam juta” korban Nazi dalam pidatonya dalam acara Peringatan Holocaust di Yad Vashem.

Media Israel membahas kritikan ini dalam laporan berita mereka.

Pastor Federico Lombardi, direktur Kantor Pers Takhta Suci, menjawab kritikan ini dengan mengatakan, paus telah mengatakan semua itu dalam pidato sebelumnya di Koln, Jerman, dan di Auschwitz, dan tentu tidak ada orang yang mengharapkan paus mengatakan semua itu terus menerus dalam setiap pidatonya.

Presiden Israel Shimon Peres juga membela paus, dan mengatakan buah-buah kunjungan paus akan bersifat jangka panjang, dan tidak bisa dihakimi dengan "insiden-insiden" seperti itu.

Sementara kritikan Yahudi tersebar di publik, kritikan yang sama dari umat Kristen Palestina tidak bisa didiamkan begitu saja: Kritikan dari umat Kristen Palestina mengungkapkan keprihatinan bahwa kunjungan paus hanya memperbaiki citra publik Israel setelah penyerangan terhadap Gaza, yang meninggalkan banyak persoalan tak terpecahkan.

Mereka juga menyesal bahwa paus dalam pidato-pidatonya tidak menyinggung jumlah pendudukan Israel yang terus meningkat di seluruh negeri, atau hak para pengungsi untuk kembali. Mereka melihat hal ini sebagai kendala terbesar untuk perdamaian dengan keadilan.

Namun, kebanyakan kaum Muslim Palestina menyambut hangat pidato-pidato paus yang mengungkapkan perhormatan terhadap Islam, dengan menghimbau terbentuknya negara Palestina dan kebebasan bergerak yang lebih besar dari warga Palestina, pencabutan embargo terhadap Gaza, dan kritikan paus terhadap tembok yang dibangun Israel. Mereka juga menyambut baik kunjungan paus ke Masjid Kubah Batu (Dome of the Rock) di Yerusalem, Masjid Al-Hussein di Amman, dan kamp pengungsi Aida di Bethlehem.

Para pemimpin Gereja Kristen di Tanah Suci sangat mendukung kunjungan paus, dan penekanan paus terhadap penyelesaian konflik Israel-Palestina, yang menurut penelitian merupakan alasan terbesar bagi eksodus umat Kristen, serta warga Palestina umumnya, dari Tanah Suci.

Menyambut Paus Benediktus ke Israel pada 11 Mei, dengan “misi perdamaian” paus, Presiden Shimon Peres mengatakan: "Para pemimpin spiritual dapat merintis jalan bagi para pemimpin politik. Mereka dapat membersihkan wilayah-wilayah ranjau yang menghalangi jalan menuju perdamaian."

Paus Benediktus telah membuat suatu hal tertentu dengan hanya melakukan hal itu. Kini kita tinggal melihat apakah para pemimpin politik di Tanah Suci menanggapi kata-kata paus dengan keterbukaan hati dan berupaya menuju “suatu keadilan yang adil dan abadi” bagi rakyat mereka masing-masing.

sumber : ucanews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar