15 Mei 2009

Siswa-Siswa Seminari Menengah Merasakan Beratnya Hidup Bertani

CHIANG MAI, Thailand (UCAN) – Remaja Katolik yang tertarik untuk hidup religius dewasa ini tidak selalu berasal dari keluarga miskin, kata seorang imam yang bertugas membimbing anak-anak seminari menengah.

Itulah sebabnya dia mengadakan kamping 10 hari baru-baru ini untuk 12 siswa seminari untuk mengalami langsung kehidupan komunitas yang bertani di Propinsi Chiang Mai, Thailand bagian utara.

“Dulu, kebanyakan siswa seminari berasal dari keluarga miskin, tetapi belakangan ini kebanyakan berasal dari keluarga-keluarga berada,” kata Pastor Boonlert Paneethatayasai, yang kini bertugas mendampingi para siswa seminari di Wisma Nazareth milik Salesian di Sam Phran, sebelah barat Bangkok.

“Beberapa dari mereka bahkan merupakan anak semata wayang dalam keluarga, sehingga mereka sangat diperhatikan.”

Bulan lalu, para siswa seminari, yang berasal dari seluruh penjuru negeri itu dan yang berada di tingkat Sekolah Menengah (SMP-SMA), mengadakan kamping serupa di Wisma Don Bosco. Ini merupakan sebuah pusat komunitas yang dikelola para religius Salesian di Distrik Doi Saket, Chiang Mai.

Pusat itu dibentuk tahun 2004, dan sekarang ini memberi pendidikan dan makanan bergizi bagi 60 orang muda warga suku pegunungan yang miskin.

Karena sejumlah orangtua para siswa seminari itu adalah tuan tanah di komunitas-komunitas pertanian, imam itu mengatakan bahwa para remaja di seminari itu tidak pernah mengalami berbagai kesulitan dari para petani.

Thanaphat Sornchamni, siswa seminari kelas 11, mengatakan: “Pada hari pertama kemping, saya terkejut dengan makanan. Sangat buruk. Saya tidak punya nafsu makan sama sekali, tetapi akhirnya saya harus juga makan, karena semua orang muda ini makan seperti ini. Saya tidak mau dibedakan.”

Thanaphat, yang ayahnya adalah seorang polisi dan yang ibunya pemilik salon kecantikan, bercerita bahwa dia harus melakukan pekerjaan tani, misalnya menggunakan kotoran babi sebagai pupuk. “Sebelumnya saya tidak pernah melakukan ini. Ini benar pekerjaan berat, tetapi ini juga menolong saya untuk sabar. Saya akan menerapkan untuk hidup saya apa yang telah saya pelajari,” katanya.

Pastor Boonlert mencatat bahwa “di Wisma Nazareth, para siswa seminari mendapat kesempatan untuk bekerja seperti misalnya berkebun.”

“Tetapi di Wisma Don Bosco, cara hidupnya lain,” katanya. “Saya percaya bahwa kesulitan yang mereka temui akan membuat mereka lebih sabar dan mantap. Lebih dari itu, mereka akan memahami berbagai kesulitan orang lain, terutama orang-orang yang tersingkir dalam masyarakat.”

Dia menambahkan: “Tak seorang pun yang tahu apakah para siswa seminari ini akan menjadi imam, namun jika mereka memahami berbagai kesulitan yang dihadapi orang-orang yang tersingkir, mereka akan menghormati martabat orang-orang semacam itu. Imamat tidak akan bermakna jika para imam tidak memahami dan berkarya bagi orang-orang yang tersingkir.”

sumber: ucanews.com. Baca di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar