31 Mei 2009

Bibit-Bibit Panggilan Bersemai dalam Keluarga-Keluarga

JAKARTA (UCAN) -- Di saat Gereja Katolik Indonesia menghadapi kesulitan dalam menarik orang untuk menjadi imam serta biarawan-biarawati, Tarekat Misionaris Hati Kudus (MSC) nampaknya tidaklah demikian.

Komunitas imam dan bruder internasional itu mendapatkan sembilan imam yang ditahbiskan di Indonesia tahun 2004, enam di tahun 2005, empat di tahun 2006, lima di tahun 2007 dan 16 di tahun 2008. Tahun ini, empat sudah ditahbiskan di bulan Februari dan enam lainnya akan ditahbiskan juga di tahun ini. Kini ada 96 anggota MSC sedang belajar filsafat dan teologi serta 19 orang sedang berada di novisiat.

MSC Indonesia memiliki 213 imam termasuk 12 warga negara Indonesia kelahiran luar negeri, serta lima uskup termasuk satu uskup berkewarganegaraan Indonesia tapi lahir di luar negeri. MSC Indonesia juga memiliki 21 bruder.

Pastor Johanis Mangkey, Provinsial MSC Indonesia, dipilih tanggal 9 Februari 2008.

Dia mengatakan bahwa pertumbuhan panggilan yang stabil dalam kongregasinya adalah berkat kerja keras para imam MSC dalam pelayanan pastoral paroki, pendidikan dan pembinaan, karya sosial dan media.

Namun Pastor Mangkey, 55, menekankan bahwa bibit-bibit panggilan sesungguhnya bersemai dalam keluarga-keluarga, maka ia berharap agar Gereja memfokuskan pendidikan iman dalam keluarga.

Pastor Mangkey pernah bertugas sebagai Asisten Jenderal dari pemimpin tertinggi MSC sedunia di Roma dari tahun 1993 sampai 2005 dan sebagai Sekretaris Jenderal MSC dari 2002 sampai Februari 2006.

MSC didirikan oleh Pastor Jules Chevalier, seorang imam Perancis dari Issoudun, di tahun 1854. Sejak itu tarekat itu tersebar di seluruh dunia. Kini ada lebih dari 2000 imam dan bruder MSC yang bekerja di 55 negara.

Moto kongregasi itu adalah: “Ametur ubique terrarum, Cor Jesu Sacratissimum in aeternum“ (Semoga Hati Kudus Yesus dikasihi di seluruh dunia, selama-lamanya).

Wawancara dengan Pastor Mangkey sebagai berikut:

UCA NEWS: Bagaimana situasi panggilan di Indonesia saat ini?

Pastor Johanis Mangkey: Dibandingkan dengan Eropa dan Amerika, situasi panggilan di Indonesia masih baik. Di Belanda, misalnya, sudah 30 tahun ini tidak ada lagi tahbisan imam untuk MSC. Situasi ini sama dengan di Perancis, meskipun di Italia ada beberapa panggilan tiga tahun lalu.

MSC provinsi Indonesia masih memiliki cukup panggilan, khususnya yang berasal dari bagian timur Indonesia seperti Maluku, Sulawesi, Timor dan Flores. Meskipun MSC tidak bekerja di Flores dan Timor namun kita mendapat panggilan dari sana setiap tahun.

Yang memprihatinkan kami serta tarekat lain adalah pulau Jawa. Panggilan di Jawa sudah sangat menurun. Dua tahun terakhir, untuk pertama kalinya MSC tak punya panggilan dari Jawa. Pertanyaannya, di Keuskupan Purwokerto di mana MSC bekerja juga tidak ada lagi panggilan untuk MSC. Memang kami belum menemukan alasannya. Bagi kami itu suatu refleksi. Mungkin kita harus mengoreksi diri, bagaimana harus tetap memperkenalkan diri di sana.

Bisakah Anda menjelaskan kesuksesan kongregasi Anda?

Saya kira ini karena keterlibatan dan kehadiran langsung MSC di seminari-seminari, misalnya di seminari tingkat SMP di Saumlaki, Tanimbar, dan di tingkat SMA di Langgur, juga di Tomohon. Di sana MSC terlibat sebagai staf tetap atau sebagai pengajar.

Di mana pun juga kami berada promosi yang paling utama untuk menarik panggilan adalah kesaksian hidup. Kami tidak sekedar hadir di situ, tapi menghidupi semangat kami, bagaimana semangat itu mewarnai karya pelayanan. Di situ, bukan cuma anak-anak yang melihat tetapi orang tua. Maka, kalau anak mengatakan mau masuk seminari dan datang pada pillihan mau jadi biarawan atau projo, orang tua mendorong anak-anaknya untuk menjadi misionaris MSC.

Anda baru kembali dari novisiat MSC di Karanganyer, Jawa Tengah. Apa kesan para novis tentang pembinaan mereka?

Pertama-tama para novis sangat berterima kasih untuk tiga imam dan magister yang melayani mereka di novisiat itu dengan penuh kebersamaan, kekompakan, komitmen dan kerja sama. Mereka juga merasa turut dilibatkan dalam program sehingga mereka tidak menjadi objek tapi subjek pembinaan itu. Mereka juga melihat bahwa mereka mau dibentuk bukan hanya secara rohani tetapi juga secara pribadi, yang membentuk mereka menjadi pribadi yang utuh, terutama menjadi pribadi rohani yang dijiwai semangat MSC.

Bagaimana Gereja bisa menjaga kesuburan panggilan?

Keluarga adalah seminari yang pertama. Orangtua harus menyuburkan iman anak-anak mereka, bukan dengan memaksa mereka berdoa atau mengikuti Misa, tetapi melalui teladan.

Keteladanan orangtua sangat penting. Mengapa panggilan di Eropa sangat berkurang, menurut saya, adalah faktor keluarga. Mereka membawa anak mereka untuk dipermandikan, tetapi setelah itu terserah kepada anak untuk menentukan masa depannya. Orangtua tidak memberikan pendampingan yang konsisten.

Sebaliknya di novisiat itu, saya bertemu seorang novis, anak dari keluarga yang kaya. Ayahnya seorang pengusaha dan ibunya seorang wanita karir. Ketika dia bilang mau masuk seminari dia ditentang. Ternyata orangtuanya hanya mau menguji apakah dia betul terpanggil secara sadar atau karena ikut teman, karena beberapa kakaknya akhirnya keluar juga dari seminari.

Akhirnya dia katakan bahwa panggilannya tumbuh dari dia sendiri, karena mamanya itu pendoa. Papanya yang dulu sibuk dengan bisnis, kini juga menjadi pendoa. Jadi dia melihat sepertinya panggilan dia terhubungkan dengan peranan iman terutama kekuatan doa mamanya.

Waktu saya di Eropa ada sebuah pertanyaan kepada saya, apa yang membuat banyak panggilan di Indonesia. Saya katakan, di samping keluarga-keluarga di Indonesia masih beriman, umat Katolik masih mau mengikuti Misa, mengikuti kegiatan-kegiatan Gereja, dan berdoa Rosario bersama dalam keluarga dan lingkungan di setiap bulan Maria, Mei dan Oktober. Mereka kaget dan mengatakan bahwa Gereja di Indonesia sangat hidup.

Maka saya berharap Gereja yang lebih luas belajar mengembangkan pendidikan iman dalam keluarga-keluarga, karena di situ bibit panggilan menjadi imam, biarawan-biarawati dan petugas pastoral Gereja seperti katekis akan bertumbuh.

Keluarga ada bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga menjadi sarana Tuhan untuk membagikan kebaikan dan cinta-Nya. Penghayatan dan praktek cinta dalam keluarga adalah kesaksian utama bagi anak-anak untuk berbagi kasih kepada orang lain.

Apa faktor-faktor keluarga lain yang terkait dalam panggilan seorang anak?

Dari pertemuan dengan para novis belum lama ini salah satu hal yang muncul adalah dukungan dan sekaligus tantangan atau ujian dari keluarga.

Bagi kebanyakan mereka ketika mengetahui keinginan untuk menjadi imam keluarga mendukung. Dukungan keluarga ini menjadi peneguhan atau penguatan akan keinginan yang mulai tumbuh. Ini sangat berarti!

Ada juga yang menemui tantangan demi pemurnian motivasi. Ketika orang tuanya mengetahui keinginannya untuk menjadi imam, anak itu diberi kemungkinan-kemungkinan lain seperti studi bidang tertentu di perguruan tinggi yang bagus, diberi fasilitas, dan sebagainya. Tetapi ketika anak itu bersikeras untuk mengikuti bisikan suara hati untuk menjadi imam pada akhirnya orangtua merestui dengan pesan “ini pilihanmu, seriuslah dengan itu”.

Sumber : Ucanews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar